DENIS
02.10
Benda berbentuk persegi kecil yang
berguna untuk berkomunikasi jarak jauh itu membuatku muak. Canggihnya teknologi
tak selamanya menyenangkan. Semua fitur tersedia lengkap. Mulai dari akses
internet, MP3, sampai chatting. Sebetulnya bukan salah teknologi jika fiturnya
lengkap. Tapi untukku fitur seperti akses lagu menjadi boemerang tersendiri. Volume
suaranya yang keras membuatku terganggu.
Baiklah, mungkin ini aneh. Bagiku,
semua itu senjata ampuh karena aku benci berisik. Memang mudah bagiku
mengurangi volume suara yang keras jika aku membencinya. Tapi masalahnya bukan
aku yang memegang ponsel super canggih, tapi Denis. Lebih mudahnya akan
kuceritakan siapa itu Denis.
Denis adalah adikku berusia kurang
lebih tujuh tahun. Lengkapnya Denis Ramadan. Hobinya mendengarkan musik rock,
tapi kurasa musik keras tepatnya. Seharusnya dia mendengarkan musik sejenis
bintang kecil, pelangi – pelangi, atau abang tukang bakso. Tapi adikku lain.
Dia suka musik yang menghentak karena dia tidak bisa berhenti untuk bergerak.
Ada saja yang dia lakukan. Mulai dari kakinya yang bergerak, lanjut tangannya,
dan taruhan tak menunggu semenit dia sudah menggerakkan seluruh tubuhnya.
Sebagai kakak, baiknya aku tak
menggerutu seperti ini. Baiknya kumaklumi saja sifat adikku yang setiap hari
membuatku naik darah itu. Entah penyakit hiperaktif atau autis, aku tak
perduli. Yang jelas itu menggangguku dan memaksaku sering membuat alasan jika
teman – temanku ingin belajar di rumah. Alasan rumahku lagi kedatangan tamu,
lagi direnovasi, pokok semua alasan kukerahkan. Tak perduli sebagian temanku
mengerutkan kening.
Karena bagiku, Denis adalah aib dan
aku malu memiliki adik seperti dia. Sangat malu hingga setiap hari aku muak
melihatnya. Padahal dulu, jauh sebelum kenyataan ini melayang kearahku, aku
sangat ingin punya adik. Tentu saja adik normal dan menyenangkan. Adik yang
bisa kuajak keluar dan kubanggakan di depan teman – temanku. Seorang Vinda
Aryani si juara umum dan cewek tercantik di sekolah, masa punya adik cacat? Mau
taruh dimana mukaku?
***
Denis sebenarnya bukan adik yang
masuk kategori menyebalkan. Sebaliknya dia sangat baik. Diantara semua penghuni
rumah yang sibuk dengan urusan masing – masing, Denis selalu berusaha
membantuku, disela kegiatan home schoolingnya. Setiap pulang sekolah, Denis
membawakan jus jambu merah buatan Mbok Inah. Dia juga memanggilku ketika makan
pagi-siang-malam tersedia di meja. Tentu saja dia memanggilku, karena penghuni
rumah hanya ada aku dan dia, sedangkan papa dan mama sibuk kerja. Sangking
sibuknya mungkin lupa punya anak.
Berkali – kali aku berusaha menerima
Denis sepenuh hati, namun aku tak bisa. Aku mencoba perduli namun setiap hari
Denis selalu membuatku kesal. Apalagi kalau bukan gara - gara suara lagu rock
yang disetel sopran. Ditambah lagi kalau ngomong suaranya persis orang teriak
plus gagap, sambil tangannya bergerak
aneh persis orang idiot. Yah, seharusnya aku tidak memandang dia sehina itu,
tapi papa dan mama saja seperti alergi kalau dekat Denis. Jadi jangan salahkan
aku jika aku ketularan virus papa dan mama yang getol menjauhi Denis.
Seandainya aja papa dan mama punya villa di kota lain, mungkin Denis sudah
kutendang dari rumah.
***
Hari ini Jane dan gengnya memaksaku
membawa mereka ke rumah. Sialnya handphoneku ketinggalan di rumah, jadi aku
tidak bisa memberitahu Mbok Inah. Kuharap hari ini Denis sedang tidur atau home
schoolingnya lama, biar dia nggak nongol di rumah. Apa kata jane dan gangnya
kalau mereka melihat adikku? Turun pangkat dong?
“Jadi ini rumahmu Vin? Bagus banget
ya kayak istana.” Gumam Deasy penuh nada kagum begitu duduk. Aku tersenyum
kecil. Sembari was – was takut Denis nongol. Soalnya aku tidak sempat ke belakang
begitu geng kecil ini membuatku kerepotan.
Ketakutanku tak berselang lama
menjadi kenyataan begitu si pengacau suasana membawa nampan minuman. Aku tak
berkutik ketika Denis tersenyum lebar menyapa teman – temanku. Tanpa sedikitpun
rasa bersalah. “Ha-halo kakak kakak te-temannya kak vin.” Gagapnya mengudara.
“I-ini mi-minumannya. Se-seger lho, buatan De-denis.”
Jane dan gangnya kompak saling
menatap. Aku sudah mau bicara namun keduluan Jane. “Kamu adiknya Vinda? Kelas
berapa?” tanyanya penuh selidik.
“I-iya aku adiknya k-kak vin-vinda.
A-aku sekolah di ru-rumah kak.”
“Sini duduk sama kak Sinta.” Kini
Sinta malah bersiap menjadikan adikku bahan tontonan.
“Adikku perlu istirahat deh. Mending
kamu naik ke atas aja Den.” Ucapku yang dibalas tatapan ogah Denis. Emosiku
naik tahap satu.
“Adikmu kayaknya juga seneng kok
kalo rame gini. Sekalian kenalan sama kita Vin.” Senyum lebar Jane. Sialan,
padahal itu cuma kedok doang untuk membuat gosip.
“Te-temennya kak Vin-vinda cantik
ya.” Ucap Denis membuatku mau muntah.
“Kamu bisa aja deh.” Laras mencubit
pipi Denis. “Oh iya, namanya siapa?”
“De-denis kak.”
“Beneran adiknya Vinda?”
“Iya dia adikku.” Aku menyerobot
lebih dulu. “Adik angkat tepatnya. Mama dan papa nggak tega ngelihat dia di
panti asuhan, jadi dia masuk rumah ini deh.” Tambahku tak peduli muka Denis
menatapku tak percaya.
“Beneran Den?” tanya Jane serius,
begitu pula Deasy, Sinta, dan Laras yang sama penasarannya.
Denis membisu, sebagai gantinya dia
memandangku tanpa kedip. Jengah, aku membuang muka. Aku tak kuat memandang
matanya yang menyiratkan apakah benar apa yang aku katakan. Lama tak mendengar
jawaban Denis, kini Sinta yang mengulang pertanyaan Jane. “Beneran Denis apa yang
Vinda katakan?”
“Mb-mbok I-inah.” Panggil Denis
terbata. Matanya berkaca – kaca. Ada amarah yang menyerangku ketika kami
bertatapan. Namun sekali lagi aku berusaha tak perduli. Meskipun kali ini
perasaan bersalah tak memberiku ruang untuk tenang.
“De-denis mau ke ru-rumah Bu A-alya.
Ja-jaga kak Vin-vinda ya.” Ucapnya kemudian keluar rumah. Semua alis naik
melihat Denis tak memberi jawaban yang mereka inginkan.
Untuk pertama kalinya, entah
mengapa, aku merasa keterlaluan mengatakan hal itu di depanya.
***
Sekarang jam sepuluh malam.
Seharusnya aku sudah menarik selimut dan mimpi indah. Seharusnya aku tidak di
jalan tengah malam selarut ini. Seharusnya aku tidak gugup dan khawatir
memikirkan Denis. Banyak kata seharusnya yang nyelonong di otakku namun sia-
sia. Semua itu tak mengembalikan Denis.
Sejak siang tadi, tepatnya setelah
dia bilang mau ke rumah Bu Alya, ternyata Denis tidak benar – benar pergi
kesana. Buktinya Bu Alya cuma melongo bingung ketika aku menyambangi rumahnya.
Dan bertambah bingung lagi ketika Mbok Inah tadi ternyata tidak mendengar Denis
minta ijin. Perginya Denis tak urung membuatku kelabakan. Ditambah papa dan
mama pasti tak perduli. Mungkin malah senang kalau Denis menghilang.
Bukankah harusnya aku lega kalau
Denis menghilang? Bukankah aku seharusnya bahagia hidup tanpa bayang – bayang
malu? Ah ... aku bingung dengan diriku sendiri.
“Denis kemana ya non?” desah Mbok
Inah berurai air mata. Mendengar nada pilu Mbok Inah aku semakin khawatir.
Sebagian diriku mulai menyalahkan sikapku.
Aku terdiam membuang muka ke
jalanan. Sedang apa Denis sekarang? Apakah dia lapar sekarang? Apa dia sudah
makan? Apa dia baik – baik saja?
“Den Denis anak yang baik non.” Mbok
Inah bicara lagi. “Meski dia autis, banyak kekurangan dalam dirinya, tapi dia
mandiri non. Dia selalu membantu mbok masak, bersih – bersih rumah, bahkan Den
Denis yang mengurus taman. Den Denis selalu ceria, membawa energi positif, dan
ramah non. Meskipun ...” suara Mbok Inah tercekat. Beliau memandangku lesu
“Meskipun semua orang di rumah tidak perduli apa yang Den Denis lakukan.
Meskipun orang di rumah tidak tau kemajuan belajar Den Denis. Dulu bicara Den
Denis lebih gagap dan tidak jelas, sekarang sudah berubah. Den Denis juga lebih
bisa mengontrol sikap hipernya. Dia bisa menerima semua itu ikhlas, tak perduli
kakak yang disayanginya ...” Mbok Inah berhenti. Air matanya mengalir deras.
“Aku kenapa mbok?” tanyaku sesak.
Tak kusangka air mata membasahi pipiku sejak tadi.
“Non Vinda tak perduli, sering marah
– marah.” Mbok Inah seolah tak dapat bicara lagi. “Tapi ... tapi Den Denis
tetep semangat mengajak non Vinda makan bersama. Den ...”
“Mbok ... “Aku memotong ucapan Mbok
Inah. Hatiku sesak ingin meledak. Perasaan yang kupendam seperti bom waktu.
Kini meledak tanpa bisa kutahan. “Apa mbok tau perasaan aku punya papa dan mama
yang nggak perduli sama anaknya? Entah anaknya mati atau gantung diri mereka
nggak bakal perduli. Ditambah aku punya adik autis! Adik yang harusnya mendapat
perhatian khusus malah ditelantarkan gitu aja. Aku sempurna mbok. Cantik,
pinter, kaya, uang tingal minta papa dan mama. Tapi ...” mataku perih banyak
menangis. Ingusku merengsek keluar. “Sebenarnya yang aku pengen bukan itu. Aku
ingin papa dan mama perduli dan sayang sama aku dan Denis. Papa dan mama lebih
menghargai prestasiku, setidaknya memberi selamat. Aku pengen setiap minggu kami
berdua berlibur bersama bareng papa dan mama. Aku sering marah sama Denis
karena aku kecewa mbok. Aku kecewa sama semuanya.” Aku menutupi wajahku tak
sanggup bicara. Tubuhku gemetar mengatasi emosiku.
Mobil sepi, yang terdengar hanya
tangis sesakku. Uh ... aku benci cengeng di depan orang lain. Tapi tak bisa
ditampik hatiku benar – benar sakit. Perasaan kecewa pada papa dan mama
berhasil mengubahku sejauh itu. Menelantarkan Denis bahkan aku membencinya
setengah mati. Kakak macam apa aku ini?
“Non Vinda, lebih baik non Vinda
turun sekarang. Ini tempat faforit Den Denis jika sedih.” Pak Mamang menarik
perhatianku. Aku menoleh keluar jendela. Kuburan? Nggak salah ini tempat faforit
Denis?
“Mang?” aku tak sanggup bicara.
Gantinya syok, kini aku takut keluar mobil.
“Ini kuburan eyang putri non, kalau
non takut, mamang bisa antar non.”
“Kuburan nenek?” desahku baru ngeh.
Kuburan nenek aku bahkan lupa. Separah itukah egoku? Ya Allah maafkan aku.
Ditemani Pak Mamang, kususuri
beberapa blog tanah kuburan, yang jujur membuatku merinding. Tak berselang lama
aku melihat sebuah sosok yang terlentang di samping makam. Matanya terpejam.
Ketakutanku memuncak. Ya Allah, jika sesuatu terjadi pada Denis, seumur hidupku
aku takkan memaafkan diriku sendiri.
“Denis, Denis” panggilku sembari
menggoyang tubuh Denis panik. Bibirnya memutih dan merintih pelan. Mataku
panas, suaraku berubah liar memanggil namanya “Denis ini kak Vinda. Denis bangun
Den.. kamu denger kak Vinda kan?” bibirku kelu. “Maafin kak Vinda Den, Kak
Vinda janji nggak akan kayak gitu lagi. Kak Vinda akan lebih sayang sama kamu,
merhatiin kamu, nggak akan malu punya adik autis. Kak Vinda janji Den. Kamu buka
mata kamu dong.” Aku menggoyang tubuhnya. Kuraba denyut nadi di pergelangan
tangan. Nafasku sedikit lega ada detak disana.
“K-kak Vinda, ma-maafin Denis yang
nyu-nyusahin kak Vinda. Kenapa Kak Vin-vinda nyariin Denis? Kan kak Vinda ma-malu
punya adik ka-kayak Denis. Cacat, se-sering nyusahin k-kak Vinda lagi. Se-seharusnya
kak Vin-vinda biarin De-denis mati ke-kelaparan, nemenin E-eyang disi-sini.”
Desah Denis lemah.
“Kamu gila Den.” Aku berpaling
menatap pak Mamang kesal. “Apa yang pak mamang tunggu? Cepet bopong Denis dan
bawa ke rumah sakit. Pak Mamang mau biarin Denis tambah kedinginan?” bentakku
membuat Pak Mamang jantungan. Cepat – cepat pak Mamang membopong Denis dalam
dekapannya.
Yah, apapun kekurangan Denis, aku
baru sadar Allah pasti merencanakan sesuatu untuk Denis. Allah itu Maha Adil,
dan tidak sepantasnya aku menghakimi Denis karena dia cacat. Allah pasti punya
rencana besar sehingga menitipkan Denis padaku. Adik seperti Denis butuh
dukungan dan kasih sayang lebih, bukan perlakuan buruk seperti yang kulakukan.
Seumur hidupku, baru kali ini aku
merasa tak pantas hadir di dunia. Terlebih menjadi seorang kakak. Aku jijik
pada diriku sendiri. Sesempurna apapun fisik dan otakku, tak ada gunanya untuk
Denis. Satu –satunya ikatan saudara yang aku miliki. Ikatan yang harusnya aku
jaga sampai aku tiada. Tak perduli papa dan mama mencampakkan Denis. Denis,
maafin aku. Aku janji, mulai detik ini, apapun akan aku lakukan demi menjagamu.
Sebagai seorang kakak, bukankah itu tugasku, Denis?
***
0 komentar