Tak Butuh Logika
Kalau perasaanku bisa berteriak,
mungkin dia ingin menyumpah serapah atas perasaan yang tak kunjung hadir.
Membiarkannya tetap datar tanpa menyukai seorang pun kadang terasa janggal.
Apakah normal, seorang gadis tetap nyaman dengan rutinitasnya sebagai workaholic?
Sejujurnya aku bukan segila itu.
Kesibukanku hanya kuliah, praktikum, organisasi, menulis, bermain basket, dan
ditutup dengan menyendiri di kamar. Selama ini aku cuek. Sekali pun tak pernah
terlintas di otakku akan jatuh cinta, yang menurutku terlalu termehek-mehek.
Terlalu remeh. Apa pentingnya jatuh cinta kalau membuat semua rutinitas
terganggu? Sungguh tak masuk akal.
Pemikiran itu lah yang memicu
celoteh lain. Semua teman-teman kampusku mulai memandangiku aneh. Curiga apakah
aku seorang lesbian! Untung mereka tak pernah terang-terangan bertanya. Coba
kalau berani, tentu sudah ku jitak jidatnya.
Tapi, ngomong-ngomong, mengapa
sampai saat ini aku tak pernah menyukai seorang pun?
“Makanya pacaran,” teriak Eva suatu hari tepat
di telingaku.
“Apa pentingnya?” balasku sinis.
Melanjutkan pekerjaanku.
“Gini lho Greta sayang, gender lo apa?”
“Cewek.”
“Kodrat lo?”
“Harus lebih hebat di atas cowok.”
“Itu mah pikiran lo!” Eva menoyor
jidatku. Aku mendengus tanpa niat menyahut.
“Ada suatu masa ketika lo akan
meninggalkan semua kerjaan ini dengan menjadi ibu yang baik. Yang ngurusin
anak-anak, suami lo juga. Karena apa? Karena itu kodrat lo. Berbakti sama
suami.”
“Kejauhan deh bahasannya sampai
suami-suami segala. Masih kuliah semester tiga juga.” tangkisku sarkastis.
“Mumpung masih semester tiga
makanya lo kudu cepet sadar.” kekeuh Eva tak mau kalah. “Lo nggak bisa
selamanya dingin sama cowok. Emang sih secara face lo kalah jauh sama gue...” Eva berhasil berkelit ketika aku
spontas menjitak jidatnya. Dia terkekeh. “tapi lo juga nggak jelek di pasaran.
Banyak cowok yang awalnya kagum sama lo. Sama kehebatan lo masalah organisasi
yang bejibun dengan IP masih setia di angka 4 penuh. Tapi apa lu bakal cuek
sama cowok sampai tua? Sampai ubanan dan jadi nini-nini? Lo butuh pendamping
suatu hari nanti.”
“Terus hubungannya sama punya
pacar? Kalo pendamping hidup juga bisa dicari sambil jalan. Gue yakin jodoh gue
udah diatur. Tanpa usaha juga bakal ketemu kok kalo udah waktunya. Nggak kayak
lo yang rempong mulu.”
“Heh! Ada yang namanya usaha.
Gimana jodoh mau dateng kalo lo diam aja? Contoh nih ya, seumpama lo betah
banget di rumah yang isinya cuma bokap, kak Dimas, sama Rendy mulu, ya kapan lo
bisa dapet cowok kalo nggak keluar rumah? Lu mau incest?”
“Ngawur deh!”
“Makanya lu perlu terbuka sama
cowok. Jangan antipati.”
“Emang dengan terbuka, gue bisa
dengan mudah jatuh cinta?”
“Belum tentu sih. Ya nggak terbuka
ke semua cowok. Cukup ke satu orang yang bener-bener lu percayai.”
“Kalo nggak ada yang gue percaya?”
“Apa salahnya mencoba? Kepercayaan
itu akan dateng dengan semakin seringnya lo berinteraksi sama dia. Lo bukan wonder woman, gret. Suatu hari lo butuh
tempat berbagi untuk menaruk beban yang udah nggak kuat lo tahan.”
Aku diam.
“Gret, jatuh cinta itu nggak butuh
logika, tapi perasaan. Kalau logika lo selalu nggak ngasih kesempatan buat
dekat sama cowok, gue takut perasaan lo melompong. Kosong. Sampai pada akhirnya
mati, yang artinya lo nggak akan tahu rasanya deg-degan, salting nggak jelas,
atau pun lonjak-lonjak bahagia. Lo nggak akan pernah tahu juga rasa bahagia
karena dicintai orang lain.” imbuh Eva lagi. Menutup ceramah panjangnya yang
terasa begitu menusuk.
Dicintai orang lain? Bukankah cinta
yang paling tulus hanya berasal dari Tuhan dan keluarga?
Ah, lagi-lagi logikaku banyak
bekerja.
Aku tak mengerti sejak saat itu
ucapan Eva begitu membekas. Membuatku sering bertanya-tanya tentang makna ‘dicintai’.
Kupikir, dengan kasih sayang orang tua yang melimpah, otak encer, dan kemampuan
bersosial yang baik hingga memiliki banyak teman, itu sudah cukup. Tak ada yang
benar-benar tulus dalam segala urusan, kecuali perhatian keluarga. Teman-temanku
baik karena mereka menghargaiku sebagai pemimpin yang mampu melakukan apapun,
contoh nyata karena mereka membutuhkanku. Tetap ada alasan untuk dicintai orang
lain, kan?
“Kok bengong?” senggol seseorang
menyadarkan lamunanku. Andra sudah duduk di sampingku.
“Ah iya. Kebiasaan kalo nggak sibuk
jadi bengong nggak jelas,” aku tertawa aneh. Memberi alasan. Mencoba melupakan
pikiran anehku barusan.
“Ada masalah?”
“Nggak lah. Semua aman terkendali.”
Andra mengangguk-angguk. “Gue
percaya deh sama lo yang bisa semuanya. Pasti aman terkendali.” dia tersenyum. “Tapi
kalo lo butuh apa-apa, bisa bilang sama gue. Nggak membantu banyak sih, tapi
bisa lah dikit-dikit. Biar lo nggak capek.”
Aku mengangguk. “Makasih.”
“Nih minum,” Andra menyodorkan
sebotol minuman bersoda.
“Buat gue?”
“Emang di sini ada orang selain lo?”
Aku celingak-celinguk. Tidak ada
orang selain aku dan Andra. Kelas kuliah tumben sekali sepi. Padahal sepuluh
menit lagi mata kuliah statistika dimulai.
“Terima kasih.” ucapku sekali lagi.
Andra tak menyahut, hanya senyumnya yang membalas ucapanku.
Sembari meneguk soda yang sebentar
lagi tandas, aku mengamati Andra. Seseorang yang levelnya sangat jauh di
bawahku. Nilai kuliahnya tak tinggi, tak pernah bergabung organisasi, dan
menghabiskan sebagai waktunya dengan menjelajah gunung. Andra yang pertama kali
ku kenal ketika menginjak kampus, berakhir dengan selalu satu kelas denganku.
Entah mengapa jadwal kuliah kami selalu sama. Untung saja tidak selalu satu
kelompok praktikum.
Andra, seseorang yang baik. Dia sering
sekali membelikanku soda. Andra yang suka menggangguku dengan lelucon
garingnya. Andra yang...
Tunggu, apakah sekarang aku mulai
memperhatikan kebiasaan seseorang?
“Gret,
jatuh cinta itu nggak butuh logika, tapi perasaan.”
-FM-