The Weird Salvation
03.53Ini cuma sekedar tulisan, alias fiktif belaka. Jika ada kesamaan tempat dan nama, semua itu hanyalah cerita. *Teruntuk temen - temen gue, Cerpen yang gagal post sama lala. Tapi sekali lagi, ini cuma cerita. Apapun adegan di dalamnya, gak berarti apa - apa. Thanks for visit :)
The Weird Salvation
Di Jakarta, tinggalah seorang gadis kecil berumur 12
tahun menuju 13 tahun bernama Silvia. Keluarganya tergolong darah biru. Pada
umumnya, seorang bangsawan tentu akan dilatih segala tata cara, mulai dari
etika berbicara, makan, dan lain-lain. Tetapi, berbeda dengan Silvia. Ia
berbeda dengan kakaknya, Alicia. Alicia sangat ber-'attitude' seperti putri
kerajaan, sedangkan Silvia lebih suka kegiatan laki-laki, seperti: bermain
game, berlatih panahan, berburu rusa, dll.
Ia mempunyai teman dunia maya di gamenya - Zap Hotel.
Hubungan mereka sangatlah dekat, hingga bisa dibilang seperti keluarga besar
yang terpisah dikota-kota lain. Bimbim dan Taro dari Jakarta, Ichan dari
Bandung, Hanna dan Dion dari Surabaya, Michelle, Daninda, dan Chrisvera dari Banyuwangi.
Umur merekapun bervariasi, mulai dari 19 tahun sampai yang terkecil, 12 tahun.
Dari sinilah, hal tak terduga dimulai ...
Suasana sebelum jam pelajaran dimulai di SMA Michelle,
Daninda, dan Christvera sangatlah ramai. Itu sudah menjadi kebiasaan anak-anak
SMA tersebut, yaitu: bermain sepak bola atau basket dilapangan jika ada waktu
sebelum bel masuk dibunyikan. Tiba-tiba saja sang kepala sekolah memanggil
mereka bertiga ke ruangan kepala sekolah. Mereka sebenarnya bingung, ada
masalah apa yang menimpa mereka bertiga? Namun tanpa banyak tanya mereka segera
mengikuti Ibu Kepala Sekolah mereka.
“Kalian mendapat surat dari Jogja.” Ucap Bu Narti, kepala sekolah.
Beliau mengangsurkan tiga amplop kepada Michelle, Daninda, dan Christvera.
“Kalian mendapat dispen selama seminggu dari sekolah.”
“Tapi bu, bukannya ini minggu UTS?” kata Chrisvera dahinya berkerut
bingung. Lain dengan Tampang Michelle dan Daninda yang senyam – senyum. Otak
mereka sibuk membayangkan Jogja, meskipun belum ngeh kenapa mereka harus ke
Jogja.
“Bagaimana lagi, ini darurat sekali.” Bu Narti termenung. “Saya tidak
berani mengambil resiko, apalagi ini harus dirahasiakan.” Beliau mengambil
surat dari laci meja. “Ini untuk orang tua kalian.”
Daninda menerima surat bingung. Perasaannya yang semula senang bolos
UTS, akhirnya mulai ragu. “Ini masalah apa ya bu?”
“Iya bu, kenapa ini harus dirahasiakan? Apalagi dari orang tua kami?
Kan mereka perlu tau.” Oceh Michelle cerewet.
“Lebih baik kalian buka surat itu. Dan besok cepat lakukan apa yang
tertulis disana.” Bu Narti berdeham. “Sekarang kembali ke kelas.”
***
Begitu keluar dari kantor, mereka bertiga kompak membuka surat bersama.
Secarik foto lengkap silvia dengan tulisan ancaman tertera disana. Tepat besok pagi kalian harus terbang ke
Jogja. Jangan beritahu siapapun tentang hal ini. Atau nyawa teman kalian,
silvia tidak akan selamat, termasuk orang tua kalian. Dan itu cek yang bisa
kalian cairkan untuk ke Jogja. Jika kalian terlambat, jangan salahkan kami
nyawa silvia melayang.
“Gila.” Umpat Michelle spontan. “Dia pikir siapa bisa ngancam kita?
apalagi menyangkut keluarga kita. Seenak udel nyuruh kita ke Jogja lagi.”
Tambahnya penuh emosi.
“Bentar deh.” Daninda nampak berfikir. “Ngerasa aneh gak sih? Ini
penculik kok nyuruh kita nyairin cek ya? Lima juta lagi. Kalo orang normal mah
udah dipake belanja.”
“Hush.” Desah Chirstvera serius. “Jangan main – main deh. Bu Narti aja
yang notabene kepala sekolah ciut nyalinya. Gue rasa ini serius.”
“Lo yakin?” alis Daninda terangkat. Feelingnya berkata ini cuma kerjaan
orang yang gak punya kerjaan.
“Seratus persen yakin.” Ucap Christvera mantap.
“Tau dah. Wadefuq.” Umpat Michelle sembari meneruskan langkahnya.
***
Sepaginya, 3 kawan itu berkumpul di bandara Blimbingsari
- Banyuwangi. Malamnya Christvera memberikan amplop kepada orang tuanya.
Ternyata isinya adalah permohonan ijin agar siswa diijinkan mengikuti malam
amal sekolah di kota sebelah selama seminggu. Karena cap sekolah, tentu saja
orang tua Chrisvera setuju. Beda dengan Daninda dan Michelle yang notabene anak
boarding house. Mereka hanya ijin minggu ini tidak bisa pulang karena ada
kegiatan sekolah. Untung saja orang tua mereka memaklumi.
Sambil menunggu keberangkatan, mereka mengirimi SMS ke
seluruh teman maya mereka. "Kamu ikut ke Jogjakarta?" Begitulah
isinya. Dan ternyata.. VOILA! Memang benar perkataan sang Kepala Sekolah
kemarin. Semua anggota kecuali Silvia ternyata akan menuju ke Jogjakarta. Maka
mereka janjian akan bertemu di Ambarrukmo Plaza.
Tibalah saat keberangkatan mereka ke Jogja. Sesampainya
di Jogja, mereka mencegat taksi dan segera menuju ke tempat janjian yang sudah
dimaksud. "Semuanya udah ada di JCo ." 1 SMS terkirim dari Ichan ke
Handphone Daninda. "Eh, semuanya udah ada di JCo, nih!" Ucap Daninda
ke 2 sahabatnya.
"Oke, ayo kita cepet cari JCo, biar misi kita
cepet selesai!" Ajak Chrisvera.
Di JCo, semuanya sudah berkumpul . Sudah ada Ichan, Dion, Bimbim, Taro, Hanna. Mereka semua masih membawa koper kecil dan tas ransel. Wajah mereka pun kusut semua, ketahuilah, pasti mereka lelah.
"Hoi, disini hoi!" Panggil Taro kepada
Michelle, Daninda, dan Chrisvera. Setelah berhalo-halo dan berbincang-bincang,
mereka memesan minuman. Setelah itu, Michelle menyewa satu mobil van untuk
mengangkut mereka berdelapan. Kemudian, di mobil semuanya tertidur kecuali
Hanna, ia masih sedih memikirkan nasib sahabatnya, Silvia yang diculik sangat
jauh dari Jakarta.
Setiba menginjakkan kaki di hotel, mereka check in dan menyewa dua
kamar saja. Hitung – hitung hemat sembari menjalin keakraban. Tentu saja kamar
cowok dan cewek tidak campur menjadi satu. Selesai mandi dan beristirahat alias
tidur, tiba – tiba Handpone Bimbim berbunyi. Sebuah SMS masuk.
“Woey semua merapat kesini.” Teriak Bimbim yang suaranya ngalahin
mikrofon disetel sopran.
“Apa sih lu gangguin orang ngegame aja.” Keluh Taro keki.
“Ini dalam misi penting woey.” Michelle berkacak pinggang. “Ngegame
mulu daritadi. Perduli sedikit dong.”
Menatap Michelle kesal, terpaksa Taro mematikan gamenya yang lagi seru
stadium akut. Dasar sialan! Siapa sih
yang rese ngadain acara kayak gini?Rutuknya dalam hati.
“Gue perduli kok.” Dion tersenyum sok manis. Michelle membuang muka.
Sedangkan dibelakang Daninda, Chrisvera, dan Hana kompak ngakak.
“Woey, gue komandannya.” Bimbim kesal dianggurin. “Gue dapet SMS isinya
gini. Dipucuk tiga tingkat, sang Gautama bersiap ke Nirwana.”
“Udah gitu doang?” Ichan bersuara. Dari tadi dia diam kayak petapa.
Bimbim mengangguk. “Itu cluenya. Kita harus mecahin segera. Gue pengen
cepet pulang.”
“Dasar anak mami.” Ejek Michelle jahil. “Baru sehari ke Jogja udah mau
pulang.”
Bimbim melengos, dia memilih diam daripada debat dengan Michelle. Capek
nggak ada habisnya kalo diladenin.
“Tiga tingkat, Gautama.” Desah Hana pelan sibuk berfikir. “Gautama
bukannya budha ya?”
“Iya.” Sahut Daninda mengamini. “Tiga tingkat ....” suara Daninda
menggantung di udara. “Btw, di Jogja yang berhubungan sama budha cuma Borobudur
kan?”
“Dan di Borobudur susunan bangunannya terdiri dari tiga tingkat. Kamadhatu,
Rupadhatu, dan Aruphadatu.” Sambung Taro disambut tatapan kagum Hana dan
Daninda yang pikiran mereka sama.
“Jadi petunjuk berikutnya ada di Borobudur? Kalo enggak Silvia yang ada
disana?” Tanya Chrisvera disambut bahu terangkat oleh mereka semua.
“So, kita ke Borobudur?” Dion menghela nafas. “Berhubung jaraknya jauh,
kita nyewa di tempat nyewa kemarin aja. Gimana?”
“Ide bagus.” Sambut Ichan antusias. “Oke, karena ini uda malam. Kembali
ke kamar gih. Kita harus istirahat total biar besok fresh.” Ucapnya penuh nada
kebapakkan.
Dan meeting malam itu berakhir dengan Daninda yang masuk kamar
terakhir. Perasaannya ada yang ganjil. Entah mengapa pipinya merona tanpa dia
tahu sebabnya.
***
Dalam perjalanan, dari semua anggota 'The Eight
Friends', semuanya tidak ada yang tidur. Seluruh member sedang sibuk dengan
Gadgetnya. Mulai dari Ichan yang sibuk dengan GPS Super Canggihnya, Taro,
Michelle, Daninda, Bimbim yang sedang sibuk mencari cara untuk melacak
keberadaan Silvia, Chrisvera dan Hana yang sibuk mengotak-atik Handphone mereka
agar dapat mengakses ke seluruh jalan di Jogjakarta sampai yang besar sampai
jalan terobosan, dan Dion yang menyetir mobil van. Perjalanan ke Candi
Borobudur memakan waktu sekitar 3 setengah jam karena macet di Toll. Mereka
sampai disana jam 16.30 WIB. Sebentar lagi tempat pariwisata Candi Borobudur
akan segera tutup. Mereka segera bergegas mencari petunjuk kedua di area Candi
Borobudur, namun hingga Megaphone pengumuman terakhir kalinya berbunyi dan
mengatakan bahwa lokasi Candi Borobudur akan ditutup, bukti belum kunjung
ditemukan. Akhirnya mereka kembali ke Jogja dengan tampang kusut ngalahin
benang ruwet.
Paginya, setelah mereka bersiap-siap dengan membawa
ransel berisi jacket, snack, topi, payung, dompet, dan gadget mereka. Tak lupa
mereka membawa bantal leher mereka untuk beristirahat selama perjalanan.
Suasana mobil hari ini berbeda 36O derajat dengan kemarin. Suasana hari ini
sangatlah menyenangkan, tentu, karena semua gadget telah dirangkai sedemikian
rumitnya, sehingga, jika keadaan Silvia sudah terlacak, gadget gabungan itu
akan berbunyi keras.
Sesampainya disana, mereka bertemu dengan seorang
ibu-ibu yang memakai masker, kacamata hitam, dan memakai gaun berwarna putih
selutut. Menurut petunjuk, gadis itu termasuk dalam komplotan penculik yang
menculik Silvia. Dion pun bertanya tentang dirinya, dan apakah ia menculik
Silvia. Eh! Ternyata benar! Dion hampir saja lepas kendali dan ingin membanting
perempuan itu (sok karateka). Namun niatnya terhenti ketika perempuan itu
menodongkan pistol. Ichanpun segera menenangkan semua teman – temannya, tak
ingin hal buruk terjadi. Perempuan itu memberi petunjuk apa yang harus The
Eight Friends lakukan.
Pertama
kali yang harus mereka lakukan adalah mencari seorang pemuda yang merupakan
otak dari penculikan anak bangsawan alias Silvia. Menurut petunjuk, pemuda itu
akan bersembunyi didalam sebuah stupa. Sang perempuan tidak mau memberitahu di
lantai susunan ke berapa pemuda itu berada, namun katanya lagi, nyawa kedelapan
orang ini dapat dijamin.
Dalam perjalanan mencari pemuda otak dari penculikan ini, mereka harus mendaki beribu anak tangga, yang tentunya sangat melelahkan. Tiba-tiba saja... KREK!!
Dalam perjalanan mencari pemuda otak dari penculikan ini, mereka harus mendaki beribu anak tangga, yang tentunya sangat melelahkan. Tiba-tiba saja... KREK!!
"Aduuh!! Aww!!" Serentak semua member
menoleh, dan mendapati Daninda yang kebetulan menggunakan Heels Sneaker (Sepatu
sneaker dengan high heels didalamnya/diluarnya) sedang menangis sambil memijat
kakinya perlahan.
"Kakak keseleo?" Tanya Hanna bingung sambil
berusaha membantu Daninda berdiri.
"Iya, dek.." Jawab Daninda sambil menahan
sakit.
"Lu sih, udah gue bilangin waktu di Banyuwangi,
jangan bawa sepatu Heels Sneaker, orang ini acaranya mencak-mencak." Cibir
Michelle.
"Iyaa ;3.
Tapi mau gimana lagi nih sekarang yang penting?" Tanya Daninda.
"Aku ada,
sepatu Sepatu ngedance, yang semata kaki.." Ucap Hanna. "Tapi di
mobil." Ucapnya lagi.
"Emang mau balik ke mobil? Tanggung nih! ."
Tanya Michelle.
"Ya terserah
sih," Jawab Hanna dengan santainya.
"Gausah
balik ke mobil, dah. Sini, gue gendong aja, si Daninda." Tiba-tiba Ichan
menyergah, dan menaikkan tubuh kerempeng Daninda ke punggungnya.
“Eh gak usah.” Elak Daninda yang dibalas tampang tak
perduli Ichan. Daninda menoleh ke belakang dan hal konyol di pikirannya
terjadi. Semua Anggota The Eight Friends tengah tersenyum jahil penuh arti.
Jujur Daninda pengen turun dari gendongan Ichan dan ngegampar mereka satu –
satu, namun dia urungkan. Yang ada kini pipinya memerah menahan malu dan hanya
bisa mengumpat dalam hati. Kesal karena dia bodoh memakai sepatu Heels Sneaker.
Sesampainya di lantai susunan ketujuh, semuanya sudah
bermandi peluh, kecuali Daninda. Ketika Hanna menduduki sesusun batu,
tiba-tiba.. KREK KREK KREK KREK! DEG.. Seketika semua stupa di lantai susunan ketujuh
terbuka, dan dari berpuluh-puluh/mungkin ratusan stupa, ada satu stupa berisi
seorang pemuda bersenjata.
"Oh, no. He's armed with so many guns. How could
we..." Belum selesai Taro berbicara, tiba-tiba disergah oleh Dion.
"Heh, jangan ngomong gitu! Ntar beneran kejadian,
and we're gonna die young, dong!" Kata Dion.
"Diih, lu
sendiri juga ngomong aneh-aneh!" Bentak Bimbim yang tumben sewot. Mungkin
sewotnya saingan sama Michelle.
Sang pemuda mendatangi Ichan, dan memberikan sebuah
kertas. Dibacanya keras-keras didepan kedelapan anak.
"Petunjuk ketiga, kau harus meloloskan diri dari
tembakan yang berasal dari alat tembak otomatis ini. Berhati-hatilah, karena
kemungkinan besar, kelompokmu akan meninggal semua." Baca Ichan
keras-keras.
"MERUNDUK!! AWAS ICHAN!! DANINDA KENA NANTI,
BUNGKUK SEDIKIT!!" Teriak Michelle dengan lantangnya.
"Hey.. Ini bukan pistol dari tembaga atau
semacamnya.. Ini hanyalah pistol dari styrofoam yang dicat dan dibentuk
menyerupai butiran pistol! Dasar dudul semua!" Jelas Hanna sambil
menyentuh sebuah bedil. Padahal semua member udah merayap ngalahin semut.
Setelah membuktikannya, mereka segera berlari ke
susunan tingkat yang lebih tinggi dan mereka tidak menemukan seorangpun
ditingkat kedelapan. Namun mereka menemukan selembar karton besar berwarna
putih bertuliskan “Lakukan Hal ini sesuai
aturan, jika tidak, jangan salahkan bila nyawa kalian sendiri terancam.”
Mereka kompak membuka selembar kertas yang digulung pita merah. Dalam
surat itu disebutkan ada empat pintu dan mereka wajib masuk secara berpasangan.
Semua mata melotot melihat nama yang wajib dipatuhi.
“Ha? Gue sama Kalkun?” Michelle menatap Dion malas. Dion yang kayak
dapat durian runtuh cuma senyum tebar pesona.
“Sama bimbim?” Hana menoleh menatap bimbim. Mata mereka bertemu, dan
entah mengapa senyum Hana seolah ditarik perlahan. Disamping pipinya yang
memerah.
“Heh Vera, inget gue udah punya pacar ya di Jakarta.” Ultimatum Taro
yang disambut jitakan Chrisvera.
“Catet, gue bukan pedopil. Lagipula di Banyuwangi gue udah punya pacar,
jadi gak usah mikir yang aneh – aneh.” Seru Cristvera gemas.
Diantara mereka berdelapan, hanya Daninda dan Ichan yang tidak banyak
komentar. Raut wajah mereka mereka datar. Dalam benak mereka berdua, yang ada
hanya pikiran bagaimana semua ini cepat selesai.
Mereka berdelapan menuju empat penjuru mata angin, lengkap dengan
pasangan masing – masing. Di depan pintu mereka berpandangan bersama, saling
menguatkan apapun yang terjadi di balik pintu. Mengangguk pelan, mereka membuka
pintu bersama. Bersamaan dengan genggaman tangan hangat yang merengkuh jemari
Hana, Michelle, dan Daninda.
Tanpa mereka duga,dibalik pintu ternyata mereka berteleport kembali ke
lobby hotel. Disana berdiri Silvia dengan senyum tak berdosa. Lambaian
tangannya terangkat tinggi.
"Silvia!?" Tanya Hanna sambil menyongsong
Silvia.
"Haai ^^" Silvia malah melambai-lambaikan
tangan ke sahabatnya.
“Tunggu, semua ini maksudnya apa?” Serang Taro tak
sabar.
“Begini ...” Silvia tersenyum kikuk. “Sebenarnya ini
semua gue yang buat. Gue penasaran pengen tau kalian seperti apa. Apa kalian
rela ke Jogja karena gue. Dan apa kita bisa bercanda seru klo di real, gak di
maya.” Jelas Silvia yang dapat jitakan hangat dari Bimbim.
“Lu kira – kira dong, tugas kuliah gue numpuk tau.”
Dion menahan kesal.
“Gue juga sibuk lagi jadi panitia cosplay. Berkat lu
semua gue cancel.” Ichan menghembuskan nafas tak kalah kesalnya dengan Dion.
“Lu sukses buat gue, Michelle, dan Daninda ikut UTS
susulan. Apalagi kepsek gue sampek segitu takutnya.” Christvera membuang muka.
“Demi lu gue harus bohong ke mama alasan studi banding
di Jogja, sekaligus bolos UTS.” Ucap Bimbim tetap merasa tak puas meskipun
sudah menjitak Silvia.
“Lu pinter buat gue absen ngegame gara – gara ada
Michelle yang setia 24 jam ngrecoki gue kalo ketahuan ngegame.” Keluh Taro yang
dapat toyoran gratis Michelle.
Semua tertawa kompak melihat Michelle yang mencak –
mencak. Sedangkan Taro hanya bisa memberengut kesal ditoyor Michelle. Meskipun
berakhir dengan rasa kesal karena dikerjain Silvia, mereka semua senang bisa
bertemu. Dalam hati mereka tidak menyesal melakukan petualangan gila bersama –
sama. Akhirnya mereka tahu apa artinya itu teman, tak perduli cara mereka
bertemu melalui dunia maya. Karena teman adalah teman, selamanya teman, dan
akan selalu teman.
Kecuali ada cinta yang tumbuh perlahan. Mengikat
persahabatan yang mungkin saja berubah. Who know?
-END-
0 komentar