Sunset Di Pelabuhan
04.12
Sebuah cerita yang jujur picisan, but ... thanks for reading :)
Sunset di pelabuhan
Namanya Rendra, lengkapnya Rendra
Darmawan.
Mata
beningnya selalu menyihirku. Sosoknya yang jakung seakan melindungiku setiap
kali kami jalan berdua. Wajahnya yang manis selalu membuatku tertegun. Apalagi
senyumnya. Ah … membuaku terpesona.
Aku
mengenalnya sejak dua tahun lalu. Hari itu masa orientasi sekolah. Kami tidak
sengaja bertemu saat terlambat bersama. Meskipun dia tidak mengenalku, anehnya
dia memberiku air mineralnya saat aku nyaris pingsan karena kehausan. Hari
berikutnya, seakan keajaiban.
Seolah
sudah di setting, aku selalu bertemu dengannya. Selama tiga tahun kelas kami
sama dan nomor absenku selalu di bawahnya. Semua ini berkat nama unikku, Shelly
Putri Amalia.
Tapi
itu tidak masalah. Itu menyenangkan. Sangat menyenangkan. Tunggu, dia datang.
“Shel,
sibuk baca apa?” Rendra duduk disampingku. Penasaran dengan buku yang ku
pegang.
“Nggak
ada.” Aku menutup buku yang ku baca. “Kenapa Ren?”
“Nggak
papa. Aku lagi bosen.”
Hening,
aku tidak tau harus berkata apa.
“Nanti
sore ke pantai yuk?”
Aku
menoleh menatap matanya. “Di pelabuhan?”
“Iya.
Lihat sunset sama kamu.” SenyumRendramembuatku terpaku.
Aku
tersenyum. Tanpa ragu aku mengangguk kuat. “Oke.”
Tiba
– tiba Rendra meraih jemariku. “Terima kasih ya udah jadi pacar yang imut untukku.”
Jackpot!
Pipiku memerah persis kepiting rebus. Oh iya aku belum cerita. Rendra ini
pacarku. Resminya sejak satu tahun lalu. Bagiku Rendra adalah cowok yang
sempurna. Bagaimana tidak sempurna kalau setiap hari dia selalu membuatku
tertawa? Sempurna bagiku tidak secara tampang, materi, maupun prestasi. Namun
sempurna karena dia membuat hidupku merasa berarti. Semenjak hidupku memendek
karena kanker otak.
Sebagai
penderita kanker otak, aku tidak bahagia. Setiap hari aku selalu dihantui kapan
aku meninggal. Kupikir ini mimpi. Tapi ini nyata dan tamparan hebat untukku.
Apalagi aku sendirian.
Sendirian
karena aku anak broken home. Anak yang nggak jelas mau ikut papa atau mama.
Jujur aku kesepian. Nyaris saja aku menyerah pada kematian. Mengalah pada
takdir yang ingin sekali yang kulewati. Takdir sampai sekarang harusnya untuk
orang lain.
“Shelly,
I love you.” Bisik Rendra pelan.
Aku
tersenyum lebar. “Love you too Rendra.”
***
Aku
lelah. Aku ingin berhenti sejenak karena terus berlari. Rasanya capek
menghindari apa yang disebut takdir. Namun aku tidak menghindari, lebih
tepatnya menyangkal. Menyangkal bahwa takdir ini merebut hidupku.
Semenjak
aku mengenal Rendra, semua terasa berbeda. Perlahan – lahan aku mulai lupa akan
penyakitku. Meskipun aku sering pusing dan pingsan, hanya dengan melihat Rendra
semua kembali normal. Karena Rendra melihat aku apa adanya. Rendra yang
mengerti betapa menderitanya aku dalam menjalani hidup. Berkat Rendra aku
menjadi Shelly yang ceria, semangat, dan penuh senyuman.
Namun
sejujurnya tidak. Semakin lama aku mengenal Rendra, hatiku semakin sakit.
Bayangan akan kematian menamparku lagi. Aku tidak ingin pergi terlalu cepat.
Aku masih ingin lama menatapnya, mendengar suaranya, dan merasakan kasih
sayangnya.
Anugrah
terindah sebelum aku tiada.
“Shelly
kenapa nangis?” Rendra terlihat khawatir melihat air mataku yang jatuh. Duduk
berdua menatap sunset seperti saat ini selalu membuaku sedih. Ren, aku nggak mau kehilangan kamu.
“Nggak
papa. Shelly bahagia bisa kenal sama Rendra.”
Rendra
tersenyum. “Sama Shel. Bagi Rendra kamu itu malaikat yang khusus datang buat
hidup Rendra.”
Aku
membalas senyumnya. Sementara air mataku masih berjatuhan. “Kira – kira papa
sama mama mikirin Shelly nggak ya Ren?”
“Pasti
Shel. Semua orang tua menyayangi anaknya. Mungkin kelihatannya papa dan mamamu
nggak perduli, tapi di luar sana mereka pasti kangen sama kamu.”
“Kangen?”
lidahku terasa pahit. Ingin rasanya aku menjerit kesal namun kerongkonganku
seakan dicekik. “Mereka cuma ngirim uang bulanan. Mereka nggak pernah tanya
kabarku. Nggak pernah telfon aku. Apa itu yang disebut kangen? Perhatian?
Mungkin kalo aku mati mereka juga nggak tahu.”
“Shel
…”
“Kankerku
udah stadium empat Ren.” Aku berusaha menghentikan tangisku namun aku tak
mampu. “Mereka nggak tau penyakitku. Ren sebentar lagi, semua akan berakhir …”
“Shel!”
Rendra membentakku. Aku terhenyak menatapnya. “Apa kamu nyerah sama
penyakitmu?” nafas Rendra naik turun. Aku tahu Rendra berusaha menahan
emosinya. “Aku nggak mau kamu nyerah Shelly. Kamu harus berjuang. Aku tau papa dan
mamamu seolah tak perduli, tapi seharusnya kamu sadar, di sampingmu ada aku Shel.
Aku nggak nyerah.”
Hatiku
seakan diremas melihat Rendra yang tidak menyerah. Cintanya yang tulus membuat
hatiku semakin sakit. Seandainya waktu bisa diputar, aku tidak ingin kanker sialan
ini bersarang di otakku.
Rendra
berusaha tersenyum sembari menatapku. Mata beningnnya berkaca – kaca. Aku tau Rendra
pura – pura tegar di depanku. “Aku tau ceritamu mungkin nggak panjang Shel.” Rendra
menggenggam tanganku. “Tapi aku pengen kamu bahagia dalam menjalaninya. Semua
ini patut disyukuri Shel. Meskipun hidup ini menyakitkan buat kamu.” Rendra
diam sejenak.
“Umur
seorang hamba hanya Allah yang tahu Shel. Rendra harap Shelly nggak mikir
masalah umur.Rendra pengen lihat Shelly bahagia. Nggak nangis lagi.”
Air
mataku semakin deras. “Shelly masih ingin hidup Ren. Masih pengen lihat kamu
setiap hari.”
Rendra
menghapus air mataku. “Makanya kamu nggak boleh nyerah. Rendra akan selalu
disini Shel. Rendra akan nemenin kamu sampai akhir.” Rendra menarik tubuhku
dalam dekapannya. “Karena cinta aku cuma buat kamu Shel.”
Tubuhku
gemetar dan air mataku jatuh kembali. Haruskan aku sedih? Memang kematian
jurang besar yang memisahkan aku danRendra, namun bukankah jalan ini yang
ditempuh setiap manusia? Hanya saja aku lebih cepat kembali. Pasti karena Allah
sayang padaku.
Baiklah,
aku akan berusaha bahagia. Aku tidak akan bersandiwara pura – pura bahagia.
Karena berpura – pura itu melelahkan. Aku ingin hidup dengan apa adanya aku.
Meskipun kanker menggerogoti tubuhku, membuatku rapuh kemudian menutup mata.
Semua pasti berjalan baik. Semua pasti berjalan bahagia. Walaupun di akhir
nanti aku tidak bertemu papa dan mama, biarlah. Aku akan membuat mereka
tersenyum karena beban mereka hilang. Meskipun di sini, di hati, rasanya remuk
sejak dahulu.
Aku
merebahkan kepalaku di bahu Rendra. Kini aku percaya Ren, aku tidak menyesal
hidup di dunia ini. Meskipun terlalu singkat untuk sekedar membuatmu tertawa. Meskipun
pertemuan ini tidak berlangsung lama.
“Apa?”
“Terima
kasih karena telah mencintaiku setulus hatimu.”
Kini aku mengerti
Aku bukanlah malaikat yang khusus untukmu
Aku hanya malaikat tanpa sayap yang berusaha memahami
Bahwa kematian bukanlah hal yang sederhana
Namun hidup sedetik saja … suatu keajaiban
0 komentar