KARTIka azwariNI
21.00
“Hey anak tukang pijet, ngaain
sekolah? Udah sana pergi sekalian jadi tukang pijet. Tukang pijet apa? Tukang
pijet PLUS – PLUS. Hahahaha.”
Tawa mengejek itu begitu melekat di
ingatan Tika. Seperti dengung lebah yang menguasai pikirannya. Tika menggeleng
lagi. Dia tidak seperti itu, dan dia tidak pantas diperlakukan seperti itu. Dan
masalah sekolah, itu kan haknya? Kenapa dia harus takut pergi?
Memberanikan diri, akhirnya Tika
bersiap mandi dan segera berangkat sekolah. Sebelumnya dia berkaca pada cermin.
Pantulan wajah cantik dengan bibir merah dan senyum cekungnya begitu sempurna.
Ditambah kulit putih mulusnya yang menggoda siapa saja. Tika berdecak lagi,
kalau boleh memilh, dia ingin biasa saja.
“Lo belum berangkat sekolah ka?”
suara Tini membuyarkan fantasi Tika. Gadis yang wajahnya tak kalah cantik
dengan Tika, kakaknya, tengah berdiri tak jauh sembari membawa make up. Tubuh
kakaknya yang tinggi dan jenjang dengan wajah cantik lebih dari Tika, dirasa
tanpa make up sudah cukup.
“Habis ini berangkat.” Sahut Tika
pendek lalu kembali ke cermin. Risih melihat kakaknya mulai menyapukan kuas ke
pipinya sendiri.
Tika memandang cermin. Dia ingin
melihat potret dirinya sendiri. Tapi tetap saja Tika tak mampu menilai dirinya
sendiri. Katanya, orang lainlah yang bisa menilai kita. Tapi bulshit! Tika udah
nggak percaya lagi sama yang namanya orang lain. Orang lain yang nggak tau
dirinya tapi udah nginjek – innjek harga diri Tika. Haruskah Tika perduli? Tika
benar – benar tidak tahu.
“Lo baru sadar kalo lo itu cantik?”
ucap Tini tanpa mengalihkan kuas dari wajahnya.
“Apa gunanya sekolah si ka? Sekolah itu ...”
“Lo nggak usah mulai lagi deh!”
potong Tika kini benar – benar berbalik menghadap kakaknya.
“Anak kecil, gue kasih tau ya.” Tini
menghentikan dandannya. “Hidup itu perlu duit, dan nyari duit itu nggak
gampang. Perlu kerja keras. Apalagi sekolah yang ngabisin duit itu, padahal
nggak pinter – pinter! Enak juga gini, tinggal dandan, tiga jam keluar udah
sejuta. Lagipula banyak klien gue yang nanyain lo, klo lo mau ...”
“Bulshit lo!” umpat Tika tanpa rasa
berdosa apalagi hormat. Tini yang sudah biasa diperlakukan seperti itu hanya
mengedikkan bahu.
“Inget ya ni, selamanya gue nggak
bakal kayak lo, karena gue masih waras! Dan jangan sampek duit haram lo dibuat
makan dan sekolah gue! Kiriman dari mama uda cukup ...”
“Emang duit dari mama halal?” Tini
tersenyum sinis. “Perbulan sepuluh juta, uang dari mana? Realistis dong.
Harusnya lo mikir pake otak lo. Katanya sekolah?” Tini tertawa lebar dengan
tangan yang siap memakai maskara.
Amarah Tika mau meledak namun
percuma. Berantem dengan Tini nggak ada gunanya. Lebih baik dia cepat berangkat
sekolah. Kalo enggak, bisa - bisa yang
namanya make up udah terbang kemana – mana.
***
“Eh
anak tukang pijet, ngapain kesini?”
“Udah
berani tuh anak masuk sekolah lagi.”
“Gue
pikir dia kemarin nggak masuk gara – gara ngelayanin pembeli juga.”
Bisik
– bisik terdengar jelas begitu Tika berjalan di sepanjang koridor sekolah.
Semua memandang ke arahnya. Gadis – gadis menatapnya sinis sembari tertawa
terbahak – terbahak. Sedangkan para cowok menatapnya ingin tahu. Tika mengambil
nafas, membuangnya perlahan. Seolah tak mendengar, dia melanjutkan langkahnya
menuju kelas.
Baru
saja dia mencapai pintu, tatapan tajam menyapanya. Pemilik mata itu kini ganti
tersenyum mengejek. Di belakangnya mengekor beberapa gadis yang siap
mengejeknya pula.
Tika
menelan ludah. Dia bertekad kali ini tidak akan tumbang lagi. Kali ini dia
tidak akan memilih lari. Tia akan menghadapinya, meskipun berakhir menyakitkan
sekalipun.
“Lo
berani nginjek kelas ini lagi?” sambut gadis itu, yang tak lain adalah Ayu.
Dulunya
Ayu adalah sahabat solidnya. Kemanapun mereka pergi selalu berdua. Ke kantin,
hang out, kemanapun itu tujuan mereka sama. Mereka juga selalu curhat masalah
pribadi, kecuali Tika yang merahasiakan tentang aib keluarganya. Dia terlalu
malu mengakui. Karena dia takut Ayu bakal menjauhinya.
Tapi
sama saja, sekarang Ayu tidak hanya menjauhinya. Tapi juga memusuhi dan
berambisi membuatnya menderita. Yang namanya sahabat ternyata sama saja. Nggak
ada bedanya sama mama dan kak Tini.
“Ini
kelas gue” Tika seperti menemukan suaranya. “Dan gue ...”
“Lo
itu nggak pantes sekolah.” Potong Ayu sembari mendekat. “Lo itu pantesnya di
panti pijet. Ngelayani pembeli dan ...”
Plak,
tamparan keras telak mendarat di pipi Ayu. Gadis itu terlalu syok. Kaget
melihat Tika berani menamparnya, apalagi di depan kelas dan di depan
pengikutnya.
“Lo
nantang gue ha?” desis Ayu marah. Tangannya bersiap menampar Tika.
“Gue
sekolah juga bayar dan lo juga gak berhak ngejek gue ...”
“Bayar
dari uang plus – plus?” Ayu seperti tak puas menjatuhkan harga diri Tika. “Lo
itu bukan siapa – siapa disini dan lo nggak seharusnya berani nampar gue..”
Plak,
kini ganti pipi Tika yang memerah. Panas segera menjalar ke seluruh pipi
kanannya. Diperlakukan seperti ini, hati Tika hancur. Tika tau apa akibatnya
dia masuk sekolah. Dia pasti diejek seperti ini. Tapi jika dia lari lagi, semua
orang pasti mencapnya tukang pijet plus – plus.
“Emang
keluarga gue kerja plus – plus.” Suara Tika yang semula emosi, terdengar lirih.
“Nyokap dan kakak gue malang melintang kerja di panti pijet. Tapi asal lo tau,
gue nggak pernah kerja hina kayak gitu.” Kristal bening Tika jatuh. “Gue berhak
sekolah yu, gue berhak nerima pendidikan. Dan lo juga nggak bisa ngejudge orang
seenaknya karena dia anak mucikari. Lo harusnya jaga mulut lo sebelum ngomong.”
Tika mengelap air matanya. “Karena lo nggak tau gue. Karena lo terlalu sok tau
tentang hidup gue.”
Ayu
terdiam, dia memandang Tika tanpa niat menyelanya bicara.
“Tiga
tahun kita jadi temen yu.” Nafas Tika naik – turun. “Gue nggak pernah cerita
sama lo karena gue takut lo ngejauhin gue. Tapi sekarang gue tau. Cerita atopun
enggak, semua pasti berakhir kayak gini. Semua ...”
Plak,
tamparan kedua Ayu membuat Tika terdiam. Dia tak menduga Ayu menamparnya lagi.
Dia tidak siap menerima perlakuan ini, apalagi dari Ayu. Ayu mengejeknya saja
sudah cukup membuatnya sakit hati.
“Nama
lo KarTika Azwarini kan.” Ayu mendesah pelan. “Karena nyokap lo berharap, suatu
saat nanti ada anaknya yang berani nentang pekerjaan beliau, nentang jalan yang
mama lo ambil. Jadi inget karTini deh, pahlawan emansipasi wanita itu.”
Tika
memandang Ayu tak mengerti. Mood anak ini cepat sekali berubah. Dan semakin
aneh kalo sikapnya seperti ini.
Ayu
mengambil nafas, bersiap bicara. “Selama ini gue selalu marah karena lo nggak
cerita masalah ini. Selama tiga tahun lo nyimpen ini sendirian. Lo nganggep gue
sahabat nggak sih?” teriak Ayu keras. Tika terdiam di tempatnya. “Gue tahu
semua ini nggak bener. Gue ngelakuin ini cuma ngetes lo aja, seberapa kuatnya
lo. Gue juga pengen tahu apa lo bener – bener kerja plus – plus. Gue mau
penjelasan dari lo. Tapi sebelum gue tanya, lo udah nggak masuk beberapa hari.
Asal lo tau ka, tiap malem gue nggak tenang mikirin lo. Karena gue kangen punya
sahabat kayak lo.”
Tika
tak sanggup bicara, hanya air matanya yang jatuh. Dia tak menyangka Ayu
bertindak sejauh ini padanya.
“Lo
harus berjuang, oke? Lo harus buktikan ke mereka kalo lo bener – bener suci dan
nggak bersalah. Dan lo harus bisa ngeyakinin mereka, seorang anak mucikari juga
perlu sekolah. Biar nasibnya nggak kayak orang tua lo.”
Tika
mengangguk mengerti. Dan entah mengapa, ucapah hangat Ayu membawa Tika kembali
pada dunianya. Bahwa habis gelap, terbitlah terang. Ya, tidak selamanya
hidupnya menyakitkan karena di cap anak mucikari. Sebaliknya dia harus berusaha
mengubah image itu. Dengan menyadarkan kakak dan mamanya.
Yah,
untuk terbit terang, pasti bakal banyak usaha. Hehehe.
*Happy Kartini day. Selamat berjuang kartini - kartini muda Indonesia. Ayo bangun Indonesia bersama dengan semangat emansipasi wanita. Hehehehe. #maaf ini cerpen gaje banget :D
0 komentar