Kalau dulu cuma berbagi cerita pengalaman mendaki kawah ijen malam hari, post kali ini akan kasih viewnya selama perjalanan ke atas. Fyi, kalau mau ke kawah ijen bisa dari jalur Banyuwangi dan Bondowoso. Akses dari Banyuwangi bisa ditempuh dari Banyuwangi kota. Kira-kira selama satu jam dari desa terakhir dengan menaiki sepeda motor (maaf lupa nama desanya, maklum sudah dua tahun nggak pulang kampung ke Banyuwangi). Setelah satu jam perjalanan naik sepeda motor dengan rute yang naik turun bahkan ada yang kemiringan lebih dari 45, tibalah di Patulding -sebuah base camp sebelum naik ke atas. Di Patulding ini ada lapangan yang luas buat kalian kemah. Di sini juga ada warung dan kamar mandi sebelum kalian naik. Kalian juga harus lapor ke petugas di sini ya.
note : untuk beberapa gambar, jangan perhatikan orang yang foto di depannya ya hahaha
Pelataran yang luas banget buat parkir (gambar di belakang mereka berdua lho ya). Btw, ngenes banget penampakan orang patah hati di kaca spion wkwkw #salah fokus
Itu kamar mandinya.
Ijen tidak selamanya dibuka untuk umum. Bila aktivitas asap belerangnya masuk tingkat berbahaya, maka wisata kawahnya ditutup. Jadi sebelum pergi ke ijen, baiknya diperiksa dulu ya lagi aman atau nggak.
Air terjun ini bisa kalian lihat dengan lurus aja arah Bondowoso (melewati Patulding). Nanti di kanan jalan ada air terjun ini. Batuan yang tidak rata menunjukkan batuan membeku secara tidak sempurna. Bentuknya kasar. Air di sini panas lho
Foto ini diambil di pos terakhir sebelum ke puncak, yaitu pos penimbangan belerengan. Jarak dari Patulding ke pos ini sekitar 3 jam. Tergantung kecepatan naik aja sih.
Pemandangan selama di jalan. Keren kan? Hayo dua gunung di belakang itu, gunung apa?
Kalian akan sering menemukan kayu kering seperti ini bila mendekati puncak, dan pemandangan ini juga...
Belok di tikungan itu, bagian puncak udah kelihatan!
Begini lho, penampakan kawah ijen. Hati-hati ya sama gas putih itu karena gas beracun! Itu asap belerang, guys.
Begitulah cerita tentang kawah ijen. Daya tarik utama dari kawah ijen adalah blue fire menawan yang nampak hanya sekitar jam 1 hingga 4 pagi. Pos tentang blue fire penah di pos beberapa tahun lalu. Kalau kalian ke sini siang hari, ngga usah khawatir kenapa-kenapa. Pokoknya siapin stamina, minum, dan bekal roti seandainya laper. Terus jangan lupa sesuaikan sepatu sepatu yang digunakan naik gunung. Tanah menuju puncak sangat berdebu kalau mendaki pada musim kemarau, gampang terpeleset ketika turun kalau tidak hati-hati. Disarankan jangan memakai jeans ya, apalagi kalau mendaki malam karena jeans sangat tipis sementara angin gunung kalau malam kencang sekali. Ketika pendakian malam, jangan lupa bawa jaket tebal atau apapun yang membuat kalian hangat. Serius deh nggak main-main dinginnya. Pernah kejadian juga ada wisatawan yang dilarikan ke rumah sakit karena hipotermia lho.
Menurutku, Ijen gampang didaki apalagi buat pemula. Selamat menikmati kawah ijen. Jangan bosan kembali ke Banyuwangi ya :))
Setelah gue bikin novel antah berantah di GWP, temen-temen mulai menyarankan gue bikin wattpad, biar mereka gampang aksesnya. Akhirnya gue bikin lah akun wattpad. Sejujurnya gue agak kesulitan makenya, dan kalo dipikir-pikir, masih enak tumblr jauh dah. Setidaknya tumblr ada beranda orang yang kita follow (sama kayak wattpad juga), dan ada rekomendasi blogger lain yang sekilas ada display menu tumblrs tersebut. Nah kalo wattpad ini, sekalinya kita posting, ngga ada ngalir di beranda gitu (yaiyalah kan udah beda menu). Kalo mau wattpad kita dikenal orang lain, mesti koar-koar di beranda orang buat promosi (dan jujur itu ngga banget).
Kalo lu pas gabut dan kepo wattpad gue, bisa buka di sini. Mau lebih lengkap baca novel 'Petal Dandelion' bisa di sini.
Gue bilang begini kemungkinan besar karena gue newbie dan kaku buat mengoprasikan wattpad. Menurut kalian wattpad gimana? Kalau memang seru, ajak-ajak gue dong. Bisa kita saling follow dan diskusi, Kali aja dengan begitu, gue akan tertarik dan mulai melirik wattpad :))
Tinggalkan jejak di kolom komentar ya :))
.
Kalo lu pas gabut dan kepo wattpad gue, bisa buka di sini. Mau lebih lengkap baca novel 'Petal Dandelion' bisa di sini.
Gue bilang begini kemungkinan besar karena gue newbie dan kaku buat mengoprasikan wattpad. Menurut kalian wattpad gimana? Kalau memang seru, ajak-ajak gue dong. Bisa kita saling follow dan diskusi, Kali aja dengan begitu, gue akan tertarik dan mulai melirik wattpad :))
Tinggalkan jejak di kolom komentar ya :))
.
Liburan masih satu bulan lagi, artinya aku masih menghabiskan waktu dengan Bali dan kebosanan-kebosanan. Tak ada yang kulakukan selain membantu orang tua di dapur. Sebagian besar tempat wisata di Bali telah kukunjungi dan aku bukan tipe orang yang betah berlibur dua kali di tempat yang sama. Terlebih Bali penuh pantai -dan aku tak suka pantai.
Jadilah, yang kulakukan hanya menulis dan menulis. Aku sedang menyiapkan satu novel selama liburan. Menceritakan tentang suasana kuliah di IPB. Tidak persis sama, namun setidaknya memberi gambaran tentang kuliah di pertanian -di departemen Agronomi dan Hortikultura.
Aku berusaha menyelesaikannya selama satu bulan ini. Novel ini menceritakan persahabatan lima orang dari daerah yang berbeda. Ihsan -Medan, Rudi -Yogyakarta, Alvin -Wonosobo, Kharina -Jember, dan Sarah -Banyuwangi. Sifat mereka saling bertolak belakang. Ihsan seorang yang playboy, Rudi mahasiswa IPK 4 namun tuna asmara, Alvin pecinta alam yang suka tidur di semua mata kuliah, Kharina ukhti gaul yang tertekan dengan masalah di rumah, dan Sarah si gadis misterius. Semua terangkum dalam novel on the way --,SP ; Sarjana Pertanian.
Link buat baca klik di sini
Menulis bisa membunuh kebosanan -terlepas kualitas menulis masih di bawah standart. Tak masalah dengan tulisan yang masih buruk, toh juga masih belajar juga.
Menulislah, karena orang yang mati takkan meninggalkan apapun selain nama yang bisa saja dilupakan. Namun karya tulis, terlebih sebuah buku, akan selamanya dikenang. Dan aku memilihnya sebagai jalan untuk dikenang orang lain -kalau pun ada yang mengenang.
Selamat menulis. Selamat membunuh kebosanan selama liburan :))
Sudah bukan rahasia lagi kalau IPB salah satu perguruan tinggi faforit. Perguruan tinggi yang punya brand sehingga jadi tujuan para (calon) mahasiswa yang ingin dianggap keren. Sebenarnya, kamu masuk IPB karena mengikuti minat atau sekedar jaga gengsi sih?
Ngga ada yang salah kok kalau kamu termasuk pilihan yang kedua tadi, jaga gengsi.
Tapi kalau gengsi doang, apa kamu bisa bertahan di IPB? Kampus ini bukan macam FTV yang nongrong, pacaran mulu loh.
Buat kamu calon mahasiswa baru, apa sih ekspetasi kamu terhadap IPB? Dari segi lingkungan kampus, mata kuliah, dan atmosfer pertemanan --yang kamu bayangkan?
Contohnya kalau saya dulu, "Enak kali ya kuliah di IPB. Kota hujan gitu loh. Pasti hujan terus dan dingin. Nyaman banget deh kayaknya tinggal di sana."
Itu ekspetasi saya, kenyataannya...
Bogor itu memang dingin, nyaman, dan sejuk. Enak banget dah hidup di Bogor. Tapi ya itu, Bogor bagian puncak hahaha.
Mau berbagi ekspetasi? Tulis di kolom komentar ya :))
Ngga ada yang salah kok kalau kamu termasuk pilihan yang kedua tadi, jaga gengsi.
Tapi kalau gengsi doang, apa kamu bisa bertahan di IPB? Kampus ini bukan macam FTV yang nongrong, pacaran mulu loh.
Buat kamu calon mahasiswa baru, apa sih ekspetasi kamu terhadap IPB? Dari segi lingkungan kampus, mata kuliah, dan atmosfer pertemanan --yang kamu bayangkan?
Contohnya kalau saya dulu, "Enak kali ya kuliah di IPB. Kota hujan gitu loh. Pasti hujan terus dan dingin. Nyaman banget deh kayaknya tinggal di sana."
Itu ekspetasi saya, kenyataannya...
Bogor itu memang dingin, nyaman, dan sejuk. Enak banget dah hidup di Bogor. Tapi ya itu, Bogor bagian puncak hahaha.
Mau berbagi ekspetasi? Tulis di kolom komentar ya :))
Malam ini aku lelah. Baiknya kusimpan saja segala resah pada sendi yang pegal. Biar mereka saling bertukar cerita. Lalu esok harinya, ‘kan kudengar resah telah pergi menyusup diantara pori, menuju hati, berkata pada otak, bahwa dia baik-baik saja. Dan besok akan berjalan dengan senyum lega tepat setelah bangun. Itu pun kalau Allah masih berkenan mengembalikan nyawaku (lagi).
#SeeMore@Tumblr
#UTS #Days4
#IPB #AGH51 #JoinUS
#SeeMore@Tumblr
#UTS #Days4
#IPB #AGH51 #JoinUS
Maukah kau tinggal lebih lama?
Sekedar membunuh sepi,
sekedar memasung waktu –yang terus berlari meninggalkan kita.
Sepasang yang tak mungkin bersama
Kalau aku boleh meminjam masa depan
‘kan kuisi penuh akan namamu
Menikmati semua hari bersamamu
Hanya, tiba-tiba aku tersadar
Bersama tak serta menjadikanmu milikku seutuhnya,
Tak perlu kupegang erat. Karena,
mungkin kau cukup indah untuk kudengar dan kulihat saja.
Sebagai sebuah pengingat : cinta tak butuh balasan, Cukup ikhlas.
#SeeMore@Tumblr
#UTS #Days4
#IPB #AGH51 #JoinUS
Sekedar membunuh sepi,
sekedar memasung waktu –yang terus berlari meninggalkan kita.
Sepasang yang tak mungkin bersama
Kalau aku boleh meminjam masa depan
‘kan kuisi penuh akan namamu
Menikmati semua hari bersamamu
Hanya, tiba-tiba aku tersadar
Bersama tak serta menjadikanmu milikku seutuhnya,
Tak perlu kupegang erat. Karena,
mungkin kau cukup indah untuk kudengar dan kulihat saja.
Sebagai sebuah pengingat : cinta tak butuh balasan, Cukup ikhlas.
#SeeMore@Tumblr
#UTS #Days4
#IPB #AGH51 #JoinUS
Tak Butuh Logika
Kalau perasaanku bisa berteriak,
mungkin dia ingin menyumpah serapah atas perasaan yang tak kunjung hadir.
Membiarkannya tetap datar tanpa menyukai seorang pun kadang terasa janggal.
Apakah normal, seorang gadis tetap nyaman dengan rutinitasnya sebagai workaholic?
Sejujurnya aku bukan segila itu.
Kesibukanku hanya kuliah, praktikum, organisasi, menulis, bermain basket, dan
ditutup dengan menyendiri di kamar. Selama ini aku cuek. Sekali pun tak pernah
terlintas di otakku akan jatuh cinta, yang menurutku terlalu termehek-mehek.
Terlalu remeh. Apa pentingnya jatuh cinta kalau membuat semua rutinitas
terganggu? Sungguh tak masuk akal.
Pemikiran itu lah yang memicu
celoteh lain. Semua teman-teman kampusku mulai memandangiku aneh. Curiga apakah
aku seorang lesbian! Untung mereka tak pernah terang-terangan bertanya. Coba
kalau berani, tentu sudah ku jitak jidatnya.
Tapi, ngomong-ngomong, mengapa
sampai saat ini aku tak pernah menyukai seorang pun?
“Makanya pacaran,” teriak Eva suatu hari tepat
di telingaku.
“Apa pentingnya?” balasku sinis.
Melanjutkan pekerjaanku.
“Gini lho Greta sayang, gender lo apa?”
“Cewek.”
“Kodrat lo?”
“Harus lebih hebat di atas cowok.”
“Itu mah pikiran lo!” Eva menoyor
jidatku. Aku mendengus tanpa niat menyahut.
“Ada suatu masa ketika lo akan
meninggalkan semua kerjaan ini dengan menjadi ibu yang baik. Yang ngurusin
anak-anak, suami lo juga. Karena apa? Karena itu kodrat lo. Berbakti sama
suami.”
“Kejauhan deh bahasannya sampai
suami-suami segala. Masih kuliah semester tiga juga.” tangkisku sarkastis.
“Mumpung masih semester tiga
makanya lo kudu cepet sadar.” kekeuh Eva tak mau kalah. “Lo nggak bisa
selamanya dingin sama cowok. Emang sih secara face lo kalah jauh sama gue...” Eva berhasil berkelit ketika aku
spontas menjitak jidatnya. Dia terkekeh. “tapi lo juga nggak jelek di pasaran.
Banyak cowok yang awalnya kagum sama lo. Sama kehebatan lo masalah organisasi
yang bejibun dengan IP masih setia di angka 4 penuh. Tapi apa lu bakal cuek
sama cowok sampai tua? Sampai ubanan dan jadi nini-nini? Lo butuh pendamping
suatu hari nanti.”
“Terus hubungannya sama punya
pacar? Kalo pendamping hidup juga bisa dicari sambil jalan. Gue yakin jodoh gue
udah diatur. Tanpa usaha juga bakal ketemu kok kalo udah waktunya. Nggak kayak
lo yang rempong mulu.”
“Heh! Ada yang namanya usaha.
Gimana jodoh mau dateng kalo lo diam aja? Contoh nih ya, seumpama lo betah
banget di rumah yang isinya cuma bokap, kak Dimas, sama Rendy mulu, ya kapan lo
bisa dapet cowok kalo nggak keluar rumah? Lu mau incest?”
“Ngawur deh!”
“Makanya lu perlu terbuka sama
cowok. Jangan antipati.”
“Emang dengan terbuka, gue bisa
dengan mudah jatuh cinta?”
“Belum tentu sih. Ya nggak terbuka
ke semua cowok. Cukup ke satu orang yang bener-bener lu percayai.”
“Kalo nggak ada yang gue percaya?”
“Apa salahnya mencoba? Kepercayaan
itu akan dateng dengan semakin seringnya lo berinteraksi sama dia. Lo bukan wonder woman, gret. Suatu hari lo butuh
tempat berbagi untuk menaruk beban yang udah nggak kuat lo tahan.”
Aku diam.
“Gret, jatuh cinta itu nggak butuh
logika, tapi perasaan. Kalau logika lo selalu nggak ngasih kesempatan buat
dekat sama cowok, gue takut perasaan lo melompong. Kosong. Sampai pada akhirnya
mati, yang artinya lo nggak akan tahu rasanya deg-degan, salting nggak jelas,
atau pun lonjak-lonjak bahagia. Lo nggak akan pernah tahu juga rasa bahagia
karena dicintai orang lain.” imbuh Eva lagi. Menutup ceramah panjangnya yang
terasa begitu menusuk.
Dicintai orang lain? Bukankah cinta
yang paling tulus hanya berasal dari Tuhan dan keluarga?
Ah, lagi-lagi logikaku banyak
bekerja.
Aku tak mengerti sejak saat itu
ucapan Eva begitu membekas. Membuatku sering bertanya-tanya tentang makna ‘dicintai’.
Kupikir, dengan kasih sayang orang tua yang melimpah, otak encer, dan kemampuan
bersosial yang baik hingga memiliki banyak teman, itu sudah cukup. Tak ada yang
benar-benar tulus dalam segala urusan, kecuali perhatian keluarga. Teman-temanku
baik karena mereka menghargaiku sebagai pemimpin yang mampu melakukan apapun,
contoh nyata karena mereka membutuhkanku. Tetap ada alasan untuk dicintai orang
lain, kan?
“Kok bengong?” senggol seseorang
menyadarkan lamunanku. Andra sudah duduk di sampingku.
“Ah iya. Kebiasaan kalo nggak sibuk
jadi bengong nggak jelas,” aku tertawa aneh. Memberi alasan. Mencoba melupakan
pikiran anehku barusan.
“Ada masalah?”
“Nggak lah. Semua aman terkendali.”
Andra mengangguk-angguk. “Gue
percaya deh sama lo yang bisa semuanya. Pasti aman terkendali.” dia tersenyum. “Tapi
kalo lo butuh apa-apa, bisa bilang sama gue. Nggak membantu banyak sih, tapi
bisa lah dikit-dikit. Biar lo nggak capek.”
Aku mengangguk. “Makasih.”
“Nih minum,” Andra menyodorkan
sebotol minuman bersoda.
“Buat gue?”
“Emang di sini ada orang selain lo?”
Aku celingak-celinguk. Tidak ada
orang selain aku dan Andra. Kelas kuliah tumben sekali sepi. Padahal sepuluh
menit lagi mata kuliah statistika dimulai.
“Terima kasih.” ucapku sekali lagi.
Andra tak menyahut, hanya senyumnya yang membalas ucapanku.
Sembari meneguk soda yang sebentar
lagi tandas, aku mengamati Andra. Seseorang yang levelnya sangat jauh di
bawahku. Nilai kuliahnya tak tinggi, tak pernah bergabung organisasi, dan
menghabiskan sebagai waktunya dengan menjelajah gunung. Andra yang pertama kali
ku kenal ketika menginjak kampus, berakhir dengan selalu satu kelas denganku.
Entah mengapa jadwal kuliah kami selalu sama. Untung saja tidak selalu satu
kelompok praktikum.
Andra, seseorang yang baik. Dia sering
sekali membelikanku soda. Andra yang suka menggangguku dengan lelucon
garingnya. Andra yang...
Tunggu, apakah sekarang aku mulai
memperhatikan kebiasaan seseorang?
“Gret,
jatuh cinta itu nggak butuh logika, tapi perasaan.”
-FM-
Aku tak mengerti alasan kau menghilang
Mungkin memang tak perlu penjelasan
Tak perlu kata-kata panjang
akan alasan Tuhan memisahkan kita
Sudah jelas : kita melampaui batas
Bertemu denganmu bukan suatu rencana
Sepengetahuanku, kau sudah masuk saja
tanpa persiapan. Tanpa aba-aba
Ketika tersadar, aku telah terperangkap
Kita orang-orang yang melebihi batas
waktu, logika
Hingga akhir, perasaan ini nyatanya masih tersisa
Tak sekedar bara, menjadi nyala
45 : tahun yang lewat dengan menunggu kepastian darimu
Dan kau tetap tak kembali
Sampai suatu ketika, surat itu datang :
mengabarkan kematianmu.
Penasaran, kutantang ruang waktu
Mencoba menemukanmu
Lebih pada berdamai dengan masa lalu dan perasaanku
Juga jujur pada anak kita, Srikandi, yang tak pernah tahu
bapaknya : Bhisma.
Pusaramu tegak membiru
Mengingatkanku akan kamar tempat kita melenguh,
meluruh
Dan aku tak kuasa hanyut
melalui butiran air mata yang jatuh melayu
Aku : Amba
Telah hancur remuk pupus
Namun tetap tegak. Tegar
Bahkan untuk sekedar bersandar pada
Srikandi ; yang menuntut, memburu
NOTE : Puisi ini terinspirasi oleh novel AMBA oleh Laskmi Pamuntjak. Sebuah novel yang mengisahkan percintaan antara Amba, Salwa, dan Bhisma dengan latar sejarah G30SPKI. Novel yang membiru. Rekomendasi banget untuk dibaca :)
Mungkin memang tak perlu penjelasan
Tak perlu kata-kata panjang
akan alasan Tuhan memisahkan kita
Sudah jelas : kita melampaui batas
Bertemu denganmu bukan suatu rencana
Sepengetahuanku, kau sudah masuk saja
tanpa persiapan. Tanpa aba-aba
Ketika tersadar, aku telah terperangkap
Kita orang-orang yang melebihi batas
waktu, logika
Hingga akhir, perasaan ini nyatanya masih tersisa
Tak sekedar bara, menjadi nyala
45 : tahun yang lewat dengan menunggu kepastian darimu
Dan kau tetap tak kembali
Sampai suatu ketika, surat itu datang :
mengabarkan kematianmu.
Penasaran, kutantang ruang waktu
Mencoba menemukanmu
Lebih pada berdamai dengan masa lalu dan perasaanku
Juga jujur pada anak kita, Srikandi, yang tak pernah tahu
bapaknya : Bhisma.
Pusaramu tegak membiru
Mengingatkanku akan kamar tempat kita melenguh,
meluruh
Dan aku tak kuasa hanyut
melalui butiran air mata yang jatuh melayu
Aku : Amba
Telah hancur remuk pupus
Namun tetap tegak. Tegar
Bahkan untuk sekedar bersandar pada
Srikandi ; yang menuntut, memburu
NOTE : Puisi ini terinspirasi oleh novel AMBA oleh Laskmi Pamuntjak. Sebuah novel yang mengisahkan percintaan antara Amba, Salwa, dan Bhisma dengan latar sejarah G30SPKI. Novel yang membiru. Rekomendasi banget untuk dibaca :)
Semuanya tak kurencanakan. Sebelum aku sadar,
ternyata jatuh cinta padamu begitu ikhlas
Tiada paksaan
Tiada upaya keras
Dan mereka, teman-teman kita, tetaplah terbaik
dalam menyatukan ingatan
akan sebuah hari yang membahagiakan
Sebelumnya kita saling tersesat
Sendiri-sendiri mencari jalan
Bertukar pandang di persimpangan, lalu melangkah
tanpa sapa. Kita berjalan saja.
Hingga suatu titik, kita menoleh
pada arah yang sama. Cahaya.
Perubahan hidup yang sepi sendiri selayaknya
matahari yang bersinar terik
tanpa bulan yang ditemani bintang.
Seketika berakhir
Melihatmu, aku tahu, hidup takkan sama lagi
Bersama, semua selangkah lebih mudah, kan?
Tak peduli hidup yang memburu,
sakit yang mengilu,
air mata yang terus luruh,
aku mencintaimu,
dengan sederhana. Dengan penuh,
utuh.
Arigatou :)
ternyata jatuh cinta padamu begitu ikhlas
Tiada paksaan
Tiada upaya keras
Dan mereka, teman-teman kita, tetaplah terbaik
dalam menyatukan ingatan
akan sebuah hari yang membahagiakan
Sebelumnya kita saling tersesat
Sendiri-sendiri mencari jalan
Bertukar pandang di persimpangan, lalu melangkah
tanpa sapa. Kita berjalan saja.
Hingga suatu titik, kita menoleh
pada arah yang sama. Cahaya.
Perubahan hidup yang sepi sendiri selayaknya
matahari yang bersinar terik
tanpa bulan yang ditemani bintang.
Seketika berakhir
Melihatmu, aku tahu, hidup takkan sama lagi
Bersama, semua selangkah lebih mudah, kan?
Tak peduli hidup yang memburu,
sakit yang mengilu,
air mata yang terus luruh,
aku mencintaimu,
dengan sederhana. Dengan penuh,
utuh.
Arigatou :)
Aku ingin kau tinggal
sementara saja. Mungkin boleh juga selamanya
pada hatiku yang terlanjur terbujur kaku.
Membiru. Tak pernah tersentuh.
Aku ingin kau mencoba
mematahkan hatiku. Sakit memang,
namun setidaknya aku hidup.
Dan pernah merasa jatuh (cinta)
Aku ingin kau tersenyum
Padaku yang bukan siapa-siapa.
Aku yang datar, bukan riuh ucapkan kata (cinta)
Karena aku benar tak tahu,
bagaimana caranya merasa. Dan bagaimana jatuh (cinta) yang benar
Aku ingin kau beritahu
akan sebuah kata (cinta) yang menyejukkan
hati yang gersang. Hati yang tak pernah merasa
kata (cinta) yang (katanya) menghidupkan segala yang mati,
dan menumbuhkan binar pelangi.
Aku ingin kau...
(yang pertama mencoba, dan yang yang terakhir tinggal).
sementara saja. Mungkin boleh juga selamanya
pada hatiku yang terlanjur terbujur kaku.
Membiru. Tak pernah tersentuh.
Aku ingin kau mencoba
mematahkan hatiku. Sakit memang,
namun setidaknya aku hidup.
Dan pernah merasa jatuh (cinta)
Aku ingin kau tersenyum
Padaku yang bukan siapa-siapa.
Aku yang datar, bukan riuh ucapkan kata (cinta)
Karena aku benar tak tahu,
bagaimana caranya merasa. Dan bagaimana jatuh (cinta) yang benar
Aku ingin kau beritahu
akan sebuah kata (cinta) yang menyejukkan
hati yang gersang. Hati yang tak pernah merasa
kata (cinta) yang (katanya) menghidupkan segala yang mati,
dan menumbuhkan binar pelangi.
Aku ingin kau...
(yang pertama mencoba, dan yang yang terakhir tinggal).
Gejolak Batin Saidah
Saidah menengok sebentar. Kerumunan
orang sudah menyemut. Tua, dewasa, remaja, dan anak-anak berbaur menjadi satu.
Mereka berbaris ingin tahu. Berdesak-desakan di ujung depan untuk melihat
Saidah. Ya, Saidah akan menari. Sebagai keturunan kesekian dari seblang
sebelumnya, Saidah beruntung ‘terpilih’ oleh makhluk halus yang berdiplomasi
dengan tetua desa.
Seblang adalah nama sebuah adat
yang dijalankan di desanya, Olehsari, sejak jaman setelah perang puputan bayu.
Tujuan awalnya adalah pemujaan animisme-dinamisme, namun seiring perkembangan
waktu akhirnya digunakan untuk tolak bala. Menyesuaikan dengan kepercayaan
warga desanya yang kebanyakan memeluk Islam. Perayaannya dilakukan setelah
lebaran Idhul Fitri.
Menjadi penari seblang, khususnya
seblang olehsari, tak sembarangan orang bisa menarikannya. Harus keturunan
seblang sebelumnya. Syarat wajib. Selain itu, pemilihan penari juga dilakukan
makhluk halusnya sendiri. Tentu makluk halusnya terlampau pintar, pikir Saidah.
Bagaimana makluk halus itu bisa tahu kalau nenek moyangnya, entah canggah atau
buyutnya, ternyata penari seblang? Mungkin mereka punya peta silsilah di
alamnya.
Kalau dibolehkan, Saidah ingin
lari. Sungguh dia tak ingin berada di posisinya sekarang. Dulu memang dia ingin
sekali menjadi penari seblang, terbesit setelah melihat Inah –sepupunya yang
terpilih dua tahun sebelumnya, banyak mendapat pujian. Inah masuk di headline beberapa koran. Bahkan fotonya
yang sedang menari kejiman pun beredar luas di internet. Inah mendadak jadi
bintang. Banyak bule yang meminta foto bersamanya, bahkan pak bupati pun memberikan
uang pesangon sebagai apresiasi Inah telah menari. Saidah iri. Dia ingin berada
di tempat Inah. Dia ingin mendapatkan keberuntungan yang sama.
Beruntung? Saidah tersenyum
sarkastis. Umurnya baru menginjak empat belas tahun. Dia belum akhil balik.
Belum mengalami menstruasi. Selama setahun ini dia berdoa penuh agar dedemit
kampung tak pernah memilihnya. Mengabaikannya saja. Toh banyak keturunan
seblang lain yang seumuran dengannya.
Saidah memang belum dewasa, tapi
pikirannya selangkah lebih maju dari sebayanya. Dia mendapat pendidikan, dan
pendidikan itulah yang merubah pandangannya akan seblang. Semua buku, artikel,
dan majalan budaya yang sudah dia baca, menguatkan pikirannya bahwa menjadi
penari seblang adalah jalan terbaik untuk melestarikan budaya. Warisan nenek
moyang yang perlu dijaga kelestariannya. Dan Saidah juga tak ada protes
mengenai hal itu. Namun, sungguh kenyataannya sangat kontradiksi, seandainya
orang-orang di kampungnya mau berpikir. Melakukan tari seblang yang mana
mengikuti petunjuk makhluk halus, bukankah syirik? Terlebih tujuannya untuk
bersih desa lagi!
Ada kepercayaan, konon jika tidak
mengadakan tari seblang, desa akan kena pagebluk
–serangan penyakit atau bencana mengerikan. Kepercayaan itu meluas setelah
selama beberapa tahun warga desa banyak yang mati. Padahal mati dan lahir
adalah daur kehidupan manusia, sudah sewajarnya kematian datang. Namun bela
mereka, kematian yang menimpa warga desa tidak wajar. Setiap hari ada yang
mati, bahkan dalam sehari lebih dari seorang. Kalau sudah begitu, apalagi kalau
bukan pagebluk?
Berdasarkan riwayat yang Saidah
pernah baca, kematian yang menyerang warga desanya di jaman antah berantah itu
tak lain karena serangan penyakit. Terjadi wabah besar hingga banyak orang yang
tertular. Mereka mati mengenaskan tanpa sempat diberi pertolongan medis. Tentu
dengan kemiskinan dan pengetahuan yang rendah, orang jaman dahulu mampu berbuat
apa? Hanya kepercayaan mereka yang semakin meningkat mengenai pagebluk dan menghubungkannya dengan
seblang yang kala itu tak pernah dimainkan.
Dan kepercayaan warga itulah membawa
Saidah ke titik ini. Titik dimana Saidah tak bebas menentukan pilihannya
sendiri. Semua sekehendak dedemit desa, yang sebelumnya dipanggil tetua desa.
Semua orang tua yang mempunyai anak perempuan belum akhil balik dan memiliki pertalian darah dengan seblang, harap-harap
cemas anaknya terpilih, tak terkecuali orang tua Saidah. Kalau orang tua lain
khawatir, Emak Saidah sebaliknya. Justru Emaknya melonjak girang ketika tetua
desa mengatakan Saidah yang terpilih. Saidah tak habis pikir, apa sih yang
membuat Emak sedemikian bahagianya?
“Kita akan kaya, dah!” seru Emak
ketika Saidah menanyakan alasannya.
“Kaya?” Saidah mengenyitkan dahi.
Bagaimana keluarganya bisa kaya hanya dengan dia menari tanpa sadar seperti
itu? Sungguh tak masuk akal.
“Ah kamu anak kecil tak akan
mengerti.” Emak menepuk bahu Saidah. “Seminggu lagi kamu akan jadi artis.
Banyak sekali media yang akan meliputmu.”
“Seperti Inah?”
“Nah, benar sekali, nak. Kamu akan
mendapat uang dari mereka.”
“Tapi Saidah nggak mau, mak.”
Emak melotot. “Pokoknya kamu harus
nari seblang! Memangnya kamu nggak mau terkenal?”
“Terkenal sesaat, iya mak.” Saidah berusaha
memberi pemahaman pada Emak. Emak yang tak pernah mencicipi bangku sekolah.
Keburu nikah ketika umurnya lima belas tahun. “Kita baru saja Idhul Fitri, mak.
Kembali meraih kemenangan setelah puasa satu bulan. Terlahir bersih bagaikan
bayi yang baru lahir. Dosa-dosa kita dirontokkan, mak. Tapi sekarang, dengan
berkedok pelestarian budaya, kita menggadaikan kesadaran kita dengan kejiman?
Nari nggak jelas keliling desa dan juga menari dengan laki-laki yang kena kibas
selendang, dan itu semua Saidah lakukan tanpa sadar, mak! Dedemit yang nari,
bukan Saidah!”
Emak ingin menangkis serangan
Saidah namun mulutnya serasa disumpal. Pikirannya kosong. Beliau sama sekali
tak menemukan alasan yang tepat.
“Tapi... tapi...” Emak berpikir
keras. “Kalau nggak nari, kamu mau desa kita kena musibah? Kamu mau tanggung
jawab seandainya keluarga kita semua mati?”
“Emak beragama, kan? Kita semua
percaya bahwa datangnya segala musibah dan cobaan adalah dari yang Maha Kuasa.
Kuasa atas diri kita, kuasa atas alam semesta, dan kuasa atas dedemit yang
masuk ke tubuh Saidah. Melakukan semua ini, mak, jujur Saidah malu jika
berjumpa dengan-Nya. Bagaimana Saidah bisa berbuat musyrik sedangkan Saidah
bisa menghindarinya?”
“Menghindarinya? Kamu mau satu desa
mengusir kita hanya karena kamu tak mau menari?”
“Bukan begitu...”
“Kamu mau gila kayak Tatik yang
menolak menari? atau Endah yang setiap minggu sering hilang diculik dhanyang? atau Sri yang bisa lihat
setan? Resikonya besar, Dah.”
“Mak...”
“Sudah! Pokoknya kamu harus nari!” tegas
Emak membungkam Saidah. Dia tak lagi bisa protes. Kendali penuh ditangan Emak.
“Seminggu lagi ritual dimulai. Siapkan dirimu. Emak nggak mau kamu protes di
depan umum, apalagi ke Cak Agus.”
Cak Agus adalah tetua desa yang
mengurus semua keperluan tari seblang –dalam hubungannya dengan permintaan si
makhlus halus. Saidah mengurut dada. Pasrah. Menjadi anak kecil dengan
pengetahuan keluarga yang minim membuatnya putus asa. Sama sekali menolak
logika kebenaran.
Seminggu berikutnya Saidah habiskan
dengan mengikuti semua rangkaian ritual. Selamatan desa, pingitan, dan
seterusnya. Semakin mendekati hari pertunjukan, Saidah semakin ragu. Tak benar.
Semua ini seharusnya tak terjadi, elak Saidah. Budaya memang wajib
dilestarikan, namun budaya yang bertolak dengan keyakinan agamanya, Saidah
merasa dirinya yang sedang digadaikan. Dikorbankan Emak dan seluruh penduduk
desa. Berkedok ketakutan tertimpa pagebluk,
lantas pantaskah Saidah menanggung dosa syirik yang tak pernah diampuni Allah?
Dia menduakan Allah dengan mengikuti keinginan dedemit. Emak dan penduduk desa
yang juga seiman dengan dirinya, tak sadarkah mereka telah melakukan kesalahan
besar ini?
Budaya memang wajib dilestarikan,
namun budaya yang bertolak dengan keyakinan, apakah selamanya patut dipertahankan?
Iringan gamelan dan gong yang ditabuh
serta gending yang dinyanyikan sinden membuyarkan lamunan Saidah. Pertujukan
akan dimulai. Sebentar lagi dia menuju pelataran dengan muka ditutupi rumbaian
pelepah pisang. Seorang pawang sudah berdiri mendampinginya. Bersiap ‘menjaga’
tamu undangan yang sebentar lagi menguasai raga Saidah. Sementara jiwanya
dipindahkan ke alam tetangga. Menjadi ‘utusan’ demi menjalin silaturakhim yang
baik antara alam manusia dan jin. Agar kedua makhluk Allah itu selalu menghormati
dan tak pernah mengganggu satu sama lain, setidaknya itulah alasan seluruh
warga desa.
Saidah menghadap cermin sebentar.
Menatap riasan minimalisnya yang takkan terlihat, bahkan air matanya yang jatuh
pun tidak. Tidak juga hatinya yang meledak sakit. Saidah tak rela.
Ini tentang Saidah, tentang
keyakinannya. Dia tak ambil pusing soal keyakinan orang lain. Hanya bagi
Saidah, hati kecilnya tak mampu. Dia tak bisa mengabaikan perintah Allah hanya
karena tradisi. Dan warga desa seharusnya juga memikirkan pendapatnya. Bukan
bagai kerbau dicucuk rotan atas permintaan dhanyang.
Takut mendapat hukuman karena tidak mematuhi perintah dari selain Allah.
Ya
Allah, maafkan hambaMu ini, bisik Saidah dalam
hati. Memohon ampun.
Selintas, Saidah merasa blitz kamera mengabadikan gambarnya,
termasuk melihat kehadiran bule, media, dan bupati yang sibuk menyalami warga
–sebelum kesadarannya hilang bersama nampan yang mulai bergoyang. Bersiap
jatuh.
-FM-
Note : Cerpen ini berhasil masuk 14 besar FSIN 2015
In
CeritaPendek,
HEDONIA
Hedonia
Aku memandang sekeliling nanar.
Semua masyarakat di kotaku tengah berlomba membuat rumah tingkat sepuluh
layaknya hotel berbintang. Mereka mendatangkan para ahli dari kota, sekedar
menunjukkan siapa rumahnya paling bagus diantara mereka. Kecanggihan teknologi
mendorong rasa ingin tahu mereka akan kemajuan arsitektur kota, hingga mereka
ingin merubah wajah kotaku menjadi lebih modern, katanya.
Padahal aku tau, kota ini tak lain
paling miskin di negara kami, menurut koran harian enam tahun lalu.
Masyarakatnya dililit masalah kemiskinan, kebodohan, dan tingkat kejahatan
tinggi. Maklum, urusan makan yang tidak terpenuhi membuat mereka bertindak di
luar akal. Dalam memenuhi kebutuhannya, mereka tak segan bertindak sadis
seperti mengancam, menyiksa, bahkan tak segan membunuh.
Melihat ini, pemerintah negara kami
seolah tutup mata. Tidak ada tindakan nyata untuk merubah keadaan kota kami. Tetap
saja kami dibiarkan terisolir, dengan fasilitas publik yang tidak memadai.
Kesehatan sangat buruk. Kurun waktu satu hari saja, mungkin ada enam hingga
sepuluh orang yang meninggal karena penyakit.
Masyarakat yang memang kurang
mendapat pendidikan, dalam hal ini bodoh, menerima kenyataan ini sebagai sebuah
takdir. Tidak ada usaha merubah jalan hidup mereka.
Hingga suatu ketika, datanglah seorang
pemuda. Seorang pengembara yang tersesat di kota kami. Keadaanya hari itu
sangat mengenaskan. Dia dehidrasi berat dan butuh makan supaya hidup. Warga
kota yang menemukannya di gerbang kota, menatap sinis. Permintaan seorang
pemuda yang sangat mengada. Bagaimana mereka memberinya air dan makanan
sedangkan mereka saja kelaparan? Bahkan banyak orang mati karena perebutan makanan.
Berbagi? Jangan harap!
“Tolong... siapapun beri aku minum
dan makanan...” pemuda itu merintih. Wajahnya sudah pucat, bibirnya
pecah-pecah. “Aku akan memberi kalian emas... sebanyak yang kalian inginkan.”
Saat itu masyarakat kami tidak
mengerti apa itu emas. Bagaimana bentuknya, berapa harga jualnya, bahkan kami
saling pandang ketika pemuda itu mengangsurkan beberapa bongkah. Seseorang
menyeletuk, “Benda ini sangat indah.”
Kami mengangguk setuju, masih
terpana dengan batu berwarna kuning keemasan itu.
“Harga jualnya sangat tinggi...”
pemuda itu menjelaskan dengan terbata. Sedangkan kami belum beranjak untuk
menolong. “Kalian bisa membeli apapun setelahnya, termasuk makanan.”
Beberapa dari kami yang tidak
percaya, meninggalkan pemuda itu yang berusaha memanggil dengan iming-iming.
Katanya, dia bersedia tinggal di kota kami dan selalu memberi benda itu setiap
harinya. Pengetahuan yang rendah membuat banyak dari kami mengacuhkan pemuda
itu.
Namun tidak dengan ibuku,
cepat-cepat beliau bergegas mengangsurkan minum dan makanan, yang tak lain
persediaan malam ini. Liurku nyaris menetes ketika pemuda itu menghabiskan
gigitan terakhir. Aku mengurut dada. Orang itu lebih membutuhkan daripada aku
dan ibu. Setidaknya nyawanya selamat.
“Terima kasih, ibu.” pemuda itu
menundukkan kepala penuh terima kasih.
“Sama-sama, nak.” ibu tersenyum
lega. Di samping beliau, aku menatap pemuda itu sama leganya.
Aku meneliti sekeliling. Baru saja
aku menyadari, hanya kami berdua yang membantu pemuda itu.
“Seperti janji saya, terima lah
emas ini dan jual ke kota.” pemuda itu menyerahkan bongkahan batu indah itu ke
tanganku. “Tetapkan harga tinggi. Lalu beli berbagai kebutuhan yang kamu
perlukan.”
Aku mengangguk. Sebelum berdiri,
pemuda itu mengangsurkan tangan dan mengatakan namanya, “Saya Glian.”
Sejak itu aku dan ibu mengenal
Glian, juga seluruh warga kota setelah mereka terkejut melihatku membawa banyak
makanan. Mereka bingung bagaimana caraku mendapatkannya. Aku hanya menunjuk
Glian dan mengatakan batu itu yang memberiku semua ini. Tentu saja semua warga
kota segera menyerbu Glian dan memohon pemuda itu memberikan beberapa bongkah
pada mereka.
Glian awalnya ogah. Dia tentu ingat
perlakuan warga kota yang mengabaikannya. Membiarkannya nyaris mati kelaparan,
kecuali seorang wanita tua dan anak laki-laki yang kini memberinya tumpangan
rumah, menyelamatkan hidupnya. Warga kota nyaris beringas dengan sikap keras
kepala Glian, sampai pemuda itu luluh ketika Ibu yang meminta.
Sekejap, batu berharga yang bernama
emas itu lenyap tidak ada sisa. Warga kota ketakutan. Bagaimana mereka memenuhi
kebutuhannya jika emas itu habis?
Glian santai saja, sedikit pun tak
ada khawatir pada wajahnya. Aku yang sangat penasaran, akhirnya bertanya
padanya. Dan lagi-lagi, dia membuatku terkejut.
“Aku bisa membuat emas dari
tanganku,” bisiknya. “Hanya butuh beberapa bongkah batu biasa, cukup dengan
menyentuh, jadilah emas.”
Awalnya aku tak percaya. Hingga
Glian membuktikan di depan mataku, sebongkah batu biasa berubah menjadi emas
dalam sekali sentuh!
Aksi Glian yang luar biasa itu,
celakanya dilihat salah satu warga kota kami. Cepat dia beranjak ke tengah
kota, memberi infomasi ke seluruh warga, dan keesokan harinya rumahku penuh
dengan batu. Apalagi kalau bukan warga kota ingin Glian menyentuhnya.
Tak hanya kemiskinan yang
membutakan warga kota kami untuk berbuat kejahatan, kekayaan juga tidak ada
bedanya. Malah semakin brutal. Mereka berlomba mengirim semua batu ke rumah
kami, sama sekali tidak memberi Glian jeda untuk istirahat. Mereka tidak peduli
kondisi Glian, yang mereka pikirkan hanya bagaimana menjadi kaya dan menjual
seluruh batu ke kota.
Kondisi kota kami perlahan berubah.
Rumah yang awalnya seperti kandang hewan, kini berubah megah. Warga yang
dulunya selalu kelaparan, sekarang malah menimbun persediaan makanan hingga dua
tahun mendatang. Baju compang-camping berganti menjadi gaun sutra bertahtakan
berlian. Pesawat pribadi mengudara setiap menitnya.
Jika sebelumnya kota kami
termiskin, sekarang terkaya. Angka kemiskinan sebesar 0,0001 persen, sebaliknya
kekayaan 99,9999 persen. Dan angka itu bisa menjadi 100 persen seandainya
keluargaku; aku dan Ibu, mau melengkapinya.
Ya! Keluargaku masih sama. Tidak
terpikat dengan kekayaan yang membutakan. Aku tetap giat bekerja dan mencari pengetahuan.
Seperti pesan Glian yang kini diamankan warga
kota di sebuah rumah sakit. Warga kota ingin Glian tetap menyentuh batu
sekaligus disembuhkan ahli kesehatan terbaik dunia yang khusus untuk Glian.
Tentu saja karena Glian adalah pundi uang mereka.
“Aries, kemarilah.” panggil Glian
sebelum dia diambil paksa.
Aku menurut dan duduk di depannya.
Membuka lebar telinga untuk menangkap pesan terakhirnya.
“Aries, jika kamu berpikir
sebaik-baiknya manusia adalah orang kaya, ubahlah pandanganmu bahwa lebih baik
seorang fakir yang memberikan tenaganya. Jagalah diri dari meminta-minta,
karena meminta-minta itu mengurangi derajadmu di hadapan-Nya, kecuali sekedar
kebutuhan karena lebih dari itu tidak dibenarkan.”
“Utamakan orang lain atas dirimu
sekalipun kamu kesusahan. Kebaikan akan selalu menyertaimu dan selebihnya kamu
tidak akan merasa kekurangan. Akan selalu dicukupkan nikmat bagi mereka yang
bersyukur.”
“Lalu, urusan harta dan dunia
adalah perkara yang membutakan. Tentu kamu melihat sendiri bagaimana warga kota
yang bagai kacang lupa akan kulitnya. Janganlah kamu mengikuti mereka kecuali
ingin kehancuran.”
Glian mengatur nafasnya yang berat.
Aku termenung menunggu ucapan selanjutnya. Terlebih pada kristal bening yang
jatuh dari kelopak matanya.
“Jika ada penyesalan terdalam yang
pernah kulakukan, aku menyesal tersesat di kota ini dan berjanji akan
memberikan emas setiap harinya, kecuali pertemuan denganmu dan Ibumu. Kalian
orang-orang baik, yang tak seharusnya hidup di tempat seperti ini. Carilah ilmu
sebanyak mungkin, Aries. Karena dia membantumu di kala susah meskipun harta
benda telah habis. Dan membantu sesama, akan lebih bermanfaat jika bukan soal
harta saja, namun juga pembelajaran. Pemahaman akan pentingnya kebaikan, peduli
sesama, rasa syukur, dan menjauhkan penyakit hati seperti cinta harta, adalah
bantuan nyata yang patut diberikan pada mereka yang tak pernah menerimanya.
Tidak sepertiku, yang memberi harta
tanpa melengkapinya dengan mengobati penyakit hati.”
“Ingatlah Aries, tetaplah berbuat
baik dengan memberi secara materi begitu pun rohani. Itu lebih baik daripada
aku yang hanya berbuat kerusakan. Terima kasih selama ini selalu merawatku. Aku
berhutang nyawa padamu dan ibumu.”
Lalu Glian pergi. Dia dibawa paksa
oleh warga kota sementara aku dan Ibu hanya bisa termenung melepaskannya. Glian
yang sangat baik, tapi dia kalah dengan keserakahan warga kota yang hidup
bermewah-mewahan. Warga kota yang tidak punya rasa malu. Selalu minta diberi
tanpa niat untuk berbagi. Mereka mungkin amnesia dengan perlakuan pertama kali
pada Glian. Rasa bersalah dan malunya mungkin sudah hilang. Tersapu angin yang
menyulap kota kami tumbuh dengan gemerlap kekayaannya.
Benar, enam tahun yang berbeda
drastis.
“Aries, cepat bersihkan kaca lantai
25! Wisatawan protes katanya kurang mengkilap!” Bentak pemilik tempatku
bekerja. Kaget, nyaris saja aku terjatuh.
Aku mengurut dada. Perangai yang
sangat cocok dengan nama kota kami. Kota yang penuh gemerlap, kota yang
membutakan. Kota yang tak pernah peduli sesama kecuali bersaing dalam kekayaan.
Perkenalkan nama kota kami, Kota
Hedonia yang kaya raya!
-FM-
Note : Cerpen ini berhasil menjadi Juara 1 Essential Tulis Cerpen BEM TPB 51 2015
Mawar, Gincu, dan Pencarian Kumbang
Cantik adalah kutukan. Kata ini
yang sangat ingin kutegaskan padamu. Jangan berdoa meminta cantik. Jangan
mendesah iri melihat gadis yang lebih cantik. Sekali lagi karena cantik adalah
kutukan. Sekali-kali jangan meminta menjadi cantik.
Tentu kau penasaran, mengapa aku
berkata demikian?
Baiklah. Akan kubacakan sebuah
kisah tentang Mawar dan Kumbang. Agar kau mengerti dan meyakini dengan jelas,
cantik adalah kutukan!
***
Sebelum memulai, baiknya kita
sepakati pelaku utama cerita. Panggil dia Ayu, perwujudan nyata dari sebuah
mawar. Analogikan Ayu sebagai mawar yang merah merekah. Menyala indah di pucuk
tangkainya. Dikagumi semua orang atas anugerah sempurna yang Tuhan berikan. Tak
ada cacat darinya. Semua makhluk mengakui kecantikannya. Setiap gerak, ucapan,
dan senyumnya adalah fenomena terindah. Bahkan pelangi dan senja mengangkat bendera
putih. Kalah.
Kesempurnaan itu makin lengkap saja.
Orang berkata demikian karena hidupnya bagai dunia peri. Ayah seorang raja, ibu
seorang ratu. Kedua orang tuanya bukan penguasa di negeri wonderland, tapi dunia perminyakan se-Asia Pasifik. Tak tanggung
lagi kekayaannya. Tak cukup di situ, kekayaan yang melimpah digunakan beramal.
Liat saja rumah baca, rumah zakat, panti asuhan, dan yayasan donor organ. Semua
itu milik keluarga Ayu saja.
Didikan yang baik menghasilkan buah
yang baik pula. Hidup tanpa tantangan menghasilkan Ayu yang gemilang. Dia lulus
sarjana dari universitas terbaik dunia. Langsung duduk di kursi CEO perminyakan
milik orang tua.
Metamorfosis hidup? Kamus ini tak
berlaku. Jika kupu-kupu perlu melalui fase kepompong, Ayu tak perlu miskin dan
buruk rupa untuk menjadi miliader. Tak perlu berusaha keras untuk menjadi yang
terbaik. Hidup tak adil? Tanyakan pada Tuhan. Jangan padaku.
Lalu Ayu sanksi. Dia bosan.
Rutinitas yang dijalaninya terlalu monoton. Tak pernah dia temui kendala yang berarti.
Sampai akhirnya dia coba-coba. Dunia hitam seperti apa sih?
Maka dia pergi ke sebuah tempat
daerah Surabaya. Kawasan yang sebelumnya tak pernah dia injak. Berita
menuliskan tempat itu bernama Dolly. Tempat yang terdiri dari kios-kios dagangan.
Dagangan manusia khususnya wanita, tentu saja.
Ayu bertemu germo Dolly. Meminta
diberikan gadis terbaik dari kiosnya. Si germo mengenyit. Untuk apa gadis
cantik seperti Ayu meminta barang? Si germo akhirnya tutup mulut melihat
selembar cek bernominal sembilan angka dia terima. Masa bodoh dengan kelainan Ayu.
Penting dia mendapat uang.
Barang yang diberikan si germo
berada di tangan Ayu. Seorang gadis enam belas tahun yang banyak menunduk. Wajahnya
sangat cantik, apalagi ditambah gincu yang tebal. Lipstiknya merah darah, seolah
meminta semua orang mengecupnya.
Ayu tentu masih normal. Dia tidak menginginkannya. Dia hanya terlalu
penasaran.
“Kau tidak sekolah?”
“Anda bertanya pada saya?”
Tawa Ayu nyaris menyembur. “Anggap
saja aku bertanya pada kembaranmu.”
Gadis itu tersentak. “Bagaimana
anda tau saya memiliki kembaran?”
Sekarang Ayu yang kaget. Dia
semakin tertarik pada gadis di depannya. “Aku hanya menerka. Bagaimana kau bisa
sampai di rumah bordil?”
“Anda wartawati?”
“Memang kenapa?”
“Mami tak mengizinkan saya buka
mulut pada orang lain.”
“Mamimu tak akan protes. Aku sudah
membayarnya sejumlah uang. Lagipula aku juga bukan wartawan. Santai saja.”
“Lalu anda ingin apa dari saya?”
“Bercerita lah tentang dirimu. Aku
ingin mendengarnya.”
“Kalau saya tak mau?”
“Aku akan menarik cek yang
kuberikan pada mamimu. Impas, kan?”
Gadis itu menunduk. Dia ingin
secepatnya berlalu dari muka Ayu. Dia tak ingin orang lain menelusuri hidupnya.
Orang lain berhak apa? Mereka tak ada hak atasnya. Kecuali satu, maminya. Germo
rumah bordil yang membeli janjinya.
Terbata, gadis itu akhirnya
mecicit. Mengatakan beberapa kata yang memaksa keadaan hening. Ayu makin
mendekat. Menempelkan telinganya pada cerita si gadis. Sesekali tubuhnya
bergetar. Sempat menyesal terlanjur mengunjungi rumah bordil.
Gadis itu memulai cerita. Dia
terlahir dari keluarga yang miskin. Atap rumahnya hanya ditopang kardus bekas,
yang tentunya amblas saat hujan turun. Tidak ada perabotan istimewa. Kecuali
sebuah kipas angin bekas agar rumah kardus mereka tak kegerahan.
Gadis itu tak pernah menyesal lahir
dalam keluarga yang demikian. Setidaknya itu ajaran yang dia pahami dari agama.
Selalu bersyukur. Tak pernah menyerah atas hidup yang dikata orang kurang
beruntung. Toh orang tua sangat sayang pada keduanya. Bahkan hebatnya lagi,
keduanya beruntung mencicipi bangku sekolah. Sebuah mimpi yang mustakhil di dapatkan
anak keluarga miskin.
Bangku sekolah yang menyenangkan,
menjadi hingar saat sudara kembar si gadis mengenal cinta. Dia tertangkap
kumbang yang mengagumi kecantikannya. Gadis itu sudah memperingatkan supaya
saudara kembarnya hati-hati. Yang terjadi justru sebaliknya. Saudara kembarnya
justru jatuh dalam kegelapan yang pekat. Seks bebas. Sangat candu, ketagihan,
dan gila. Sebut saja semua istilah yang mengambarkan esensi kenikmatan.
Keluarga kecil nan miskin berakhir
tragis. Metamorfosis kehidupan seolah tak berlaku. Bukankah seharusnya mereka
berdua menjadi kupu-kupu indah? Mengapa keduanya tetap terikat kemiskinan dan
ketidakberdayaan? Apa salah keduanya? Apa ini karma kedua orang tuanya?
Bukankah setiap hari keluarga itu berdoa pada Tuhan selalu diberikan yang
terbaik? Apa yang salah di sini?
Gadis itu tak mengerti. Dia
terlanjur dendam pada kumbang yang menjadikan suadara kembarnya gila. Saudara
yang harusnya membawa perubahan dalam keluarga miskin mereka, berakhir mati
sia-sia. Aids. Itu kata dokter sebelum saudara kembarnya dimakamkan.
Gadis itu bertekad menemukan
kumbang dengan tangannya sendiri. Memberi pelajaran agar si kumbang menyadari
kesalahan fatalnya. Dan gadis itu memilih rumah bordil sebagai langkah awal.
Pikirnya, kumbang menghancurkan sudara kembarnya dengan bersetubuh, tentu minimal
sekali saja, laki-laki itu pernah mengunjungi Dolly..
“Kau sudah mendapatkannya?”
Gadis itu menggeleng.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Menunggu.”
“Dengan melakukan semua hal bodoh
ini?”
Gadis itu menentang tatapan Ayu
tajam. “Apa yang anda maksud dengan hal bodoh?”
“Kau berkata tak ingin terpuruk
dalam kemiskinan hingga kau belajar keras di sekolah. Lalu sekarang, demi balas
dendam yang tak bisa ku pahami kerjanya, kau menikmati setiap malam bersama
laki-laki yang berbeda demi mencari kumbang yang menghancurkan saudara
kembarmu. Apa kau tak sadar tengah menghancurkan diri sendiri?”
“Orang kaya dan anak tunggal seperti
anda tak bisa mengerti.”
Ayu bungkam. Mulut gadis ini
terlalu tajam. Kena sasaran tepat di hatinya.
“Ada banyak masalah yang tak bisa
diselesaikan dengan logika dan moral. Memang benar rumah bordil tak dibenarkan,
saya juga setuju dengan itu. Tapi disini...” gadis itu menunjuk hati. “ada
sakit yang tak bisa dilupakan. Ada luka yang tak bisa disembuhkan. Anda mungkin
tak pernah melihat orang tua menangis kesetanan. Mereka terus histeris
memanggil nama sudara kembar saya, Nada, berulang kali hingga detik ini. Tak
bisa menerima bahwa anak cemerlang mereka meninggal sia-sia. Hidup yang awalnya
memang parah, semakin menjadi saat mereka memilih menyerah. Tentu anda tak
mengerti dan takkan pernah bisa memahaminya. Karena anda tak pernah
mengalaminya.”
Gadis itu bangkit. Terlihat jelas
berusaha tak menjatuhkan air mata.
“Sudah cukup saya menjual cerita
saya. Katakan pada Mami, saya melayani anda dengan prima. Saya tak ingin
bayaran saya di potong.”
Usai berkata demikian, gadis itu
melangkah pergi. Meninggalkan Ayu yang termenung dalam. Memikirkan pembicaraan
yang menghabiskan tiga jam waktu produktivnya. Mencerna dalam. Ternyata di luar
hidupnya banyak cerita yang tak mulus. Daur hidup yang tak berjalan semestinya.
Banyak sekali rintangan yang menjadikannya gagal.
Lalu, semua ini salah siapa?
Haruskah manusia yang kembali disalahkan atas pilihan yang melenceng? Apakah
dunia penuh kebahagiaan hanya dalam dunia peri saja? Dunianya?
Ayu mengikuti gadis itu diam-diam.
Hari masih sore saat gadis itu memilih pulang daripada kembali ke rumah bordil.
Mungkin hatinya terlalu hancur. Khawatir mood
yang buruk menghancurkan suasana dengan para pelanggan. Dia juga tak siap
bertemu kumbang dalam keadaan seperti ini.
Gadis itu terus berjalan ke kawasan
perkampungan kumuh. Konsentrasi penuh menuju rumah reyot yang di depannya duduk
seorang tua. Tatapan matanya kosong. Tak ada pertanda hidup dalam wajahnya.
Jarak lima puluh meter, tiba-tiba
gadis itu berbelok ke sudut rumah kardus lain. Ayu masih menunggu. Lima menit
kemudian gadis itu keluar. Penampilan si gadis menampar Ayu.
Sekarang gadis itu memakai kerudung
panjang menutupi dada. Terusan panjang menyapu sepanjang jalan yang dia lewati.
Gincunya hilang. Hanya terlihat sebuah senyum tulus dan lelah saat mengampiri
wanita tua itu.
“Assalamualaikum ibu, Nada pulang.”
***
Ayu kembali menekuni kertas-kertas
yang bertumpuk. Sesak, dia mengambil note
book dan menulis beberapa kata.
Metamorfosis
bukan sekedar perubahan menjadi lebih baik. Ada kalanya dalam perubahan tidak
selalu berhasil melewati rintangan. Banyak kegagalan dan akhirnya jatuh. Namun
lebih dari itu, penting memahami semua proses dan belajar darinya. Rusak bukan
berarti tak bisa digunakan, hanya menunggu sadar, kapan seharusnya cepat
diperbaiki.
Handphone Ayu berdering. Nomor
asing masuk. Ragu-ragu, Ayu menekan tombol receive.
“Maaf ini dengan Ibu Ayu?”
Ayu tersentak. Dia mengenal suara
ini. Suara gadis yang dia tanyai kisahnya beberapa hari lalu. Kisah tentang
saudara kembar dan Kumbang. Tentang cantik yang membawa petaka. Tentang
kemiskinan, kepolosan, dan ketidakbedayaan yang menyesakkan. Sekaligus tentang
kehebatan yang menyadarkannya.
“Saya menemukan kertas tawaran
kerja di perusahaan ibu. Apa benar ibu yang mengirimkannnya?”
***
Demikian kisahnya. Aku tak
mengetahui ekspetasimu atas ceritaku sejak awal. Pun, aku tak peduli atas
komentarmu barangkali kisahku sejenis sampah. Sejujurnya aku juga tak yakin
apakah penegasan ‘cantik adalah kutukan’ menyentuh permasalahan. Aku tak
peduli. Sungguh tak peduli atas pandanganmu atau orang lain.
Terakhir, pernahkah kau terbesit
bertanya, siapa aku?
Kan, kau saja tak berminat tau.
Apalagi kumbang yang kucari keberadaannya.
Hahaha, kenalkan aku Nadi, kembaran
Nada. Aku cantik dan cukup tau Nada mati sia-sia karena kecantikan kami.
Sekian. Terima kasih.
-FM-
Note : Cerpen ini berhasil menjadi Juara 2 Tulis Cerpen IAC BEM KM IPB 2015