Definisi Keluarga
01.06
Definisi Keluarga
Sering kubaca beberapa baris kata
yang membahas makna keluarga. Entah dari cerita pendek, novel, bahkan beberapa
bait pantun yang sering meluncur dari bibir teman – temanku. Makna yang dalam.
Hingga menarik anganku untuk tiba – tiba memikirkannya. Aneh.
Keluarga adalah tempat yang paling baik untuk kembali. Dimana kau pergi,
selalu ada keluarga yang menerimamu tanpa menuntut. Keluarga yang memberi
tempat saat kau kedinginan dan tersesat untuk meneruskan perjalanan.
Singkatnya, kau takkan bisa hidup tanpa keluarga.
Apakah sedalam itu? kupikir tidak.
***
Kini
aku duduk di bangku panjang depan kampus. Bau tanah menyeruak hidungku. Pantas
setelah diterjang hujan ringan seharian. Bogor memang kota hujan. Tak ada hujan
selama lima hari saja terasa aneh. Terasa asing untuk tanah sampai baunya tetap
bertahan untuk sepuluh menit awal aku duduk.
Aku
meneliti guguran daun yang jatuh mengenai dahiku. Perlahan ku cium. Ada sensasi
segar yang merasuk dalam tubuhku. Aku tesenyum. Senyum pendek sembari
mengerling suasana di seberang tempatku duduk. Kontras sekali dengan aku yang
sendiri di sini.
Hari
ini pesta akbar bagi angkatan tertua kampus hijau ini. Setelah berlelah
mengerjakan skripsi, akhirnya dibayar lunas dengan penyematan topi toga. Ah cantik
sekali, ditemani seluruh keluarga untuk mengambil gambar bersama.
Ada
kata keluarga, tiba – tiba perutku mual.
“Dinda, ada orang yang menunggumu di
sekretariat.” Tegur seseorang menyelamatkanku dari fantasi ingin muntah. Aku
terlonjak.
“Siapa?” tatapanku tertumbuk pada...
entah siapa. Aku asing melihat wajah di depanku ini. Seorang laki – laki dengan
tubuh jakung dan wajah oriental. Seingatku aku tak pernah bertemu. Pasti kita
beda fakultas. Tapi mengapa dia tau namanku? Ah aku mulai hilang fokus. Dia
mengatakan apa tadi?
“Aku tak tau. Hanya saja pihak
sekretariat menyuruhku menyampaikan padamu. Kurasa itu keluargamu. Mengingat
hari ini semua orang bahagia karena dikunjungi keluarga.” Laki – laki itu
tersenyum.
Sedangkan aku tidak.
“Terima kasih.” Hormatku membalas
kebaikannya. Perutku yang ingin muntah seolah menjadi.
“Kau tau, kau seharusnya bahagia
untuk menyambutnya. Bukan dengan muka datar seperti itu.” ujar cowok itu tepat
sebelum aku melewatinya.
EH?
***
Melihatnya menjauh menuju
sekretariat, dadaku terasa lega. Nafas yang kutahan sedari tadi berangsur
normal. Aku tidak mengerti mengapa respon tubuhku begitu aneh. Padahal aku cuma
bertatapan muka dan sekedar berbicara ala kadarnya. Tidak lebih. Apa ini karena
aku bertemu langsung dengannya untuk pertama kali? Bukan bertemu, tepatnya berbicara
untuk pertama kali.
Aku meneliti gadis yang bernama Dinda
itu sudah cukup lama. Kurang lebih, terhitung dua tahun dari ukuran matematis.
Namun ukuran dua tahun sangat singkat dibanding keberanianku. Keberanian untuk
menyapanya. Keberanian untuk berkenalan dan duduk menemaninya di bawah pohon
akasia yang rimbun. Selama dua tahun aku mengamatinya, baru kali ini kami
bertatapan dan kesan yang kudapatkan tak jauh beda.
Dinda adalah gadis yang tak bisa
ditebak. Dia memiliki banyak teman. Suka bercengkrama sembari melontarkan
berbagai gurauan mengundang gelak tawa. Hanya satu kebiasaan aneh yang tak bisa
kumengerti. Dia betah duduk di bangku panjang tepat dibawah pohon akasia berjam
– jam. Berbekal setumpuk buku, dia diam disana seolah kursi itu miliknya
sendiri. Tangannya sibuk membuka lembaran yang tak sempat kuhitung saking
banyaknya. Pandangan matanya tajam. Terlebih saat mata Dinda melihat mahasiswa
lewat di depannya. Lengkap dengan keluarga yang ikut tertawa lepas. Seperti ada
yang salah.
Aku bukan paranormal, juga bukan
dukun yang bisa menebak seenak jidat. Meramal seolah tau kenyataan yang terjadi
di kehidupan nyata. Meneliti Dinda selama dua tahun membuatku tahu gadis itu
sedang tidak baik. Dia butuh pencerahan. Dia butuh teman untuk sekedar
bercerita dan berbagi keluh kesah. Aku tidak berharap lebih. Namun melihat
wajahnya yang sedatar tadi, membuatku semakin yakin dia memang bermasalah.
Terlebih saat aku sengaja memancingnya dengan kalimat tadi. Ada wajah
penasaran, juga heran dan sontak seolah bertanya “Bagaimana kau tau tentang hidupku?”
Aku tidak tau Dinda. Hanya saja,
salahkah dengan sebuah keluarga? Hingga kau tadi sekaget itu dengan ucapanku.
***
Ternyata bukan keluarga. Aku
bersyukur ternyata hanya teman SMA yang mencariku untuk menyerahkan undangan
reuni.
Keluarga? Kenapa aku sejijik itu
dengan sebuah hubungan yang tak bisa kutolak kehadirannya?
Aku mendongak. Terik samar cahaya
matahari menembus diantara dahan - dahan pohon akasia. Melindungiku.
Jika keluarga memberi kehangatan dan keamanan, mengapa hanya pohon akasia
yang perduli padaku? Dan mengapa ...
“Halo, bolehkah aku duduk di sini?”
sebuah suara menarik perhatianku. Laki – laki tadi.
“Uh-Oh ... silahkan.” Anehnya aku
sedikit gagap.
“Pohon akasia yang kokoh ya.” Ucap
laki – laki itu sudah duduk di sampingku.
Aku melirik sekilas. Berbagai
pertanyaan tengah berkelebat di benakku. Namun aku memilih diam.
“Iya.” Balasku sekedar basa – basi.
“Bisakah kita saling bertukar
pikiran?”
“Hah?” spontan aku menoleh. Semakin
bingung dengan laki – laki yang tengah tersenyum aneh menatapku. Garis pipinya
bersemu merah. Dan masalah ucapannya, jujur saja tidak penting. Aku tidak mengenal
dan tidak ada keharusan bagiku untuk meladeninya bicara. Tapi mengingat jasanya
tadi menyampaikan pesan, sepertinya aku harus mengikuti permainan kata.
Semoga saja bukan masalah itu.
“Em ... baiklah.” Jawabku setelah
sekian lama diam.
Laki – laki itu kembali tersenyum.
Aku semakin bingung mengapa dia mudah sekali tersenyum. Seolah berkata “Wajahmu sangat lucu. Aku ingin tersenyum
terus”
Dan kuanggap suara hatiku sendiri
yang miring.
“Hari ini kampus kita berbahagia ya.”
Laki – laki itu memandangku. Kemudian dagunya mengarah ke kerumunan di seberang
bangku. “Terlebih para keluarga yang ada di seberang itu.”
Tuh kan, kenapa harus topik ini yang
dibahas?
“Mungkin.” Nadaku terdengar
sekenanya.
“Kita pasti seperti itu juga ketika
di wisuda nanti. Kita memakai topi toga, berdiri bahagia di depan kamera
bersama keluarga, dan JPRET. Fotonya digantung di ruang keluarga deh.” Laki –
laki itu terkikik.
Mendengar ocehannya, tawaku ingin
menyembur. Sumpah imajinasi laki – laki ini luas sekali. Seolah hidup adalah dongeng
pengantar tidur lengkap dengan cerita bahagia di akhir buku. Juga kisah bahagia
tokoh utama, karena mendapat stempel lulus dan foto bersama keluarga. Kehidupan
yang sempurna.
Ya, sangat dan amat sempurna. Aku
muak!
“Kurasa begitu.” Aku tersenyum sinis.
“Mereka PASTI bahagia.” Penekanan kata PASTI seharusnya tidak ditangkap laki –
laki ini.
“Dalam hidup ini, bahagia bersama
keluarga adalah tujuan utama bukan? Selama kita hidup, biasanya kita melakukan
semua yang terbaik untuk keluarga. Membuat mereka bahagia dan bangga karena
memiliki kita.”
“Iya, pendapatmu benar.” Wajahku
kembali datar.
Aku sangat terganggu dengan ucapan
laki – laki ini.
“Bukankah kita bertukar pendapat
sekarang? Kenapa jawabanmu sangat dangkal?”
“Maksudmu?” aku menatap tajam. “Memang
bertukar pikiran. Namun bukan suatu keharusan untukku menjawab dan memberi
pendapat.”
“Kenapa? Kau terganggu?” alis laki –
laki itu naik.
Aku mendengus. “Memang kau sangat
ingin mendengar jawabanku?”
“Iya.” Sahut laki – laki itu tegas.
Sekarang dia benar – benar memandangku. “Kau salah satu mahasiswi cerdas di
sini. Bertukar pikiran denganmu kurasa menambah wawasanku.”
Aku mendesah pelan. Laki – laki ini
sangat memaksa. Baiklah, akan kuberi pelajaran agar laki – laki ini mengerti
definisi keluarga versiku.
“Jika kelurga adalah tempat paling
hangat dan aman, semua itu omong kosong. Tidak ada yang istimewa di dalamnya.
Keluarga hanya sebuah pengakuan dari suatu keterkaitan genetika. Yaitu adanya
keturunan karena parental.” Kosakata biologiku meledak semua. “Memang keturunan
mewarisi fenotip dari parental, bahkan susunan genetika dominan maupun resesif.
Namun parental hanya sekedar mewariskan, bukan mengerti akan maksud dari
keturunan itu sendiri.”
“Jika kau mengerti definisi keluarga
dari sisi parental dan keturunan saja, kau takkan mengerti apapun. Pernahkah
kau belajar arti keluarga dari sisi perasaanmu? Terlebih kau seorang wanita.”
“Apakah gender berpengaruh?”
“Kurasa kau lebih tau perbandingan
wanita dan laki – laki, yang mengatakan wanita lebih peka dan sensitif
dibanding laki – laki. Apakah aku perlu menjelaskan bagian itu juga padamu?”
“Tak perlu.” Aku menghembuskan nafas.
“Menjadi wanita adalah kondrat tersulit yang pernah kujalani.”
“Kok bisa?”
“Karena wanita itu banyak menggunakan
perasaan, bukan akal. Setidaknya itu yang membuatku capek karena aku dipaksa
berpikir dari sisi perasaan.” Aku terdiam sejenak. “Dan itu sungguh
mengganggu.”
“Termasuk definisi keluarga?”
“Karena aku terlalu banyak
menggunakan perasaan, aku semakin sangsi dengan makna keluarga.” Aku mendongak
menatap pohon akasia. “Setidaknya pohon ini lebih melindungi ketimbang
keluarga. Memang dia benda mati. Namun pohon ini seolah mengerti aku ketimbang
ikatan yang kau sebut keluarga itu.”
“Apakah makna keluarga bagimu tidak
ada artinya?”
“Memang.” Sekelebat ingatan itu
muncul kembali. Ingatan ketika papa bercerai dengan mama. Kemudian kedua
parental yang biasa disebut papa dan mama mencari kebahagiaan sendiri.
Meninggalkanku seolah aku potongan hina yang sempat mereka cicipi.
Jika tidak ada perasaan, mengapa harus bersatu? Mengapa harus mencoba
gerbang pernikahan jika untuk bermain saja? Mengapa itu harus aku yang
“beruntung” menjadi anak kalian? Mengapa aku yang dipilih? Mengapa bukan nyawa
lain saja yang lebih kuat dan kokoh dibanding aku?
Itu pertanyaan yang setiap hari
kutanya dalam setiap sujudku. Setiap hari. Hingga aku bosan dan akhirnya
menyerah. Aku malas bertanya. Toh tidak ada jawaban dan tidak ada yang berniat
menjawab.
“Kau ingin tau definisi keluarga
sesungguhnya?” laki – laki itu tersenyum pendek. “Benar, keluarga terdiri dari
parental dan keturunan, yang tak lain adalah orang tua dan anak. Tapi apakah
kau tau, lebih dari itu keluarga adalah orang yang perduli padamu. Keluarga
adalah tempat dimana kau bisa berlindung, hangat, dan tersenyum. Ikatan teman
atau sahabat bisa kau jadikan keluarga. Memang tidak ada hubungan darah. Tapi
percayalah, kau banyak memiliki ikatan keluarga dengan sekitarmu.”
Aku terpana. Laki – laki ini benar –
benar berani mengambil langkah untuk bicara lancang di depanku.
“Kau tau ... kau tak sendiri.”
Aku tak sendiri? Apakah suara hatiku sekarang terdengar ingin percaya? Bukankah aku ingin
acuh? Mengapa aku perduli dengan semua omong kosong ini?
“Aku tau makna kelurga adalah masalah
pribadi yang kau simpan rapat – rapat. Tapi setidaknya kau membuka diri untuk
makna keluarga yang baru. Yang baru saja kuucapkan.”
“Jadi sekarang kau mencoba
mempengaruhiku?” sudutku ragu. Selama pembicaraan tadi, banyak kata aku terlalu
membuka rahasia hidupku. Benar hanya beberapa kata dan definisi, namun laki -
laki ini terlalu pintar untuk mengambil kesimpulan yang mendekati skala
seratus. Aku salut.
“Tidak, bukankah kita sekarang
sekedar bertukar pikiran.”
“Oh iya.” Aku tersenyum pendek. Dia
memang hebat dalam memutar fakta.
“Terima kasih kau memberiku
pelajaran.”
“Tidak, kurasa aku yang perlu
mengucapkan terima kasih.” Ya, terima
kasih untuk membuatku ragu.
“Baiklah, aku pergi dulu Dinda. Kau
hati – hati ya.” Laki – laki itu kemudian bangkit dan bersiap menjauh.
Dinda? Oh iya,
aku belum tau nama laki – laki ini. Meskipun dia sok tau, setidaknya dia
berkata benar dalam beberapa hal.
“Hey, namamu siapa?” teriakku
mengatasi jarak yang semakin jauh.
Laki – laki itu berbalik. Pipinya
seranum tomat membuatku heran.
“Dimas.” Ujarnya singkat.
Dan Dimas tersenyum. Anehnya aku juga
ikut tersenyum.
***
Dinda, aku bahagia akhirnya kau
bertanya namaku. Permulaan yang bagus untuk saling mengenal bukan? Meskipun aku
lebih dulu mengenalmu lebih dari dirimu sendiri.
Semoga ada kesempatan untuk membuatmu
mengerti arti sebuah keluarga. Semoga Allah meridhoi. Bismillah.
***
0 komentar