HEDONIA

14.58

Hedonia
Aku memandang sekeliling nanar. Semua masyarakat di kotaku tengah berlomba membuat rumah tingkat sepuluh layaknya hotel berbintang. Mereka mendatangkan para ahli dari kota, sekedar menunjukkan siapa rumahnya paling bagus diantara mereka. Kecanggihan teknologi mendorong rasa ingin tahu mereka akan kemajuan arsitektur kota, hingga mereka ingin merubah wajah kotaku menjadi lebih modern, katanya.
Padahal aku tau, kota ini tak lain paling miskin di negara kami, menurut koran harian enam tahun lalu. Masyarakatnya dililit masalah kemiskinan, kebodohan, dan tingkat kejahatan tinggi. Maklum, urusan makan yang tidak terpenuhi membuat mereka bertindak di luar akal. Dalam memenuhi kebutuhannya, mereka tak segan bertindak sadis seperti mengancam, menyiksa, bahkan tak segan membunuh.
Melihat ini, pemerintah negara kami seolah tutup mata. Tidak ada tindakan nyata untuk merubah keadaan kota kami. Tetap saja kami dibiarkan terisolir, dengan fasilitas publik yang tidak memadai. Kesehatan sangat buruk. Kurun waktu satu hari saja, mungkin ada enam hingga sepuluh orang yang meninggal karena penyakit.
Masyarakat yang memang kurang mendapat pendidikan, dalam hal ini bodoh, menerima kenyataan ini sebagai sebuah takdir. Tidak ada usaha merubah jalan hidup mereka.
Hingga suatu ketika, datanglah seorang pemuda. Seorang pengembara yang tersesat di kota kami. Keadaanya hari itu sangat mengenaskan. Dia dehidrasi berat dan butuh makan supaya hidup. Warga kota yang menemukannya di gerbang kota, menatap sinis. Permintaan seorang pemuda yang sangat mengada. Bagaimana mereka memberinya air dan makanan sedangkan mereka saja kelaparan? Bahkan banyak orang mati karena perebutan makanan. Berbagi? Jangan harap!
“Tolong... siapapun beri aku minum dan makanan...” pemuda itu merintih. Wajahnya sudah pucat, bibirnya pecah-pecah. “Aku akan memberi kalian emas... sebanyak yang kalian inginkan.”
Saat itu masyarakat kami tidak mengerti apa itu emas. Bagaimana bentuknya, berapa harga jualnya, bahkan kami saling pandang ketika pemuda itu mengangsurkan beberapa bongkah. Seseorang menyeletuk, “Benda ini sangat indah.”
Kami mengangguk setuju, masih terpana dengan batu berwarna kuning keemasan itu.
“Harga jualnya sangat tinggi...” pemuda itu menjelaskan dengan terbata. Sedangkan kami belum beranjak untuk menolong. “Kalian bisa membeli apapun setelahnya, termasuk makanan.”
Beberapa dari kami yang tidak percaya, meninggalkan pemuda itu yang berusaha memanggil dengan iming-iming. Katanya, dia bersedia tinggal di kota kami dan selalu memberi benda itu setiap harinya. Pengetahuan yang rendah membuat banyak dari kami mengacuhkan pemuda itu.
Namun tidak dengan ibuku, cepat-cepat beliau bergegas mengangsurkan minum dan makanan, yang tak lain persediaan malam ini. Liurku nyaris menetes ketika pemuda itu menghabiskan gigitan terakhir. Aku mengurut dada. Orang itu lebih membutuhkan daripada aku dan ibu. Setidaknya nyawanya selamat.
“Terima kasih, ibu.” pemuda itu menundukkan kepala penuh terima kasih.
“Sama-sama, nak.” ibu tersenyum lega. Di samping beliau, aku menatap pemuda itu sama leganya.
Aku meneliti sekeliling. Baru saja aku menyadari, hanya kami berdua yang membantu pemuda itu.
“Seperti janji saya, terima lah emas ini dan jual ke kota.” pemuda itu menyerahkan bongkahan batu indah itu ke tanganku. “Tetapkan harga tinggi. Lalu beli berbagai kebutuhan yang kamu perlukan.”
Aku mengangguk. Sebelum berdiri, pemuda itu mengangsurkan tangan dan mengatakan namanya, “Saya Glian.”
Sejak itu aku dan ibu mengenal Glian, juga seluruh warga kota setelah mereka terkejut melihatku membawa banyak makanan. Mereka bingung bagaimana caraku mendapatkannya. Aku hanya menunjuk Glian dan mengatakan batu itu yang memberiku semua ini. Tentu saja semua warga kota segera menyerbu Glian dan memohon pemuda itu memberikan beberapa bongkah pada mereka.
Glian awalnya ogah. Dia tentu ingat perlakuan warga kota yang mengabaikannya. Membiarkannya nyaris mati kelaparan, kecuali seorang wanita tua dan anak laki-laki yang kini memberinya tumpangan rumah, menyelamatkan hidupnya. Warga kota nyaris beringas dengan sikap keras kepala Glian, sampai pemuda itu luluh ketika Ibu yang meminta.
Sekejap, batu berharga yang bernama emas itu lenyap tidak ada sisa. Warga kota ketakutan. Bagaimana mereka memenuhi kebutuhannya jika emas itu habis?
Glian santai saja, sedikit pun tak ada khawatir pada wajahnya. Aku yang sangat penasaran, akhirnya bertanya padanya. Dan lagi-lagi, dia membuatku terkejut.
“Aku bisa membuat emas dari tanganku,” bisiknya. “Hanya butuh beberapa bongkah batu biasa, cukup dengan menyentuh, jadilah emas.”
Awalnya aku tak percaya. Hingga Glian membuktikan di depan mataku, sebongkah batu biasa berubah menjadi emas dalam sekali sentuh!
Aksi Glian yang luar biasa itu, celakanya dilihat salah satu warga kota kami. Cepat dia beranjak ke tengah kota, memberi infomasi ke seluruh warga, dan keesokan harinya rumahku penuh dengan batu. Apalagi kalau bukan warga kota ingin Glian menyentuhnya.
Tak hanya kemiskinan yang membutakan warga kota kami untuk berbuat kejahatan, kekayaan juga tidak ada bedanya. Malah semakin brutal. Mereka berlomba mengirim semua batu ke rumah kami, sama sekali tidak memberi Glian jeda untuk istirahat. Mereka tidak peduli kondisi Glian, yang mereka pikirkan hanya bagaimana menjadi kaya dan menjual seluruh batu ke kota.
Kondisi kota kami perlahan berubah. Rumah yang awalnya seperti kandang hewan, kini berubah megah. Warga yang dulunya selalu kelaparan, sekarang malah menimbun persediaan makanan hingga dua tahun mendatang. Baju compang-camping berganti menjadi gaun sutra bertahtakan berlian. Pesawat pribadi mengudara setiap menitnya.
Jika sebelumnya kota kami termiskin, sekarang terkaya. Angka kemiskinan sebesar 0,0001 persen, sebaliknya kekayaan 99,9999 persen. Dan angka itu bisa menjadi 100 persen seandainya keluargaku; aku dan Ibu, mau melengkapinya.
Ya! Keluargaku masih sama. Tidak terpikat dengan kekayaan yang membutakan. Aku tetap giat bekerja dan mencari pengetahuan. Seperti pesan Glian yang kini diamankan warga kota di sebuah rumah sakit. Warga kota ingin Glian tetap menyentuh batu sekaligus disembuhkan ahli kesehatan terbaik dunia yang khusus untuk Glian. Tentu saja karena Glian adalah pundi uang mereka.
“Aries, kemarilah.” panggil Glian sebelum dia diambil paksa.
Aku menurut dan duduk di depannya. Membuka lebar telinga untuk menangkap pesan terakhirnya.
“Aries, jika kamu berpikir sebaik-baiknya manusia adalah orang kaya, ubahlah pandanganmu bahwa lebih baik seorang fakir yang memberikan tenaganya. Jagalah diri dari meminta-minta, karena meminta-minta itu mengurangi derajadmu di hadapan-Nya, kecuali sekedar kebutuhan karena lebih dari itu tidak dibenarkan.”
“Utamakan orang lain atas dirimu sekalipun kamu kesusahan. Kebaikan akan selalu menyertaimu dan selebihnya kamu tidak akan merasa kekurangan. Akan selalu dicukupkan nikmat bagi mereka yang bersyukur.”
“Lalu, urusan harta dan dunia adalah perkara yang membutakan. Tentu kamu melihat sendiri bagaimana warga kota yang bagai kacang lupa akan kulitnya. Janganlah kamu mengikuti mereka kecuali ingin kehancuran.”
Glian mengatur nafasnya yang berat. Aku termenung menunggu ucapan selanjutnya. Terlebih pada kristal bening yang jatuh dari kelopak matanya.
“Jika ada penyesalan terdalam yang pernah kulakukan, aku menyesal tersesat di kota ini dan berjanji akan memberikan emas setiap harinya, kecuali pertemuan denganmu dan Ibumu. Kalian orang-orang baik, yang tak seharusnya hidup di tempat seperti ini. Carilah ilmu sebanyak mungkin, Aries. Karena dia membantumu di kala susah meskipun harta benda telah habis. Dan membantu sesama, akan lebih bermanfaat jika bukan soal harta saja, namun juga pembelajaran. Pemahaman akan pentingnya kebaikan, peduli sesama, rasa syukur, dan menjauhkan penyakit hati seperti cinta harta, adalah bantuan nyata yang patut diberikan pada mereka yang tak pernah menerimanya. Tidak sepertiku, yang memberi  harta tanpa melengkapinya dengan mengobati penyakit hati.”
“Ingatlah Aries, tetaplah berbuat baik dengan memberi secara materi begitu pun rohani. Itu lebih baik daripada aku yang hanya berbuat kerusakan. Terima kasih selama ini selalu merawatku. Aku berhutang nyawa padamu dan ibumu.”
Lalu Glian pergi. Dia dibawa paksa oleh warga kota sementara aku dan Ibu hanya bisa termenung melepaskannya. Glian yang sangat baik, tapi dia kalah dengan keserakahan warga kota yang hidup bermewah-mewahan. Warga kota yang tidak punya rasa malu. Selalu minta diberi tanpa niat untuk berbagi. Mereka mungkin amnesia dengan perlakuan pertama kali pada Glian. Rasa bersalah dan malunya mungkin sudah hilang. Tersapu angin yang menyulap kota kami tumbuh dengan gemerlap kekayaannya.
Benar, enam tahun yang berbeda drastis.
“Aries, cepat bersihkan kaca lantai 25! Wisatawan protes katanya kurang mengkilap!” Bentak pemilik tempatku bekerja. Kaget, nyaris saja aku terjatuh.
Aku mengurut dada. Perangai yang sangat cocok dengan nama kota kami. Kota yang penuh gemerlap, kota yang membutakan. Kota yang tak pernah peduli sesama kecuali bersaing dalam kekayaan.
Perkenalkan nama kota kami, Kota Hedonia yang kaya raya!

-FM-

Note : Cerpen ini berhasil menjadi Juara 1 Essential Tulis Cerpen BEM TPB 51 2015

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

fmaulidaa @Instagram

Subscribe