Untuk Ibu

16.47

Untuk ibu, dari kami, anakmu ...

Ibu, tak terasa hari berganti cepat. Kami telah tumbuh besar. Kami sadari bahwa kehidupan tak lagi sama. Kehidupan bukan sekedar berkejaran dibalik hujan. Bukan sekedar tertawa keras sembari mengejar kupu – kupu riang.  Kehidupan adalah tantangan, dimana kami akan kalah begitu menyerah. Kehidupan adalah impian, sekaligus kesendirian ketika kami di sini, ibu. Tengah  berdiri sembari mengingat masa lalu. Sebuah cerita yang ingin kami tutup namun tak pernah bisa.

Itu begitu kuat. Terpatri dalam memori otak anak – anak kami. Meski kami ingin lupa, sakit hati ini masih tersisa. Membekas. Tahukan ibu bahwa hati tak lebih rapuh dibanding kayu lapuk? Tak lebih kuat dibanding besi?

Ibu, cobalah mengerti bahwa kami menyayangimu lebih dari segalanya. Cobalah mengerti pula, sayangilah kami dengan cinta yang nyata. Dengan senyum lebar, tutur kata lembut, dan tanganmu yang selalu membelai rambut kami. Bukan sebaliknya. Taukah engkau ibu bagaimana perasaan kami ketika ibu melakukan itu semua? Kami sakit! Kami merasa tersingkir. Kami merasa tak memiliki tempat berlindung, bahkan sekedar berteduh.

Kami sakit ibu, dan kami tak pernah tau kapan kan sembuh.

Ibu, jadilah yang terbaik dalam usaha mengerti psikologi anakmu. Jadilah mengerti bagaimana perasaan mereka setiap ucapan kotor itu terlontar. Jadilah mengerti bahwa perasaan semua manusia itu bukan batu yang selalu diam. Ada kalanya riak dalam hati mereka hingga mereka memilih menghindar. Memilih menjauh dengan harapan kau tak membuatnya semakin terluka. Membuat mereka tak percaya diri dan takut melakukan hal sama pada anak mereka kelak.

Ibu, jadilah wanita hebat sekuat baja. Jadilah kuat saat semua anakmu menjauh. Lembutkan hatimu bila kau tak mau kehilangan, ibu. Jagalah lisanmu bila kau tak mau anak – anakmu semakin membenci. Mereka menyayangimu ibu, dengan cara mereka yang berbeda.

Kami berbeda, itulah caramu mendidik kami hingga sebesar ini. Kami berbeda dari segi kasih sayang yang ibu berikan. Bila anak lain mencintaimu ibu mereka sepenuh hati, kami masih mempertanyakan. Pantaskah ibu mendapat itu? Sanggupkah ibu menerima cinta kami yang tak lagi utuh ini? Bisakah ibu menyadari bahwa anakmu ini kecewa?

Kami tau bu, adalah tak tau diri bila kami membencimu. Kau yang mengandung kami. Memberi kami kesempatan melihat dunia yang tak lain adalah masalah. Kau merawat kami, mencium dan membanggakan kami setiap bertemu ibu lain. Mengelukan bahwa kami adalah yang terhebat. Kami adalah terbaik dari anak lain.

Kau ingin kami yang paling sempurna. Sampai kenangan bagaimana marahnya ibu ketika kami membuat kesalahan masih melekat. Semenjak itu kami mencoba membuatmu bangga. Namun kami lelah ibu. Saat kau bukan tersenyum bangga malah mencibir hasil kerja keras kami. Kami butuh istirahat. Kami butuh pelukan. Kami butuh satu, eh bukan, dua! Tak lain ucapan “Ibu Menyayangimu”.

Ibu, maafkan kami. Maafkan perasaan kami yang berubah menjadi batu. Maafkan kami yang tak kembali perduli. Kami ingin mengingat sebesar besar pengorbananmu, namun hati ini melarang. Maafkan anakmu yang durhaka ini, yang tak pantas disebut anak! Maafkan kami yang membuatmu selalu kecewa, tak pernah membanggakan.


Ibu, jadilah cinta yang menentramkan hati untuk kembali pulang. Bukan berlomba pergi dan menjauh. Hingga akhirnya buta arah dan menghilang. Kau tak ingin kami semakin tersesat jauh kan, Ibu?

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

fmaulidaa @Instagram

Subscribe