60000 Hours
02.20
60000
hours
Sungguh!
Sering kubujuk perasaanku sendiri, bahkan aku berusaha mengutuk diriku saat
kata iri merasuk dalam fikiranku. Ya, perasaan iri terhadap kehidupan orang
lain yang begitu sempurna. Begitu menggiurkan. Dan menarik hingga fantasiku tak
terkontrol untuk memohon masuk ke dalamnya.
Iri? Ya, karena hidupku sama sekali berbeda
dengan orang lain!
Aku tau Iri atau dengki adalah dosa yang
tak seharusnya kunikmati. Setiap mendengar gelak dan canda kebahagiaan, sebesit
rasa tak suka menguasai pikiranku. Aku berusaha menghilangkannya. Sungguh!
Hingga aku selalu menyingkir jika teman – temanku saat berkumpul berebut
bercerita.
Adakah yang salah? Aku tak tau. Mungkin ini
akibat hidupku yang jauh dari kata bahagia. Dulu hidupku bisa dikatakan
menyenangkan. Harta melimpah, teman banyak, dan ada kedua orang tua yang
melindungi saat aku kedinginan. Kasih sayang orang tua yang memanjakanku hingga
aku merasa hanya aku yang paling beruntung di dunia ini. Beruntung lahir dengan
wajah cantik, pintar, dan sederet keberuntungan lainnya yang tak perlu
kusebutkan.
Ya, semua itu dulu. Sampai pada akhirnya
alur hidupku berubah drastis. Usaha papa bangkrut dan otomatis gaya hedonisku
berangsur berkurang. Tak cukup disitu saja, teman – temanku perlahan menarik diri dari
lingkup pergaulanku. Aku bingung! Sangat bingung! Kenapa mereka harus
meninggalkanku saat aku butuh bantuan? Saat aku butuh uluran tangan untuk
ikhlas berdiri lagi? Apa mereka bukan temanku? Tapi aku masih ingat ucapan
mereka ditengah hujan. Ucapan yang selalu kupegang namun runtuh ketika mereka
amnesia dengan janji mereka sendiri.
Apapun
yang terjadi Nesh ... kita teman dan akan saling membantu sama lain ...
Kata – kata manis yang sangat menggiurkan.
Namun aku ingin lupa! Lupa bahwa sahabat atau teman atau apalah namanya, itu
tak penting. Aku baru sadar mereka hanya
menghisap nektar, seorang parasit yang tak tau malu. Sejak saat itu aku hidup
sendiri. Hidup tanpa percaya orang lain dan melangkah sendiri. Bayang – bayang rindu untuk bergabung dengan
mereka sering kutepis. Biarlah. Hidup sendiri tidaklah buruk.
Tidak masalah kan asumsiku seperti itu?
selain aku tak percaya dengan orang lain, aku ingin menutupi kenyataan lain.
Kenyataan yang sampai detik ini belum bisa kuterima secara logis. Sejak tiga
tahun lalu, setelah tujuh tahun usaha papa bangkrut, kembali aku harus menelan
pil pahit. Toko kecil yang dibuka kedua orang tuaku gulung tikar dan anehnya
keluargaku ikut –
ikutan juga. Baru aku tau mama nyaris tergoda pria lain dan papa tentu saja
naik pitam. Degradasi kepercayaan mulai semarak dalam keluargaku. Keluarga
harmonis yang kusadari tak lagi sama setelah hari itu.
Papa dan mama akhirnya pergi. Bukan untuk
berpisah namun menata kehidupan kembali. Sementara mereka mencari penghidupan
di rantau, di sini aku sendiri. Kembali sendiri untuk waktu yang tak bisa
kuperhitungkan. Sendiri untuk terus berdiri dan memandang bahwa semua baik – baik saja. Tak perduli hatiku merintih
setiap malam panjang diantara sujud ke hadiratNya.
Semua semakin sulit dan menghimpit ubun – ubunku. Tepat ketika telingaku kelu
mendengar ucapan jujur papa tak kuat lagi membiayai sekolahku. Hatiku hancur!
Belum cukupkah ini terjadi? Apa hak pendidikan terenggut dari tanganku juga?
Tak cukupkah harta, persahabatan, dan kasih sayang yang kusedekahkan? Terkadang
aku tak mengerti pola pikirNya. Apa aku terlalu istimewa hingga malang selalu
menghantuiku?
Nyaris aku putus asa terhadap hidup yang
kupijak saat ini. Bumi yang mengajarkan padaku bahwa hidup ini berotasi. Hidup
tidak selalu menderita, tentu. Dan akhirnya senyumku kembali merekah saat aku
mendengar ucapan Om, adik papa yang sukses materi.
Kamu
harus sekolah Nesha ... apapun yang terjadi, kamu harus sukses!
Dan masalah sekolah selesai. Tapi masalah
pelik lain tak berhenti membuatku ingin menembak kepalaku sendiri. Kusadari,
jalan kedepan tak selamanya mulus seperti jalan tol. Bebas tanpa hambatan. Tak
ada jaminan bahwa kehidupan itu mudah dijalani. Bagiku, hidup ini seperti maze yang belum bisa kutebak isinya.
***
“Nesha!”
suara seseorang mengusik pendengaranku. Sepertinya ada yang memanggil. Ah,
pasti hanya perasaanku saja. Seandainya ada yang memanggilku pun, otomatis aku
memilih menghindar.
“Haloo...”
tepuk seseorang membuatku merinding. Bulu kudukku meremang seolah melihat hantu
di siang bolong. Keningku berkenyit. Siapa gadis sok akrab di depanku ini?
“Aku
Tara.” Gadis itu mengangsurkan tangan dengan pedenya. Aku bergeming. Tak
sedikitpun aku berminat membalas uluran tangan yang terasa hangat. Cepat aku
menyingkir sebelum tergoda memiliki teman.
Hari
– hari berikutnya bagai mimpi buruk yang
terus menyiksa. Gadis itu, yang tak lain adalah Tara terus menempel bagai
lintah. Kemanapun aku pergi, dia selalu mengikutiku. Tak perduli aku cuek dan
acuh, dia tetap bertahan berada di sampingku. Berusaha mengajakku bicara. Tidak
taukah gadis ini aku malas berurusan dengannya? Tak cukupkah wajah jutek yang
kupasang setiap melihatnya?
“Nesha!”
tepuk gadis itu hangat. Sama sekali tak ada lelah dari nada suaranya. Panggilan
sama yang bertahan selama 3000 jam!
“Bisakah
kau menjauh dariku?” ucapku berbalik kesal. Tak tahan dengan nada suaranya yang
selalu ceria. “Mau kamu apa sih?” lanjutku.
“Temenan
sama kamu.” Jawab Tara pendek, jelas, dan tegas.
“Tapi
aku nggak mau temenan sama kamu!” sahutku kubuat seangkuh mungkin. Biar gadis
ini tobat menghadapiku.
“Ahhh
bohong! Aku tadi denger hati kamu bilang mau kok.” Tara menjulurkan lidahnya.
Kemudian menarikku sesuka hati tanpa permisi.
Aku
limbung. Kurasakan genggaman tangan menarikku erat. Aku menatap genggaman
tangan Tara lama. Kapan ya terakhir aku merasakan kehangatan seperti ini? Satu
tahun? Dua tahun? Sepuluh tahun? Aku tak ingat! Yang aku tau, aku nyaman sekali
digenggam. Rasanya ada yang menjagaku.
“Nih.”
Tara mengangsurkan es krim yang dia beli. Aku menerimanya dengan wajah datar.
“Jujur aku senang akhirnya kamu mau bicara
sama aku.” Ucap Tara dengan senyum merekah. Memaksa mataku untuk terpana
sesaat.
Aku
diam. Tak minat melayani ucapannya.
“Akhirnya aku memiliki kesempatan bersamamu.”
Tara mencubit pinggangku. “Juara kelas tiga tahun berturut – turut, juara OSN kimia, dan sekarang
siap melangkah ke olimpiade internasional.” Senyum lebarnya kini tinggal
segaris. “Tapi tau nggak, sebenarnya Nesha yang hebat itu bodoh lho.” imbuh
Tara tergelak lebar tanpa rasa bersalah.
Tatapanku
segera beralih ke tanah tempatku berpijak. Mendengar hujatan Tara, anehnya aku
tak marah. Aku biasa saja. Sebaliknya aku kasihan pada diriku sendiri.
“Selama
3000 jam ngikutin kamu Nesh, banyak pengalaman yang aku dapat. Aku fikir kamu
hebat, bintang dari segala bintang. Tapi aku salah. Kamu nggak lebih dari gadis
yang perlu di kasihani.”
Aku
memejamkan mata. Apa lagi yang akan kamu
katakan Tara? Gigiku mulai gemeretak.
“Kamu
nggak perlu menyiksa diri sendiri Nesh!”
Aku
bangkit. Semakin kesal dengan sikap sok tau Tara yang berniat membantuku. Segera
aku melangkah lagi sebelum dia cerewet lagi.
“Dasar
pengecut! Apa selamanya kamu menyiksa diri sendiri ha?” teriak Tara berhasil
meledakkan emosiku.
“Cewek
ceria kayak kamu, nggak pernah tau arti hidup! Sok kuat dan banyak omong!” desisku
tajam.
“Aku
tau kok ...”
“Kamu
nggak tau rasanya dikhianati sahabat! kamu nggak tau rasanya hidup sendiri tanpa
orang tua! Dan kamu nggak ngerti rasanya sekolah dibiayai orang lain! Semua itu
kamu nggak tau!” teriakku keras kemudian melanjutkan langkahku. Menjauh dari
Tara yang mematung terkutuk di tempatnya.
Aku
benci sekali orang yang sok tau padahal mereka tak mengerti apapun. Mereka
bebas bicara seolah mereka malaikat tanpa sayap. Sok membantu!
Orang
seperti Tara dan yang lain, tak pernah merasakan namanya hutang balas budi.
Balas budi karena kamu di sekolahkan orang lain. Mereka hanya menganggap
sekolah seperti bermain. Datang, duduk, dan diam. Datang ke sekolah cuma pamer
gadget terbaru dan pamer plat putih yang mentereng di sepeda motor. Mereka tidak
memahami arti sekolah lebih dari itu! Sekolah itu mahal bung! Seperti aku yang
harus membayar mahal dengan belajar setiap hari. Seharusnya aku menikmati
proses ini selama aku menjalaninya. Namun karena hutang budi tadi, langkahku
tak bebas. Nilai harus sempurna, prestasi harus nomer satu, dan apa yang
kuinginkan seperti tergadai. Apapun diatur. Terkotak!
Dan
tara, aku menghargai usaha kerasnya untuk mendekatiku. Aku bersimpati padanya.
Terlebih saat dia berani menghujatku dan sempat berhasil membuatku mengasihani
diri sendiri. Seandainya 3000 jam lagi dia berani mengekoriku, aku berjanji
akan memberinya kesempatan bicara lagi. Ya, butuh 6000 jam untuk meyakinkanku
bahwa dia tidak sedang mencoba bermain denganku.
***
6000
jam bukan waktu yang singkat, aku tau. Dan siang ini tepat 6000 jam yang
kujanjikan pada Tara untuk memberinya kesempatan bicara. Selama 3000 jam yang
lalu, Tara berusaha keras menemuiku. Mulai dari perpustakaan, mushola, sampai
kantin pun selalu ada Tara. Dia tidak putus asa mengajakku bicara. Semua orang
yang melihat usahanya merasa kasihan dan sering memojokkanku. Tapi sedikitpun
aku tak terpengaruh. Janjiku adalah 3000 jam dan aku akan menepatinya.
“Ada
surat untukmu Nesh.” Suara seseorang merebut perhatianku dari buku kimia. Aku
mendongak. Kudapati Kira mengangsurkan surat dengan wajah enggan. Aku
mengangguk lalu dia pergi.
Perlahan
aku membuka surat itu. Nama Tara tertera di pojok kanan surat.
Nesha, hari ini tepat 6000 jam sejak
aku menyapamu. Aku ingin menemuimu. Namun sayang waktu tak mengijinkanku
mengatakan ini semua sebelum aku pergi.
Aku ingin kamu tau, persahabatan
bukanlah sesuatu yang mengerikan. Aku tau kamu pasti lebih memilih buku
dibanding teman. Tapi aku tau Nesh, sudut lain dari diri kamu ingin berkumpul
dan bercanda bersama kan? Aku selalu menangkapnya ketika kamu melirik geng
kecil di sudut kantin.
Nesha, asal kamu tau, iri dengan
kebagiaan orang lain bukan sesuatu yang perlu disalahkan. Tapi daripada iri,
kenapa kamu tidak mencoba untuk bahagia? Menjalani semua dengan tertawa dan
bahagia. Tidak harus merasa terkekang dan menyalahkan takdir karena hidup kamu
yang nggak beruntung.
Nesh, hidup itu dirasakan, disiasati,
dan dijalani. Hidup hanya sekali. Maka jalanilah dengan tanpa beban. Bebas
berekspresi dan menikmati hidup.
Seandainya aku boleh menambah umurku,
aku ingin menjalani 60000 jam lagi bersamamu. Namun aku tau, bersamamu 6000 jam
saja lebih dari cukup.
Terima kasih Nesha, telah memberiku
3000 jam yang lalu untuk memahamimu.
Aku
terdiam. Apakah ini surat perpisahan? Apa ini surat tanda Tara menyerah? Tidak!
Dia tidak boleh menyerah! Bukankah aku sudah berjanji memberinya kesempatan seandainya
dia terus berusaha mengubah pandanganku tentang dunia?
Aku
pergi keluar dan mencari Tara di kelasnya, XI IPA 2. Nihil! Dia seolah
menghilang ditelan bumi. Tiada kabar. Tiada penjelasan kemana dia pergi.
Mendapati kenyataan baru bahwa orang yang perduli padaku menghilang, aku
limbung.
Satu
– satunya yang mampu ku kenang dari Tara
adalah kertas putih polos yang kini kupegang. Aku mengangkatnya. Membekapnya
dalam – dalam tepat di dadaku. Rasa sesal
perlahan mengusikku. Ternyata ego tak selamanya harus dipertahankan. Karena
dengan ego, aku semakin terpisah dengan ruang nyata yang harusnya kujalani.
Tara,
terima kasih ingin menjalani 60000 jam berikutnya denganku. Karena melihat ada
orang yang perduli padaku, aku bahagia. Aku tau rasa bahagia ini tidak
berlangsung lama. Tapi tenang saja, aku berjanji untuk mencoba percaya pada
orang lain. Tak perduli meskipun aku menghabiskan 60000 jam untuk melakukan itu
semua.
***
0 komentar