Aku tersenyum memandang kertas pengumuman. Dan akhirnya aku menjadi yang terakhir lagi.
Aku sudah terbiasa dikucilkan. Ditempatkan di urutan
penutupan. Urutan yang tak pernah diinginkan karena jeleknya image. Nyaris semua orang ingin yang
pertama. Dengan ego tinggi tanpa nurani, mereka berebut tempat terdepan dengan
menghalalkan segala cara. Tak perduli langkah terkutuk sekalipun.
Adakah yang salah dengan yang terakhir? Menjadi yang
terakhir, tak berarti yang terburuk. Menjadi yang terahir bukan berarti kau
seorang yang tak diinginkan, tak punya arti apa – apa. Menjadi yang terakhir
adalah anugerah. Setidaknya itu menurutku.
***
Aku memandang selembar kertas yang kini kaku di tanganku.
Semua sendiku terasa ngilu, lemas seolah tak memiliki tenaga. Kuberanikan diri
mengintip surat pengumuman nilai yang diberikan pihak sekolah. Seharusnya surat
ini lebih dulu kuberikan kepada papa atau mama. Tapi aku sangat penasaran
dengan hasilnya. Bukan, tak lain adalah memastikan aku tetap di peringkat
pertama.
Ah entahlah. Aku sangat kacau dan terganggu sekarang!
Beberapa saat setelah mataku yang minus dua ini membaca,
kacamataku terasa berat. Ada tetesan air yang menggenang. Aku melepas
kacamataku, menyeka air yang tak lain adalah air mataku sendiri. Meremas kertas
yang mengatakan aku peringkat kedua.
Aku terpukul. Aku
malu. Aku takut!
Ya, aku takut dikucilkan lagi. Dibiarkan sendiri oleh papa
dan mama. Dalam arti mereka lebih memanjakan dan menyanjung Kak Yayo. Kak Yayo
yang punya IQ diatas 120. Kak Yayo yang multitalent, lengkap dengan kulit
bersih, wajah tampan, dan perangai anak baik – baik yang jauh dari
kriminalitas. Kak Yayo yang sangat sempurna.
Masalah peringkat, urutan dua ini tak ada artinya dimata
papa dan mama. Tidak ada ampun bagi angka dua. Harus satu. Dalam bidang dan
keadaan apapun. Tak perduli rival yang kukalahkan mencapai empat atau lima
digit angka sekalipun.
Entah mengapa, hari ini aku sangat lelah. Aku ingin
berhenti dan beristirahat. Berdamai dengan diriku sendiri, menganggap semua ini
bukan tekanan mental yang siap meledakkan isi kepalaku. Aku ingin menghirup
udara bebas, hingga aku bisa terbang tanpa kepikiran Kak Yayo yang terus
membayangiku.
Aku lelah Pa, Ma. Aku lelah menjadi orang lain yang terus
berusaha memenuhi keinginan kalian. Aku lelah menjadi anak teladan sementara
kalian tak pernah menghargai usahaku barang sejenak. Aku lelah menjadi anak
rumahan dengan segala fasilitas mewah sementara kalian terus bekerja. Aku lelah
menjadi anak kalian dengan beribu alasan yang ingin kuteriakkan sekarang!
Pa, Ma. Aku ingin mundur dari permainan ini. Aku ingin
mengakhirinya tanpa menyakiti diriku lebih lama lagi. Aku tau kalian akan
marah. Kalian takkan segan mencaci, menampar, bahkan mengusirku dari rumah jika
aku menghentikan jalan ini. Aku tau kalian ingin dianggap hebat memiliki dua
bintang yang cemerlang di berbagai bidang. Aku tau kalian ingin dipuji karena
berhasil mendidik anak seperti aku dan Kak Yayo.
Tapi Pa, Ma. Aku sadar. Sekeras apapun aku dalam mencoba
dan berusaha, takkan cukup hebat dimata kalian. Aku hanya ingin merasa dihargai.
Aku tak meminta lebih. Setidaknya sedikit senyum aku sudah bahagia.
Pa, Ma, aku memang anak terakhir, tapi jangan jadikan aku
sebuah potret bahwa yang terakhir adalah yang terburuk. Yang terakhir adalah
yang tak pernah dihargai. Yang terakhir adalah kehidupan yang sia – sia. Dan
yang terakhir seharusnya sesuatu yang tak ada.
Aku benci yang terakhir. Tapi aku juga benci yang pertama.
Aku ingin normal saja.
***
“Peringkatmu kali ini turun, Fendy?” suara gadis menarik perhatianku.
Aku menoleh. Samar bayangan gadis tengah mengamatiku lekat. Aku membetulkan
kacamataku.
Tari sedang tersenyum lebar, hingga cekung pipinya nampak.
Untuk sedetik tadi, nafasku seperti kutahan tanpa kusadari.
“Jadi kau mengejekku?” timpalku setelah berhasil menguasai
kesadaran sepenuhnya. Aku memalingkan muka. Kupasang tampang angkuh.
Tari adalah gadis aneh yang pindah dari planet mars
mungkin. Itu sebutanku untuk sifatnya yang tidak bisa ditebak. Selalu membuat
masalah. Selalu berbuat sesuka hati. Setiap hari nyaris dia berurusan dengan
guru BK. Pelajaran sekolah tak jauh dari angka lima dan enam. Juga hasil try outnya selalu berada di peringkat
satu, dari bawah. Anehnya dia biasa – biasa saja. Cenderung cuek dan menganggap
bukan masalah besar. Aku sangat heran mengapa ada gadis gila seperti dia.
Fantasiku lenyap mendengar gelak tawa Tari tepat setelah
aku memalingkan muka. Penasaran, aku kembali menatapnya.
“Kenapa kau tertawa?” tatapku bingung.
Tari membekap bibirnya. Tawa liarnya sangat tidak kumengerti.
Adakah yang lucu?
“Tampangmu lucu sekali. Seolah dunia akan kiamat begitu kau
peringkat dua.” Tari masih tertawa. Semakin keras.
Aku tidak tertawa. Sebaliknya hatiku semakin sakit. Seperti
ditonjok mendengar ucapannya yang gampang sekali kedengarannya. Dia tidak tau
betapa tersiksanya aku berada di peringkat dua. Tidak, peringkat satupun aku
juga tetap menderita.
“Ayolah Fendy, tidak bisakah kau tersenyum? Tampangku bisa
menua sepuluh tahun lebih cepat jika cemberut terus. Lagipula ...” Tari menarik
buku yang kupegang secara paksa. Aku hanya bisa melotot sebagai gantinya. “Kau
sudah jenius tanpa membaca buku. Anggap Riska sedang beruntung sedang menempati
klasemen puncak.” Tari tertawa lagi. “Kau perlu udara segar. Biar otakmu tidak
meledak karena sering kau gunakan.”
Aku menarik paksa buku yang berada di tangan Tari. “Aku
bukan kau yang menganggap semua hal adalah mainan. Aku bukan kau yang selalu
terlibat masalah, selalu di peringkat terakhir lagi. Apakah kau tidak bosan
berada di bawah terus?” sindirku tajam.
Tampang Tari datar. Tidak ada cengiran nakal, gelak tawa,
bahkan dia melepas pegangan bukuku. Kini Tari menatapku serius. Bahkan tatapan
tajamnya berhasil membuat bulu kudukku meremang. Sial!
“Kalau bicara siapa yang berada di peringkat akhir, kaulah
orangnya!” desis Tari tajam.
“Maksudmu?”
“Kau selalu belajar, membaca buku hingga minus matamu lebih
dari dua. Kau berusaha keras untuk menjadi yang pertama di segala bidang,
hingga kau lupa siapa dirimu sendiri. Jujur aku kasihan padamu. Tidak ada rasa
puas dan bersyukurkah dalam kamusmu?”
“Bukan begitu.” Ah
kau tak tau Tari!
“Lalu apa? Kak Yayo? Keluargamu?” salak Tari keras.
Aku terperanjat. Gadis ini terlalu berani menguji
kesabaranku. Belum pernah ada seorangpun yang membahas dua istilah itu. Kalaupun
ada, aku sudah menamparnya.
“Jadi alasanmu itu?” Tari tersenyum sinis. “Kau tau, semua
alasan yang kau gunakan tak lain adalah untuk menyangkal dirimu sendiri. Kau
ingin dianggap hebat, jadi kau melakukan apapun untuk jadi yang pertama dan
yang disanjung papa dan mamamu. Terlebih mengalahkan kak Yayo.”
“TUTUP MULUTMU!” bentakku keras. Nafasku naik turun. Sebisa
mungkin aku menahan emosi yang siap meledak. Aku tidak ingin membentak Tari,
apalagi menyakiti gadis itu. “KAU TAK TAU APAPUN JADI DIAMLAH!”
“Kau tau Fendy, jadilah dirimu sendiri.” Suara Tari
melemah. “Fendy yang kukenal pertama kali masuk sekolah ini.”
Ha? Apa katamu?
“Fendy yang tersenyum tulus, bebas, dan selalu perduli
dengan orang lain. Bukan sibuk dengan diri sendiri.” Tari menunduk. Dia kembali
duduk di sampingku. “Menjadi yang terakhir bukan sesuatu yang buruk kok. Kau
tau kelakuanku di sekolah seperti apa kan? Tak lain aku sedang mencoba rasanya
menjadi yang terakhir, untuk jadi yang pertama.”
“Aku selalu dicap dungu, gagal, tak pernah sukses, dan
sederet sifat lain yang identik dengan makna terakhir, tertinggal. Bahkan orang
tuaku melakukan hal yang sama, bedanya mereka tidak menekankanku, sebaliknya
mereka malah membiarkanku berbuat sesuka apapun. Tak pernah perduli dan
bertanya mengapa aku melakukan semua ini.” tatapan Tari menerawang. “Awalnya
aku bermaksud mencari perhatian, tapi tak berguna. Ya sudah, anggap saja semua
tadi hiburan.”
“Kau suka merusak dirimu sendiri ya?”
“Hahaha, anggap saja begitu.” Tari kembali tertawa. “Aku bersyukur
bisa berdamai dengan diriku sendiri. Semua itu seperti anugerah. Dengan menjadi
yang terakhir, aku bisa melihat siapa aku tanpa pengaruh siapapun. Setelah
sekian lama, akhirnya aku tau langkah apa yang harus ku mulai. Sekarang aku
memang gagal, tapi lihat saja, besok aku lebih bersinar dibanding kalian semua,
termasuk kau juga Fendy.” Ucap Tari yakin. Sedikitpun tidak ada ragu di
wajahnya.
“Percaya diri sekali.” Aku tersenyum. Bukan senyum sinis, sebaliknya
senyum penghargaan kepada Tari yang lebih berani dibanding aku. Gadis ini
memang hebat.
“Tentu. Karena aku sudah tau rasanya yang terakhir.
Dikucilkan, dihiraukan, bahkan dipandang sebelah mata. Sombong sekali mereka.
Karena itu aku berjanji akan menjadi yang terdepan. Bukan untuk kedua orang
tuaku, tapi untuk diriku sendiri dan semua orang yang masih menghargai aku.”
“Kalau tak ada?” sudutku.
“Setidaknya aku memiliki Tuhan.” Tari tersenyum.
“Dihatiku.”
***
‘Setidaknya aku
memiliki Tuhan.’ Tari tersenyum. ‘Dihatiku.’
Ucapan Tari sekelebat melintas. Ucapan yang menyejukkan.
Ucapan yang bisa dijadikan pegangan bahwa yang kulakukan hari ini salah,
maksudku adalah niatku dalam menjadi yang pertama. Gadis gila seperti dia
ternyata bisa menceramahiku. Membuatku
sadar bahwa berdamai dengan diri sendiri lebih baik dibanding menjadi yang
pertama namun menyakiti diriku sendiri.
Aku tau, apapun yang kulakukan setelah ini artinya bunuh
diri. Papa dan mama akan marah dan semakin mengucilkan aku. Namun biarlah. Aku
ingin menikmati masa remajaku dengan menghirup udara bebas. Bukan asap beracun
yang membuatku sekarat.
Aku yakin, semua orang siap mengacuhkanku begitu aku tak
lagi cemerlang. Tak masalah. Aku masih
punya Tuhan yang menemani di setiap sujud dan zikirku. Dan aku yakin juga,
masih ada orang yang tersenyum dan mau menemaniku meski kupilih jalan bodoh
sekalipun.
Orang itu adalah Tari, Mentari Bintang Aurora. Nama indah
yang berhasil membuatku bersyukur akan diriku sendiri. Nama indah yang berhasil
membuat jantungku berdetak ribuan kali lebih cepat.
Nama indah, yang berhasil membuatku jatuh cinta pula.
***
Akhirnya Fendy tersenyum. Bukan senyum yang terlihat di
lahir, tapi di batin. Itu beribu kali lebih baik dan melegakan untukku, tak
perduli sikapnya sebelumnya angkuh padaku.
Karena melihat Fendy bisa melihat arti menjadi yang
terakhir, aku yakin dia bisa melaluinya. Kalaupun tidak, ada aku yang akan
selalu mendorongnya dari belakang. Dengan doa, dengan cinta.