Yang Terakhir

15.25

Aku tersenyum memandang kertas pengumuman. Dan akhirnya aku menjadi yang terakhir lagi.
Aku sudah terbiasa dikucilkan. Ditempatkan di urutan penutupan. Urutan yang tak pernah diinginkan karena jeleknya image. Nyaris semua orang ingin yang pertama. Dengan ego tinggi tanpa nurani, mereka berebut tempat terdepan dengan menghalalkan segala cara. Tak perduli langkah terkutuk sekalipun.
Adakah yang salah dengan yang terakhir? Menjadi yang terakhir, tak berarti yang terburuk. Menjadi yang terahir bukan berarti kau seorang yang tak diinginkan, tak punya arti apa – apa. Menjadi yang terakhir adalah anugerah. Setidaknya itu menurutku.
***
Aku memandang selembar kertas yang kini kaku di tanganku. Semua sendiku terasa ngilu, lemas seolah tak memiliki tenaga. Kuberanikan diri mengintip surat pengumuman nilai yang diberikan pihak sekolah. Seharusnya surat ini lebih dulu kuberikan kepada papa atau mama. Tapi aku sangat penasaran dengan hasilnya. Bukan, tak lain adalah memastikan aku tetap di peringkat pertama.
Ah entahlah. Aku sangat kacau dan terganggu sekarang!
Beberapa saat setelah mataku yang minus dua ini membaca, kacamataku terasa berat. Ada tetesan air yang menggenang. Aku melepas kacamataku, menyeka air yang tak lain adalah air mataku sendiri. Meremas kertas yang mengatakan aku peringkat kedua.
 Aku terpukul. Aku malu. Aku takut!
Ya, aku takut dikucilkan lagi. Dibiarkan sendiri oleh papa dan mama. Dalam arti mereka lebih memanjakan dan menyanjung Kak Yayo. Kak Yayo yang punya IQ diatas 120. Kak Yayo yang multitalent, lengkap dengan kulit bersih, wajah tampan, dan perangai anak baik – baik yang jauh dari kriminalitas. Kak Yayo yang sangat sempurna.
Masalah peringkat, urutan dua ini tak ada artinya dimata papa dan mama. Tidak ada ampun bagi angka dua. Harus satu. Dalam bidang dan keadaan apapun. Tak perduli rival yang kukalahkan mencapai empat atau lima digit angka sekalipun.
Entah mengapa, hari ini aku sangat lelah. Aku ingin berhenti dan beristirahat. Berdamai dengan diriku sendiri, menganggap semua ini bukan tekanan mental yang siap meledakkan isi kepalaku. Aku ingin menghirup udara bebas, hingga aku bisa terbang tanpa kepikiran Kak Yayo yang terus membayangiku.
Aku lelah Pa, Ma. Aku lelah menjadi orang lain yang terus berusaha memenuhi keinginan kalian. Aku lelah menjadi anak teladan sementara kalian tak pernah menghargai usahaku barang sejenak. Aku lelah menjadi anak rumahan dengan segala fasilitas mewah sementara kalian terus bekerja. Aku lelah menjadi anak kalian dengan beribu alasan yang ingin kuteriakkan sekarang!
Pa, Ma. Aku ingin mundur dari permainan ini. Aku ingin mengakhirinya tanpa menyakiti diriku lebih lama lagi. Aku tau kalian akan marah. Kalian takkan segan mencaci, menampar, bahkan mengusirku dari rumah jika aku menghentikan jalan ini. Aku tau kalian ingin dianggap hebat memiliki dua bintang yang cemerlang di berbagai bidang. Aku tau kalian ingin dipuji karena berhasil mendidik anak seperti aku dan Kak Yayo.
Tapi Pa, Ma. Aku sadar. Sekeras apapun aku dalam mencoba dan berusaha, takkan cukup hebat dimata kalian. Aku hanya ingin merasa dihargai. Aku tak meminta lebih. Setidaknya sedikit senyum aku sudah bahagia.
Pa, Ma, aku memang anak terakhir, tapi jangan jadikan aku sebuah potret bahwa yang terakhir adalah yang terburuk. Yang terakhir adalah yang tak pernah dihargai. Yang terakhir adalah kehidupan yang sia – sia. Dan yang terakhir seharusnya sesuatu yang tak ada.
Aku benci yang terakhir. Tapi aku juga benci yang pertama. Aku ingin normal saja.
***
“Peringkatmu kali ini turun, Fendy?” suara gadis menarik perhatianku. Aku menoleh. Samar bayangan gadis tengah mengamatiku lekat. Aku membetulkan kacamataku.
Tari sedang tersenyum lebar, hingga cekung pipinya nampak. Untuk sedetik tadi, nafasku seperti kutahan tanpa kusadari.
“Jadi kau mengejekku?” timpalku setelah berhasil menguasai kesadaran sepenuhnya. Aku memalingkan muka. Kupasang tampang angkuh.
Tari adalah gadis aneh yang pindah dari planet mars mungkin. Itu sebutanku untuk sifatnya yang tidak bisa ditebak. Selalu membuat masalah. Selalu berbuat sesuka hati. Setiap hari nyaris dia berurusan dengan guru BK. Pelajaran sekolah tak jauh dari angka lima dan enam. Juga hasil try outnya selalu berada di peringkat satu, dari bawah. Anehnya dia biasa – biasa saja. Cenderung cuek dan menganggap bukan masalah besar. Aku sangat heran mengapa ada gadis gila seperti dia.
Fantasiku lenyap mendengar gelak tawa Tari tepat setelah aku memalingkan muka. Penasaran, aku kembali menatapnya.
“Kenapa kau tertawa?” tatapku bingung.
Tari membekap bibirnya. Tawa liarnya sangat tidak kumengerti. Adakah yang lucu?
“Tampangmu lucu sekali. Seolah dunia akan kiamat begitu kau peringkat dua.” Tari masih tertawa. Semakin keras.
Aku tidak tertawa. Sebaliknya hatiku semakin sakit. Seperti ditonjok mendengar ucapannya yang gampang sekali kedengarannya. Dia tidak tau betapa tersiksanya aku berada di peringkat dua. Tidak, peringkat satupun aku juga tetap menderita.
“Ayolah Fendy, tidak bisakah kau tersenyum? Tampangku bisa menua sepuluh tahun lebih cepat jika cemberut terus. Lagipula ...” Tari menarik buku yang kupegang secara paksa. Aku hanya bisa melotot sebagai gantinya. “Kau sudah jenius tanpa membaca buku. Anggap Riska sedang beruntung sedang menempati klasemen puncak.” Tari tertawa lagi. “Kau perlu udara segar. Biar otakmu tidak meledak karena sering kau gunakan.”
Aku menarik paksa buku yang berada di tangan Tari. “Aku bukan kau yang menganggap semua hal adalah mainan. Aku bukan kau yang selalu terlibat masalah, selalu di peringkat terakhir lagi. Apakah kau tidak bosan berada di bawah terus?” sindirku tajam.
Tampang Tari datar. Tidak ada cengiran nakal, gelak tawa, bahkan dia melepas pegangan bukuku. Kini Tari menatapku serius. Bahkan tatapan tajamnya berhasil membuat bulu kudukku meremang. Sial!
“Kalau bicara siapa yang berada di peringkat akhir, kaulah orangnya!” desis Tari tajam.
“Maksudmu?”
“Kau selalu belajar, membaca buku hingga minus matamu lebih dari dua. Kau berusaha keras untuk menjadi yang pertama di segala bidang, hingga kau lupa siapa dirimu sendiri. Jujur aku kasihan padamu. Tidak ada rasa puas dan bersyukurkah dalam kamusmu?”
“Bukan begitu.” Ah kau tak tau Tari!
“Lalu apa? Kak Yayo? Keluargamu?” salak Tari keras.
Aku terperanjat. Gadis ini terlalu berani menguji kesabaranku. Belum pernah ada seorangpun yang membahas dua istilah itu. Kalaupun ada, aku sudah menamparnya.
“Jadi alasanmu itu?” Tari tersenyum sinis. “Kau tau, semua alasan yang kau gunakan tak lain adalah untuk menyangkal dirimu sendiri. Kau ingin dianggap hebat, jadi kau melakukan apapun untuk jadi yang pertama dan yang disanjung papa dan mamamu. Terlebih mengalahkan kak Yayo.”
“TUTUP MULUTMU!” bentakku keras. Nafasku naik turun. Sebisa mungkin aku menahan emosi yang siap meledak. Aku tidak ingin membentak Tari, apalagi menyakiti gadis itu. “KAU TAK TAU APAPUN JADI DIAMLAH!”
“Kau tau Fendy, jadilah dirimu sendiri.” Suara Tari melemah. “Fendy yang kukenal pertama kali masuk sekolah ini.”
Ha? Apa katamu?
“Fendy yang tersenyum tulus, bebas, dan selalu perduli dengan orang lain. Bukan sibuk dengan diri sendiri.” Tari menunduk. Dia kembali duduk di sampingku. “Menjadi yang terakhir bukan sesuatu yang buruk kok. Kau tau kelakuanku di sekolah seperti apa kan? Tak lain aku sedang mencoba rasanya menjadi yang terakhir, untuk jadi yang pertama.”
“Aku selalu dicap dungu, gagal, tak pernah sukses, dan sederet sifat lain yang identik dengan makna terakhir, tertinggal. Bahkan orang tuaku melakukan hal yang sama, bedanya mereka tidak menekankanku, sebaliknya mereka malah membiarkanku berbuat sesuka apapun. Tak pernah perduli dan bertanya mengapa aku melakukan semua ini.” tatapan Tari menerawang. “Awalnya aku bermaksud mencari perhatian, tapi tak berguna. Ya sudah, anggap saja semua tadi hiburan.”
“Kau suka merusak dirimu sendiri ya?”
“Hahaha, anggap saja begitu.” Tari kembali tertawa. “Aku bersyukur bisa berdamai dengan diriku sendiri. Semua itu seperti anugerah. Dengan menjadi yang terakhir, aku bisa melihat siapa aku tanpa pengaruh siapapun. Setelah sekian lama, akhirnya aku tau langkah apa yang harus ku mulai. Sekarang aku memang gagal, tapi lihat saja, besok aku lebih bersinar dibanding kalian semua, termasuk kau juga Fendy.” Ucap Tari yakin. Sedikitpun tidak ada ragu di wajahnya.
“Percaya diri sekali.” Aku tersenyum. Bukan senyum sinis, sebaliknya senyum penghargaan kepada Tari yang lebih berani dibanding aku. Gadis ini memang hebat.
“Tentu. Karena aku sudah tau rasanya yang terakhir. Dikucilkan, dihiraukan, bahkan dipandang sebelah mata. Sombong sekali mereka. Karena itu aku berjanji akan menjadi yang terdepan. Bukan untuk kedua orang tuaku, tapi untuk diriku sendiri dan semua orang yang masih menghargai aku.”
“Kalau tak ada?” sudutku.
“Setidaknya aku memiliki Tuhan.” Tari tersenyum. “Dihatiku.”
***
‘Setidaknya aku memiliki Tuhan.’ Tari tersenyum. ‘Dihatiku.’
Ucapan Tari sekelebat melintas. Ucapan yang menyejukkan. Ucapan yang bisa dijadikan pegangan bahwa yang kulakukan hari ini salah, maksudku adalah niatku dalam menjadi yang pertama. Gadis gila seperti dia ternyata bisa menceramahiku.  Membuatku sadar bahwa berdamai dengan diri sendiri lebih baik dibanding menjadi yang pertama namun menyakiti diriku sendiri.
Aku tau, apapun yang kulakukan setelah ini artinya bunuh diri. Papa dan mama akan marah dan semakin mengucilkan aku. Namun biarlah. Aku ingin menikmati masa remajaku dengan menghirup udara bebas. Bukan asap beracun yang membuatku sekarat.
Aku yakin, semua orang siap mengacuhkanku begitu aku tak lagi cemerlang. Tak masalah.  Aku masih punya Tuhan yang menemani di setiap sujud dan zikirku. Dan aku yakin juga, masih ada orang yang tersenyum dan mau menemaniku meski kupilih jalan bodoh sekalipun.
Orang itu adalah Tari, Mentari Bintang Aurora. Nama indah yang berhasil membuatku bersyukur akan diriku sendiri. Nama indah yang berhasil membuat jantungku berdetak ribuan kali lebih cepat.
Nama indah, yang berhasil membuatku jatuh cinta pula.
***
Akhirnya Fendy tersenyum. Bukan senyum yang terlihat di lahir, tapi di batin. Itu beribu kali lebih baik dan melegakan untukku, tak perduli sikapnya sebelumnya angkuh padaku.
Karena melihat Fendy bisa melihat arti menjadi yang terakhir, aku yakin dia bisa melaluinya. Kalaupun tidak, ada aku yang akan selalu mendorongnya dari belakang. Dengan doa, dengan cinta.




You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

fmaulidaa @Instagram

Subscribe