Gejolak Batin Saidah

15.01

Gejolak Batin Saidah
Saidah menengok sebentar. Kerumunan orang sudah menyemut. Tua, dewasa, remaja, dan anak-anak berbaur menjadi satu. Mereka berbaris ingin tahu. Berdesak-desakan di ujung depan untuk melihat Saidah. Ya, Saidah akan menari. Sebagai keturunan kesekian dari seblang sebelumnya, Saidah beruntung ‘terpilih’ oleh makhluk halus yang berdiplomasi dengan tetua desa.
Seblang adalah nama sebuah adat yang dijalankan di desanya, Olehsari, sejak jaman setelah perang puputan bayu. Tujuan awalnya adalah pemujaan animisme-dinamisme, namun seiring perkembangan waktu akhirnya digunakan untuk tolak bala. Menyesuaikan dengan kepercayaan warga desanya yang kebanyakan memeluk Islam. Perayaannya dilakukan setelah lebaran Idhul Fitri.
Menjadi penari seblang, khususnya seblang olehsari, tak sembarangan orang bisa menarikannya. Harus keturunan seblang sebelumnya. Syarat wajib. Selain itu, pemilihan penari juga dilakukan makhluk halusnya sendiri. Tentu makluk halusnya terlampau pintar, pikir Saidah. Bagaimana makluk halus itu bisa tahu kalau nenek moyangnya, entah canggah atau buyutnya, ternyata penari seblang? Mungkin mereka punya peta silsilah di alamnya.
Kalau dibolehkan, Saidah ingin lari. Sungguh dia tak ingin berada di posisinya sekarang. Dulu memang dia ingin sekali menjadi penari seblang, terbesit setelah melihat Inah –sepupunya yang terpilih dua tahun sebelumnya, banyak mendapat pujian. Inah masuk di headline beberapa koran. Bahkan fotonya yang sedang menari kejiman pun beredar luas di internet. Inah mendadak jadi bintang. Banyak bule yang meminta foto bersamanya, bahkan pak bupati pun memberikan uang pesangon sebagai apresiasi Inah telah menari. Saidah iri. Dia ingin berada di tempat Inah. Dia ingin mendapatkan keberuntungan yang sama.
Beruntung? Saidah tersenyum sarkastis. Umurnya baru menginjak empat belas tahun. Dia belum akhil balik. Belum mengalami menstruasi. Selama setahun ini dia berdoa penuh agar dedemit kampung tak pernah memilihnya. Mengabaikannya saja. Toh banyak keturunan seblang lain yang seumuran dengannya.
Saidah memang belum dewasa, tapi pikirannya selangkah lebih maju dari sebayanya. Dia mendapat pendidikan, dan pendidikan itulah yang merubah pandangannya akan seblang. Semua buku, artikel, dan majalan budaya yang sudah dia baca, menguatkan pikirannya bahwa menjadi penari seblang adalah jalan terbaik untuk melestarikan budaya. Warisan nenek moyang yang perlu dijaga kelestariannya. Dan Saidah juga tak ada protes mengenai hal itu. Namun, sungguh kenyataannya sangat kontradiksi, seandainya orang-orang di kampungnya mau berpikir. Melakukan tari seblang yang mana mengikuti petunjuk makhluk halus, bukankah syirik? Terlebih tujuannya untuk bersih desa lagi!
Ada kepercayaan, konon jika tidak mengadakan tari seblang, desa akan kena pagebluk –serangan penyakit atau bencana mengerikan. Kepercayaan itu meluas setelah selama beberapa tahun warga desa banyak yang mati. Padahal mati dan lahir adalah daur kehidupan manusia, sudah sewajarnya kematian datang. Namun bela mereka, kematian yang menimpa warga desa tidak wajar. Setiap hari ada yang mati, bahkan dalam sehari lebih dari seorang. Kalau sudah begitu, apalagi kalau bukan pagebluk?
Berdasarkan riwayat yang Saidah pernah baca, kematian yang menyerang warga desanya di jaman antah berantah itu tak lain karena serangan penyakit. Terjadi wabah besar hingga banyak orang yang tertular. Mereka mati mengenaskan tanpa sempat diberi pertolongan medis. Tentu dengan kemiskinan dan pengetahuan yang rendah, orang jaman dahulu mampu berbuat apa? Hanya kepercayaan mereka yang semakin meningkat mengenai pagebluk dan menghubungkannya dengan seblang yang kala itu tak pernah dimainkan.
Dan kepercayaan warga itulah membawa Saidah ke titik ini. Titik dimana Saidah tak bebas menentukan pilihannya sendiri. Semua sekehendak dedemit desa, yang sebelumnya dipanggil tetua desa. Semua orang tua yang mempunyai anak perempuan belum akhil balik dan memiliki  pertalian darah dengan seblang, harap-harap cemas anaknya terpilih, tak terkecuali orang tua Saidah. Kalau orang tua lain khawatir, Emak Saidah sebaliknya. Justru Emaknya melonjak girang ketika tetua desa mengatakan Saidah yang terpilih. Saidah tak habis pikir, apa sih yang membuat Emak sedemikian bahagianya?
“Kita akan kaya, dah!” seru Emak ketika Saidah menanyakan alasannya.
“Kaya?” Saidah mengenyitkan dahi. Bagaimana keluarganya bisa kaya hanya dengan dia menari tanpa sadar seperti itu? Sungguh tak masuk akal.
“Ah kamu anak kecil tak akan mengerti.” Emak menepuk bahu Saidah. “Seminggu lagi kamu akan jadi artis. Banyak sekali media yang akan meliputmu.”
“Seperti Inah?”
“Nah, benar sekali, nak. Kamu akan mendapat uang dari mereka.”
“Tapi Saidah nggak mau, mak.”
Emak melotot. “Pokoknya kamu harus nari seblang! Memangnya kamu nggak mau terkenal?”
“Terkenal sesaat, iya mak.” Saidah berusaha memberi pemahaman pada Emak. Emak yang tak pernah mencicipi bangku sekolah. Keburu nikah ketika umurnya lima belas tahun. “Kita baru saja Idhul Fitri, mak. Kembali meraih kemenangan setelah puasa satu bulan. Terlahir bersih bagaikan bayi yang baru lahir. Dosa-dosa kita dirontokkan, mak. Tapi sekarang, dengan berkedok pelestarian budaya, kita menggadaikan kesadaran kita dengan kejiman? Nari nggak jelas keliling desa dan juga menari dengan laki-laki yang kena kibas selendang, dan itu semua Saidah lakukan tanpa sadar, mak! Dedemit yang nari, bukan Saidah!”
Emak ingin menangkis serangan Saidah namun mulutnya serasa disumpal. Pikirannya kosong. Beliau sama sekali tak menemukan alasan yang tepat.
“Tapi... tapi...” Emak berpikir keras. “Kalau nggak nari, kamu mau desa kita kena musibah? Kamu mau tanggung jawab seandainya keluarga kita semua mati?”
“Emak beragama, kan? Kita semua percaya bahwa datangnya segala musibah dan cobaan adalah dari yang Maha Kuasa. Kuasa atas diri kita, kuasa atas alam semesta, dan kuasa atas dedemit yang masuk ke tubuh Saidah. Melakukan semua ini, mak, jujur Saidah malu jika berjumpa dengan-Nya. Bagaimana Saidah bisa berbuat musyrik sedangkan Saidah bisa menghindarinya?”
“Menghindarinya? Kamu mau satu desa mengusir kita hanya karena kamu tak mau menari?”  
“Bukan begitu...”
“Kamu mau gila kayak Tatik yang menolak menari? atau Endah yang setiap minggu sering hilang diculik dhanyang? atau Sri yang bisa lihat setan? Resikonya besar, Dah.”
“Mak...”
“Sudah! Pokoknya kamu harus nari!” tegas Emak membungkam Saidah. Dia tak lagi bisa protes. Kendali penuh ditangan Emak. “Seminggu lagi ritual dimulai. Siapkan dirimu. Emak nggak mau kamu protes di depan umum, apalagi ke Cak Agus.”
Cak Agus adalah tetua desa yang mengurus semua keperluan tari seblang –dalam hubungannya dengan permintaan si makhlus halus. Saidah mengurut dada. Pasrah. Menjadi anak kecil dengan pengetahuan keluarga yang minim membuatnya putus asa. Sama sekali menolak logika kebenaran.
Seminggu berikutnya Saidah habiskan dengan mengikuti semua rangkaian ritual. Selamatan desa, pingitan, dan seterusnya. Semakin mendekati hari pertunjukan, Saidah semakin ragu. Tak benar. Semua ini seharusnya tak terjadi, elak Saidah. Budaya memang wajib dilestarikan, namun budaya yang bertolak dengan keyakinan agamanya, Saidah merasa dirinya yang sedang digadaikan. Dikorbankan Emak dan seluruh penduduk desa. Berkedok ketakutan tertimpa pagebluk, lantas pantaskah Saidah menanggung dosa syirik yang tak pernah diampuni Allah? Dia menduakan Allah dengan mengikuti keinginan dedemit. Emak dan penduduk desa yang juga seiman dengan dirinya, tak sadarkah mereka telah melakukan kesalahan besar ini?
Budaya memang wajib dilestarikan, namun budaya yang bertolak dengan keyakinan, apakah selamanya patut dipertahankan?
Iringan gamelan dan gong yang ditabuh serta gending yang dinyanyikan sinden membuyarkan lamunan Saidah. Pertujukan akan dimulai. Sebentar lagi dia menuju pelataran dengan muka ditutupi rumbaian pelepah pisang. Seorang pawang sudah berdiri mendampinginya. Bersiap ‘menjaga’ tamu undangan yang sebentar lagi menguasai raga Saidah. Sementara jiwanya dipindahkan ke alam tetangga. Menjadi ‘utusan’ demi menjalin silaturakhim yang baik antara alam manusia dan jin. Agar kedua makhluk Allah itu selalu menghormati dan tak pernah mengganggu satu sama lain, setidaknya itulah alasan seluruh warga desa.
Saidah menghadap cermin sebentar. Menatap riasan minimalisnya yang takkan terlihat, bahkan air matanya yang jatuh pun tidak. Tidak juga hatinya yang meledak sakit. Saidah tak rela.
Ini tentang Saidah, tentang keyakinannya. Dia tak ambil pusing soal keyakinan orang lain. Hanya bagi Saidah, hati kecilnya tak mampu. Dia tak bisa mengabaikan perintah Allah hanya karena tradisi. Dan warga desa seharusnya juga memikirkan pendapatnya. Bukan bagai kerbau dicucuk rotan atas permintaan dhanyang. Takut mendapat hukuman karena tidak mematuhi perintah dari selain Allah.
Ya Allah, maafkan hambaMu ini, bisik Saidah dalam hati. Memohon ampun.
Selintas, Saidah merasa blitz kamera mengabadikan gambarnya, termasuk melihat kehadiran bule, media, dan bupati yang sibuk menyalami warga –sebelum kesadarannya hilang bersama nampan yang mulai bergoyang. Bersiap jatuh.
-FM-


 Note : Cerpen ini berhasil masuk 14 besar FSIN 2015

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

fmaulidaa @Instagram

Subscribe