Mawar, Gincu, dan Pencarian Kumbang

14.52

Mawar, Gincu, dan Pencarian Kumbang
Cantik adalah kutukan. Kata ini yang sangat ingin kutegaskan padamu. Jangan berdoa meminta cantik. Jangan mendesah iri melihat gadis yang lebih cantik. Sekali lagi karena cantik adalah kutukan. Sekali-kali jangan meminta menjadi cantik.
Tentu kau penasaran, mengapa aku berkata demikian?
Baiklah. Akan kubacakan sebuah kisah tentang Mawar dan Kumbang. Agar kau mengerti dan meyakini dengan jelas, cantik adalah kutukan!
***
Sebelum memulai, baiknya kita sepakati pelaku utama cerita. Panggil dia Ayu, perwujudan nyata dari sebuah mawar. Analogikan Ayu sebagai mawar yang merah merekah. Menyala indah di pucuk tangkainya. Dikagumi semua orang atas anugerah sempurna yang Tuhan berikan. Tak ada cacat darinya. Semua makhluk mengakui kecantikannya. Setiap gerak, ucapan, dan senyumnya adalah fenomena terindah. Bahkan pelangi dan senja mengangkat bendera putih. Kalah.
Kesempurnaan itu makin lengkap saja. Orang berkata demikian karena hidupnya bagai dunia peri. Ayah seorang raja, ibu seorang ratu. Kedua orang tuanya bukan penguasa di negeri wonderland, tapi dunia perminyakan se-Asia Pasifik. Tak tanggung lagi kekayaannya. Tak cukup di situ, kekayaan yang melimpah digunakan beramal. Liat saja rumah baca, rumah zakat, panti asuhan, dan yayasan donor organ. Semua itu milik keluarga Ayu saja.
Didikan yang baik menghasilkan buah yang baik pula. Hidup tanpa tantangan menghasilkan Ayu yang gemilang. Dia lulus sarjana dari universitas terbaik dunia. Langsung duduk di kursi CEO perminyakan milik orang tua.
Metamorfosis hidup? Kamus ini tak berlaku. Jika kupu-kupu perlu melalui fase kepompong, Ayu tak perlu miskin dan buruk rupa untuk menjadi miliader. Tak perlu berusaha keras untuk menjadi yang terbaik. Hidup tak adil? Tanyakan pada Tuhan. Jangan padaku.
Lalu Ayu sanksi. Dia bosan. Rutinitas yang dijalaninya terlalu monoton. Tak pernah dia temui kendala yang berarti. Sampai akhirnya dia coba-coba. Dunia hitam seperti apa sih?
Maka dia pergi ke sebuah tempat daerah Surabaya. Kawasan yang sebelumnya tak pernah dia injak. Berita menuliskan tempat itu bernama Dolly. Tempat yang terdiri dari kios-kios dagangan. Dagangan manusia khususnya wanita, tentu saja.
Ayu bertemu germo Dolly. Meminta diberikan gadis terbaik dari kiosnya. Si germo mengenyit. Untuk apa gadis cantik seperti Ayu meminta barang? Si germo akhirnya tutup mulut melihat selembar cek bernominal sembilan angka dia terima. Masa bodoh dengan kelainan Ayu. Penting dia mendapat uang.
Barang yang diberikan si germo berada di tangan Ayu. Seorang gadis enam belas tahun yang banyak menunduk. Wajahnya sangat cantik, apalagi ditambah gincu yang tebal. Lipstiknya merah darah, seolah meminta semua orang mengecupnya.
Ayu tentu masih normal. Dia tidak menginginkannya. Dia hanya terlalu penasaran.
“Kau tidak sekolah?”
“Anda bertanya pada saya?”
Tawa Ayu nyaris menyembur. “Anggap saja aku bertanya pada kembaranmu.”
Gadis itu tersentak. “Bagaimana anda tau saya memiliki kembaran?”
Sekarang Ayu yang kaget. Dia semakin tertarik pada gadis di depannya. “Aku hanya menerka. Bagaimana kau bisa sampai di rumah bordil?”
“Anda wartawati?”
“Memang kenapa?”
“Mami tak mengizinkan saya buka mulut pada orang lain.”
“Mamimu tak akan protes. Aku sudah membayarnya sejumlah uang. Lagipula aku juga bukan wartawan. Santai saja.”
“Lalu anda ingin apa dari saya?”
“Bercerita lah tentang dirimu. Aku ingin mendengarnya.”
“Kalau saya tak mau?”
“Aku akan menarik cek yang kuberikan pada mamimu. Impas, kan?”
Gadis itu menunduk. Dia ingin secepatnya berlalu dari muka Ayu. Dia tak ingin orang lain menelusuri hidupnya. Orang lain berhak apa? Mereka tak ada hak atasnya. Kecuali satu, maminya. Germo rumah bordil yang membeli janjinya.
Terbata, gadis itu akhirnya mecicit. Mengatakan beberapa kata yang memaksa keadaan hening. Ayu makin mendekat. Menempelkan telinganya pada cerita si gadis. Sesekali tubuhnya bergetar. Sempat menyesal terlanjur mengunjungi rumah bordil.
Gadis itu memulai cerita. Dia terlahir dari keluarga yang miskin. Atap rumahnya hanya ditopang kardus bekas, yang tentunya amblas saat hujan turun. Tidak ada perabotan istimewa. Kecuali sebuah kipas angin bekas agar rumah kardus mereka tak kegerahan.
Gadis itu tak pernah menyesal lahir dalam keluarga yang demikian. Setidaknya itu ajaran yang dia pahami dari agama. Selalu bersyukur. Tak pernah menyerah atas hidup yang dikata orang kurang beruntung. Toh orang tua sangat sayang pada keduanya. Bahkan hebatnya lagi, keduanya beruntung mencicipi bangku sekolah. Sebuah mimpi yang mustakhil di dapatkan anak keluarga miskin.
Bangku sekolah yang menyenangkan, menjadi hingar saat sudara kembar si gadis mengenal cinta. Dia tertangkap kumbang yang mengagumi kecantikannya. Gadis itu sudah memperingatkan supaya saudara kembarnya hati-hati. Yang terjadi justru sebaliknya. Saudara kembarnya justru jatuh dalam kegelapan yang pekat. Seks bebas. Sangat candu, ketagihan, dan gila. Sebut saja semua istilah yang mengambarkan esensi kenikmatan. 
Keluarga kecil nan miskin berakhir tragis. Metamorfosis kehidupan seolah tak berlaku. Bukankah seharusnya mereka berdua menjadi kupu-kupu indah? Mengapa keduanya tetap terikat kemiskinan dan ketidakberdayaan? Apa salah keduanya? Apa ini karma kedua orang tuanya? Bukankah setiap hari keluarga itu berdoa pada Tuhan selalu diberikan yang terbaik? Apa yang salah di sini?
Gadis itu tak mengerti. Dia terlanjur dendam pada kumbang yang menjadikan suadara kembarnya gila. Saudara yang harusnya membawa perubahan dalam keluarga miskin mereka, berakhir mati sia-sia. Aids. Itu kata dokter sebelum saudara kembarnya dimakamkan.
Gadis itu bertekad menemukan kumbang dengan tangannya sendiri. Memberi pelajaran agar si kumbang menyadari kesalahan fatalnya. Dan gadis itu memilih rumah bordil sebagai langkah awal. Pikirnya, kumbang menghancurkan sudara kembarnya dengan bersetubuh, tentu minimal sekali saja, laki-laki itu pernah mengunjungi Dolly..
“Kau sudah mendapatkannya?”
Gadis itu menggeleng.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Menunggu.”
“Dengan melakukan semua hal bodoh ini?”
Gadis itu menentang tatapan Ayu tajam. “Apa yang anda maksud dengan hal bodoh?”
“Kau berkata tak ingin terpuruk dalam kemiskinan hingga kau belajar keras di sekolah. Lalu sekarang, demi balas dendam yang tak bisa ku pahami kerjanya, kau menikmati setiap malam bersama laki-laki yang berbeda demi mencari kumbang yang menghancurkan saudara kembarmu. Apa kau tak sadar tengah menghancurkan diri sendiri?”
“Orang kaya dan anak tunggal seperti anda tak bisa mengerti.”
Ayu bungkam. Mulut gadis ini terlalu tajam. Kena sasaran tepat di hatinya.
“Ada banyak masalah yang tak bisa diselesaikan dengan logika dan moral. Memang benar rumah bordil tak dibenarkan, saya juga setuju dengan itu. Tapi disini...” gadis itu menunjuk hati. “ada sakit yang tak bisa dilupakan. Ada luka yang tak bisa disembuhkan. Anda mungkin tak pernah melihat orang tua menangis kesetanan. Mereka terus histeris memanggil nama sudara kembar saya, Nada, berulang kali hingga detik ini. Tak bisa menerima bahwa anak cemerlang mereka meninggal sia-sia. Hidup yang awalnya memang parah, semakin menjadi saat mereka memilih menyerah. Tentu anda tak mengerti dan takkan pernah bisa memahaminya. Karena anda tak pernah mengalaminya.”
Gadis itu bangkit. Terlihat jelas berusaha tak menjatuhkan air mata.
“Sudah cukup saya menjual cerita saya. Katakan pada Mami, saya melayani anda dengan prima. Saya tak ingin bayaran saya di potong.”
Usai berkata demikian, gadis itu melangkah pergi. Meninggalkan Ayu yang termenung dalam. Memikirkan pembicaraan yang menghabiskan tiga jam waktu produktivnya. Mencerna dalam. Ternyata di luar hidupnya banyak cerita yang tak mulus. Daur hidup yang tak berjalan semestinya. Banyak sekali rintangan yang menjadikannya gagal.
Lalu, semua ini salah siapa? Haruskah manusia yang kembali disalahkan atas pilihan yang melenceng? Apakah dunia penuh kebahagiaan hanya dalam dunia peri saja? Dunianya?
Ayu mengikuti gadis itu diam-diam. Hari masih sore saat gadis itu memilih pulang daripada kembali ke rumah bordil. Mungkin hatinya terlalu hancur. Khawatir mood yang buruk menghancurkan suasana dengan para pelanggan. Dia juga tak siap bertemu kumbang dalam keadaan seperti ini.
Gadis itu terus berjalan ke kawasan perkampungan kumuh. Konsentrasi penuh menuju rumah reyot yang di depannya duduk seorang tua. Tatapan matanya kosong. Tak ada pertanda hidup dalam wajahnya.
Jarak lima puluh meter, tiba-tiba gadis itu berbelok ke sudut rumah kardus lain. Ayu masih menunggu. Lima menit kemudian gadis itu keluar. Penampilan si gadis menampar Ayu.
Sekarang gadis itu memakai kerudung panjang menutupi dada. Terusan panjang menyapu sepanjang jalan yang dia lewati. Gincunya hilang. Hanya terlihat sebuah senyum tulus dan lelah saat mengampiri wanita tua itu.
“Assalamualaikum ibu, Nada pulang.”
***
Ayu kembali menekuni kertas-kertas yang bertumpuk. Sesak, dia mengambil note book dan menulis beberapa kata.
Metamorfosis bukan sekedar perubahan menjadi lebih baik. Ada kalanya dalam perubahan tidak selalu berhasil melewati rintangan. Banyak kegagalan dan akhirnya jatuh. Namun lebih dari itu, penting memahami semua proses dan belajar darinya. Rusak bukan berarti tak bisa digunakan, hanya menunggu sadar, kapan seharusnya cepat diperbaiki.
Handphone Ayu berdering. Nomor asing masuk. Ragu-ragu, Ayu menekan tombol receive.
“Maaf ini dengan Ibu Ayu?”
Ayu tersentak. Dia mengenal suara ini. Suara gadis yang dia tanyai kisahnya beberapa hari lalu. Kisah tentang saudara kembar dan Kumbang. Tentang cantik yang membawa petaka. Tentang kemiskinan, kepolosan, dan ketidakbedayaan yang menyesakkan. Sekaligus tentang kehebatan yang menyadarkannya.
“Saya menemukan kertas tawaran kerja di perusahaan ibu. Apa benar ibu yang mengirimkannnya?”
***
Demikian kisahnya. Aku tak mengetahui ekspetasimu atas ceritaku sejak awal. Pun, aku tak peduli atas komentarmu barangkali kisahku sejenis sampah. Sejujurnya aku juga tak yakin apakah penegasan ‘cantik adalah kutukan’ menyentuh permasalahan. Aku tak peduli. Sungguh tak peduli atas pandanganmu atau orang lain.
Terakhir, pernahkah kau terbesit bertanya,  siapa aku?
Kan, kau saja tak berminat tau. Apalagi kumbang yang kucari keberadaannya.
Hahaha, kenalkan aku Nadi, kembaran Nada. Aku cantik dan cukup tau Nada mati sia-sia karena kecantikan kami. Sekian. Terima kasih.

-FM-

Note : Cerpen ini berhasil menjadi Juara 2 Tulis Cerpen IAC BEM KM IPB 2015

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

fmaulidaa @Instagram

Subscribe