[CERPEN] Tak Butuh Logika

17.13

Tak Butuh Logika
Kalau perasaanku bisa berteriak, mungkin dia ingin menyumpah serapah atas perasaan yang tak kunjung hadir. Membiarkannya tetap datar tanpa menyukai seorang pun kadang terasa janggal. Apakah normal, seorang gadis tetap nyaman dengan rutinitasnya sebagai workaholic?
Sejujurnya aku bukan segila itu. Kesibukanku hanya kuliah, praktikum, organisasi, menulis, bermain basket, dan ditutup dengan menyendiri di kamar. Selama ini aku cuek. Sekali pun tak pernah terlintas di otakku akan jatuh cinta, yang menurutku terlalu termehek-mehek. Terlalu remeh. Apa pentingnya jatuh cinta kalau membuat semua rutinitas terganggu? Sungguh tak masuk akal.
Pemikiran itu lah yang memicu celoteh lain. Semua teman-teman kampusku mulai memandangiku aneh. Curiga apakah aku seorang lesbian! Untung mereka tak pernah terang-terangan bertanya. Coba kalau berani, tentu sudah ku jitak jidatnya.
Tapi, ngomong-ngomong, mengapa sampai saat ini aku tak pernah menyukai seorang pun?
 “Makanya pacaran,” teriak Eva suatu hari tepat di telingaku.
“Apa pentingnya?” balasku sinis. Melanjutkan pekerjaanku.
“Gini lho Greta sayang, gender lo apa?”
“Cewek.”
“Kodrat lo?”
“Harus lebih hebat di atas cowok.”
“Itu mah pikiran lo!” Eva menoyor jidatku. Aku mendengus tanpa niat menyahut.
“Ada suatu masa ketika lo akan meninggalkan semua kerjaan ini dengan menjadi ibu yang baik. Yang ngurusin anak-anak, suami lo juga. Karena apa? Karena itu kodrat lo. Berbakti sama suami.”
“Kejauhan deh bahasannya sampai suami-suami segala. Masih kuliah semester tiga juga.” tangkisku sarkastis.
“Mumpung masih semester tiga makanya lo kudu cepet sadar.” kekeuh Eva tak mau kalah. “Lo nggak bisa selamanya dingin sama cowok. Emang sih secara face lo kalah jauh sama gue...” Eva berhasil berkelit ketika aku spontas menjitak jidatnya. Dia terkekeh. “tapi lo juga nggak jelek di pasaran. Banyak cowok yang awalnya kagum sama lo. Sama kehebatan lo masalah organisasi yang bejibun dengan IP masih setia di angka 4 penuh. Tapi apa lu bakal cuek sama cowok sampai tua? Sampai ubanan dan jadi nini-nini? Lo butuh pendamping suatu hari nanti.”
“Terus hubungannya sama punya pacar? Kalo pendamping hidup juga bisa dicari sambil jalan. Gue yakin jodoh gue udah diatur. Tanpa usaha juga bakal ketemu kok kalo udah waktunya. Nggak kayak lo yang rempong mulu.”
“Heh! Ada yang namanya usaha. Gimana jodoh mau dateng kalo lo diam aja? Contoh nih ya, seumpama lo betah banget di rumah yang isinya cuma bokap, kak Dimas, sama Rendy mulu, ya kapan lo bisa dapet cowok kalo nggak keluar rumah? Lu mau incest?”
“Ngawur deh!”
“Makanya lu perlu terbuka sama cowok. Jangan antipati.”
“Emang dengan terbuka, gue bisa dengan mudah jatuh cinta?”
“Belum tentu sih. Ya nggak terbuka ke semua cowok. Cukup ke satu orang yang bener-bener lu percayai.”
“Kalo nggak ada yang gue percaya?”
“Apa salahnya mencoba? Kepercayaan itu akan dateng dengan semakin seringnya lo berinteraksi sama dia. Lo bukan wonder woman, gret. Suatu hari lo butuh tempat berbagi untuk menaruk beban yang udah nggak kuat lo tahan.”
Aku diam.
“Gret, jatuh cinta itu nggak butuh logika, tapi perasaan. Kalau logika lo selalu nggak ngasih kesempatan buat dekat sama cowok, gue takut perasaan lo melompong. Kosong. Sampai pada akhirnya mati, yang artinya lo nggak akan tahu rasanya deg-degan, salting nggak jelas, atau pun lonjak-lonjak bahagia. Lo nggak akan pernah tahu juga rasa bahagia karena dicintai orang lain.” imbuh Eva lagi. Menutup ceramah panjangnya yang terasa begitu menusuk.  
Dicintai orang lain? Bukankah cinta yang paling tulus hanya berasal dari Tuhan dan keluarga?
Ah, lagi-lagi logikaku banyak bekerja.
Aku tak mengerti sejak saat itu ucapan Eva begitu membekas. Membuatku sering bertanya-tanya tentang makna ‘dicintai’. Kupikir, dengan kasih sayang orang tua yang melimpah, otak encer, dan kemampuan bersosial yang baik hingga memiliki banyak teman, itu sudah cukup. Tak ada yang benar-benar tulus dalam segala urusan, kecuali perhatian keluarga. Teman-temanku baik karena mereka menghargaiku sebagai pemimpin yang mampu melakukan apapun, contoh nyata karena mereka membutuhkanku. Tetap ada alasan untuk dicintai orang lain, kan?
“Kok bengong?” senggol seseorang menyadarkan lamunanku. Andra sudah duduk di sampingku.
“Ah iya. Kebiasaan kalo nggak sibuk jadi bengong nggak jelas,” aku tertawa aneh. Memberi alasan. Mencoba melupakan pikiran anehku barusan.
“Ada masalah?”
“Nggak lah. Semua aman terkendali.”
Andra mengangguk-angguk. “Gue percaya deh sama lo yang bisa semuanya. Pasti aman terkendali.” dia tersenyum. “Tapi kalo lo butuh apa-apa, bisa bilang sama gue. Nggak membantu banyak sih, tapi bisa lah dikit-dikit. Biar lo nggak capek.”
Aku mengangguk. “Makasih.”
“Nih minum,” Andra menyodorkan sebotol minuman bersoda.
“Buat gue?”
“Emang di sini ada orang selain lo?”
Aku celingak-celinguk. Tidak ada orang selain aku dan Andra. Kelas kuliah tumben sekali sepi. Padahal sepuluh menit lagi mata kuliah statistika dimulai.
“Terima kasih.” ucapku sekali lagi. Andra tak menyahut, hanya senyumnya yang membalas ucapanku.
Sembari meneguk soda yang sebentar lagi tandas, aku mengamati Andra. Seseorang yang levelnya sangat jauh di bawahku. Nilai kuliahnya tak tinggi, tak pernah bergabung organisasi, dan menghabiskan sebagai waktunya dengan menjelajah gunung. Andra yang pertama kali ku kenal ketika menginjak kampus, berakhir dengan selalu satu kelas denganku. Entah mengapa jadwal kuliah kami selalu sama. Untung saja tidak selalu satu kelompok praktikum.
Andra, seseorang yang baik. Dia sering sekali membelikanku soda. Andra yang suka menggangguku dengan lelucon garingnya. Andra yang...
Tunggu, apakah sekarang aku mulai memperhatikan kebiasaan seseorang?
“Gret, jatuh cinta itu nggak butuh logika, tapi perasaan.”

-FM-

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

fmaulidaa @Instagram

Subscribe