[CERPEN] Always You, IPB

18.29


Aku menarik nafas lebih lama. Aroma tanah sangat menyengat. Saat – saat seperti ini sangat kugemari. Ya, aroma petrichor yang tersimpan dalam tanah menyesak keluar, menekan paru – paruku selaras dengan aura dingin hujan yang jatuh. Aku suka hujan. Salah satu alasan yang mungkin kugunakan hingga aku sampai di tempat ini, Bogor.
Bogor, sebuah kota yang dikenal dengan sebutan kota hujan. Juga, kota imipian yang sejak dulu ingin aku kunjungi. Aku ingin tinggal di kota ini untuk waktu yang lama. Anggap waktu yang cukup kurang lebih empat tahun. Waktu yag cukup untuk menikmati hujan, mencium aroma petrichor, lalu bermain hujan – hujanan sesekali.
Bogor adalah kota impian, namun tanpa menumpang tempat yang tepat bagaimana aku mampu menikmati itu semua?
Menumpang? Maaf, tempat ini lebih dari itu. Setidaknya aku bermimpi menjadi bagian tempat ini sejak lima tahun. Mimpi yang nyaris hilang karena sikap pesimistis. Kau tau apa nama tempat ini?
Sebuah tempat yang penuh dengan hilir mudik mahasiswa, pencetak generasi unggul pertanian Indonesia, juga kampus rakyat yang kadang menjadi pilihan kesekian para mahasiswanya.
Mungkin mereka kesekian, tidak untukku. Tempat ini selalu menjadi pilihan pertama, seolah aku tak memiliki pilihan lain selain tempat ini.
Ya, tempat ini, Institut Pertanian Bogor.
***
Lima tahun lalu
Pandanganku menembus jendela. Hujan bulan Januari jatuh dengan cantiknya. Aku ingin menembus rintik derasnya. Bermain hujan – hujanan dan meneteskan air mata. Bersama hujan air mataku pasti tidak kelihatan. Aku ingin amnesia. Melupakan sejenak permasalahan yang terjadi. Melupakan semua beban yang sedang menghimpit.  Dadaku sesak siap untuk meledak.
Masalah yang seharusnya tidak dihadapi anak kelas sembilan SMP.
“Setelah ini kau ingin masuk SMA mana Far?” senggol seseorang menyadarkanku. Aku menoleh. Monica tengah tersenyum lebar.
“Pasti SMA Genteng dong.” Aku tersenyum lebar. Sejujurnya hatiku tak yakin meski aku mencoba optimis.
SMA Genteng, mengingatnya aku sempat kecewa. SMA Genteng terkenal dengan siswa hebatnya. Sering menang dalam semua kompetisi, entah OSN, FL2SN, O2SN, atau pun lomba lokal tingkat SMA. Semua siswa SMP  di Banyuwangi mimpi masuk SMA 1 Genteng, khususnya di Banyuwangi selatan. Aku tak jauh berbeda dari mereka, setidaknya aku punya tiket masuk SMA Genteng dengan telak. Peringkat try outku masuk dua puluh besar dan raportku juga tinggi. Tak ada alasan aku tak masuk SMA faforit itu. Alasan lain selain SMA 1 Genteng gudangnya siswa berprestasi adalah aku punya tujuan jangka panjang. Tujuan yang dianggap anak SMP kebanyakan adalah pemikiran yang muluk – muluk.
Aku ingin masuk IPB. Dan aku yakin SMA 1 Genteng mampu membawaku ke sana.
Namun permasalahan akhir – akhir ini membuatku cemas. Keinginanku ditarik ulur, bahkan ditebas habis untuk berhenti berharap. Ini karena kelargaku. Semua keluargaku berada di Bali, sementara aku kost sendirian di Banyuwangi. Setiap akhir pekan aku pulang ke rumah nenek. Selanjutnya aku menjalani rutinitas menjadi anak kost’an dengan kasih sayang minim dari orang tua.
Sudah setahun keluargaku merantau di Bali. Mencari nafkah untuk membiayai sekolahku. Keluarga yang dulunya bisa dibilang kaya kini berputar 180 derajat. Awalnya serba berkecukupan kini kekurangan, bahkan biaya sekolahku sering disumbang dari guru – guruku. Mungkin faktor sebagai siswa yang berprestasi di akademis dan non akademis. Aku masuk tim inti basket SMP 1 Cluring dan masalah akademis aku sering lomba keluar kota mewakili sekolah. Setidaknya masalah biaya orang tuaku bisa bernafas lega.
Entah kali ini masalah biaya atau lainnya, aku tak boleh masuk SMA 1 Genteng. Semua orang menyuruhku masuk SMA 1 Glagah. Sebuah tempat yang tak aku tau kehidupan di dalamnya. Sebuah tempat yang intinya masih kalah dengan SMA 1 Genteng. Lagi, sebuah tempat yang kuragukan mampu mewujudkan mimpiku, masuk IPB. Awalnya orang tua mendukungku, berkata apapun kata orang biarlah mereka bicara, paling penting toh aku akan sekolah SMA 1 Genteng. Namun ucapan Bapak hari itu mampu menghancurkan hatiku. Aku sakit. Aku tak memiliki tenaga lagi untuk melanjutnya mimpiku.
Far, bapak tau keinginanmu, tapi bapak juga tidak bisa menolak permohonan nenek, menyuruhmu sekolah SMA 1 Glagah saja. Selama ini bapak merasa belum bisa membahagiakan nenek. Apa permintaan beliau yang sederhana ini tidak bisa bapak kabulkan ...
Menurut bapak sederhana, tidak untukku! Teriak hatiku menangis.
Jadi bapak mohon kamu ikut seleksi SMA 1 Glagah ya. Toh ada mama di sana, setidaknya kamu ada yang jagain. Nggak sendirian terus.
Sendiri? Sejak lama aku sudah sendiri dan aku tak masalah dengan kesendirian ini. Aku sudah sering sakit dan aku tak masalah dengan semua penyakit ini. Namun jangan dengan mimpiku. Jangan merampasnya untuk membuatku jatuh. Mungkin dengan jatuh, aku tak mampu berdiri dan membenci diri sendiri.
Membenci diri sendiri? Hal itu sudah kulakukan tepat saat aku menginjak gapura selamat datang SMA 1 Glagah. Dengan otak yang dianggap encer semua orang, aku menjalani serangkaian tes dengan mudah. Selancar jalan tol, meski dalam setiap prosesnya aku ingin lari. Aku ingin membuatnya gagal namun hati kecilku tak tega. Semua ini demi orang tuaku, masa bodoh dengan keinginan nenek atau orang lain. Aku tak perduli.
Di sinilah aku sekarang. SMA 1 Glagah. Neraka dimulai.
***
Tiga tahun lalu.
Aku menjalani hari tidak semestinya. Seperti rutinitas, aku datang, duduk, mengamati pelajaran, sekedar berbasa – basi dengan teman, lalu pulang ke kostan. Ya, aku kost lagi. Pada akhirnya rayuan ada mama yang tinggal tak jauh dari sekolah tak ada gunanya. Aku tak kerasan dan memilih tinggal sendiri.
Tempat baru, suasana baru. Seharusnya yang kulakukan di tempat ini belajar dengan baik, berteman dengan semua orang, menikmati hidup layaknya anak baru SMA. Sekali – kali tidak! Aku membenci tempat ini setiap malam. Sebanyak air mata yang jatuh saat menulis buku harian. Sebanyak rasa menyesal karena tidak masuk SMA impian. Bayangkan aku sudah pasti masuk SMA 1 Genteng tapi gagal karena permintaan konyol orang lain! Orang lain yang tidak tau hidupku namun ikut campur. Orang lain yang merasa semua pendapatnya benar. Aku benci orang lain. Sikap apatisku berkembang hingga aku menutup diri dari teman – teman sekelas. Merusak diri sendiri mungkin memang mudah.
Rasa rendah diri semakin nyata. Lagi, kehidupanku tak bebas karena sekolahku kali ini dibiayai om. Awalnya bantuan biasa, sekedar menambah uang jajan. Namun orang tua yang buat makan saja susah, membuat yang awalnya uang jajan itu berubah menjadi bulanan. Berikutnya uang spp perbulan juga dilunasi.
Secara nyata tidak pernah ada tuntutan akan nilai, apalagi kebebasan. Sesekali om bertanya tentang nilaiku, mengevaluasi bagaimana prestasiku di sekolah. Dengan niat sekolah yang rendah, bisa diduga nilaiku seperti apa. Yang awalnya SMP selalu masuk sepuluh besar, SMA berubah menjadi dua puluh besar. Jika dulu lomba selalu ke luar daerah, sekarang ikut lomba saja tak pernah.
Merusak diri sendiri sangat mudah bukan?
Hingga pada satu titik aku sadar, tak ada gunanya larut dalam masa lalu. Tak ada gunanya menyesali hal yang sudah terjadi. Tak ada gunanya menyimpan iri akan SMA 1 Genteng. Tak ada gunanya merusak diri sendiri telalu lama.
Apakah aku akan terus seperti ini? Apakah aku akan tetap diam sementara semua orang sudah melaju? Apakah tidak bisa sukses jika selain SMA1 Genteng? Pertanyaan yang membuatku berpikir dalam. Mengapa aku melakukan hal bodoh ini terlalu lama? Dua semester bukan waktu yang singkat. Cukup untuk membuatku bodoh. Cukup untuk tak dilihat siapapun.
Dan lagi, cukup untuk melupakan mimpi lama, masuk IPB.
Sejak itulah aku bertekad tidak akan kalah. Harus kubuktikan hidupku baik – baik saja. Aku harus berubah! Perlahan aku mulai membuka diri. Ikut tim basket SMA 1 Glagah, masuk klub kimia, juga masuk redaksi majalah SMA 1 Glagah.
Bergerak dan terus melakukan perubahan. Seperti kata Einstein “Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving”.
Aku sudah moving. Setidaknya kegiatan merusak diri sendiri sudah aku hentikan. Aku memang tak secemerlang SMP, namun di tempat baru aku berhasil menorehkan prestasi. Bila di kelas 10 peringkat selalu 20 besar, sekarang 10 besar. Juga, Juara 1 mading 3D se-Jatim pada event bulan bahasa, 20 besar pemenang blogger I Love Banyuwangi, dan harapan II OSN Kebumian. Selain itu dipercaya menjadi pemimpin redaksi majalah Sketsa SMA 1 Glagah.
Menjadi pemred majalah membuka mataku lebar. Ada hal tertentu yang mungkin tak bisa aku peroleh seandainya aku masuk SMA 1 Genteng. Mungkin tak ada cerita aku menjadi pemred majalah. Mungkin tak ada cerita tentang persahabatan dalam satu tim. Mungkin tak ada cerita pusingnya mencari sponsor. Mungkin tak ada cerita rasanya berbagi buka puasa bersama masyarakat di jalan dalam acara Sketsa On the Road. Mungkin tak ada cerita gugup ketika menunggu majalah terbit. Terpenting, mungkin tidak ada pembelajaran bagaimana bersyukur dan menerima keadaan yang terjadi dalam hidup. Sebaliknya, mungkin aku menjadi kutu buku yang egois.
Tiba – tiba,  aku sangat bersyukur masuk SMA 1 Glagah meskipun terlambat menyadarinya.
***
Satu tahun lalu.
Tak terasa dua tahun berlalu cepat, ini tahun ketiga di SMA. Sebentar lagi aku akan lulus. Sebentar lagi aku akan menginjak jenjang selanjutnya. Pasti perguruan tinggi?
Tentu, dan itu IPB.
Tidak! Itu yang keluar dari bibir ibuku.
Sejujurnya ibu tak sanggup menguliahkanmu, kecuali kamu dapat beasiswa. Dengan begitu ibu hanya perlu menambah uang bulanan.
Tidak! Kali ini aku tak boleh hancur. Tak boleh kecil hati karena masalah biaya. Pasti ada jalan. Aku tak mau berpikiran sempit seperti ketika masuk SMA.
Aku diam – diam melirik bapak. Beliau yang sedang melayani pembeli kopi tak sadar sedang kupandangi. Aku tau keluarga ini sudah kesulitan biaya, namun bapak tak pernah pesimis. Setidaknya beliau tidak menampakkan wajah itu di depanku. Tidak untuk membuatku menyerah.
Saat – saat berada di Bali seperti ini membuatku nyaman, sekaligus sedih. Nyaman karena aku bertemu orang tuaku. Rasanya empat tahun jarang bertemu dan seandainya bertemu pun hanya ketika libur semester, aku senang melihat mereka hari ini. Sekaligus sedih karena jika dihitung dengan jari, sudah empat tahun kami menjalani hari dengan kehidupan seperti ini. Tidur di kostan yang layaknya dihuni satu orang namun ditempati satu keluarga. Tidur layaknya ikan pindang yang berjejer. Terkadang ibu dan bapak mengalah tidur di lantai. Sedangkan  kasur untuk aku, Mas yus, dan Dani, itu pun jika aku sedang libur semester.
“Kamu ingin masuk dimana?” Tanya bapak menarikku kembali dari masa lalu.
“IPB pak.” sahutku mantap.
“Kenapa tidak yang dekat saja? Malang kan strategis.” Bapak menyesap rokoknya. Memandangku.
“Sudah empat tahun aku jarang bertemu bapak dan ibu. Di Malang atau pun Bogor juga sama, tak bisa bertemu bapak dan ibu. Kenapa tidak sekalian jauh saja?”
“Begitu ...” Bapak mengangguk. “Kamu sudah pikirkan strategi untuk kemungkinan terburuk?”
Bapak adalah seorang planning terbaik. Semua sudah direncanakan seandainya kemungkinan terburuk terjadi. Contohnya? Aku tak masuk PTN manapun. Dampaknya? Siap – siap saja jadi pegawai laundry.
Sumpah demi apapun, aku tak ada pikiran kesana.  
“Aku tak mau selain IPB pak, jadi rencana A daftar diploma IPB. Rencana B nyoba daftar AMG, sekaligus nunggu SNMPTN. Rencana C ikut SBMPTN.”
“Seandainya semua nggak lolos?”
Aku menelan ludah. “Jika itu terjadi ...” nafasku terdengar berat. “Aku akan cari kerja.”
Memang bibirku berkata demikian, namun otak remajaku tidak pernah berpikir sampai kesana. Apa yang mampu anak SMA kerjakan? Mungkin aku akan membantu ibu jualan nasi setiap pagi atau jualan kopi membantu bapak. Sisanya aku mungkin bisa kerja di hotel dimana kakakku kerja. Itu pun kemungkinannya kecil karena aku anak SMA, bukan SMK elektronika industri seperti kakakku.
Bapak tersenyum. “Berjuang ya, bapak juga berjuang di sini.”
Aku tersenyum. Selanjutnya aku kembali ke Banyuwangi membawa kotak taruhan. Selama beberapa bulan ke depan aku berjudi dengan keberuntungan. Berharap semua keberuntungan sedang menghampiriku.
Jika anak lain sibuk bimbingan belajar di lembaga, aku sedang sibuk belajar sendiri. Mengotak – atik rumus, memahami pelajaran hapalan, dan terus berlatih latihan soal. Prinsip dari bapak sangat sederhana. Prinsip itu lah yang aku terapkan sampai sekarang.
Orang pintar itu nggak bimbel juga tetep pintar.
Taruhan, itu hanya alasan saja karena orang tuaku tak punya biaya untuk daftar bimbel, hahaha.
Masa ujian nasional semakin dekat. Tentu aku berkutat dengan semua yang berbau ujian nasional dan informasi perguruan tinggi. Diantaranya tentang passing grade, data prestasi kakak kelas, hingga memperkirakan nilai sekolahku di mata IPB.
Yah, ini kan salah satu sekolah faforit di Banyuwangi. Aku yakin mampu menembus SNMPTN. Keyakinan itu bertambah dengan beberapa piagam yang aku miliki.
Yakin dan pede itu beda tipis.
Sesuai strategi, aku menunggu pengumuman diploma. Sumpah nunggu pengumuman diploma bener – bener menguras emosi. Surat dari diploma IPB belum sampai rumah, tambah alamat yang kupakai alamat rumah lama yang rumahnya saja dibeli orang. Aku khawatir kalau surat itu hilang ketika pengiriman. Alhamdulillah IPB mengirim pengumuman ke SMA. Beruntung surat itu tak menghilang di tengah jalan.
Supervisor Jaminan Mutu Pangan, satu langkah punya tiket.
Tapi taruhan ini belum selesai. Dengan biaya persemester diploma yang lumayan besar, bagaimana keluargaku sanggup membayar?
Oke, kata bapak minimal aku punya pegangan.
Hari yang ditunggu semua siswa se Indonesia datang. Pengumuman SNMPTN. Aku masih ingat apa yang terjadi pada malam hari sebelum pengumuman SNMPTN. Aku sakit perut dan bolak – balik kamar mandi karena neveous. Mengingatnya aku selalu ingin tertawa.
Sebelum pergi ke warnet, aku shalat dhuhur dulu. Meminta yang diberi yang terbaik. Apapun yang terjadi inilah jalan terbaik dan aku tak boleh menyesal. Berangkatlah aku ke warnet bersama bapak.
“Kalo lulus IPB besok kita jalan – jalan.” janji bapak membuatku tersenyum lebar.
“Beneran?” aku makin gugup sekaligus senang. Keluarga ini selalu bekerja dan besok akan jalan – jalan! Dan itu karena aku masuk SNMPTN!
Semoga.
“Iya, tanya aja sama ibumu.” ucap bapak sembari menurunkan aku di depan warnet.
“Yaudah aku mau lihat pengumuman dulu. Bapak pulang aja. Entar kalo udah aku sms buat jemput.”
Bapak mengangguk dan aku segera berbalik masuk warnet. Tak benar – benar memperhatikan bapak pulang atau tidak.
Aku menghadapi layar komputer. Jantungku berdetak cepat. Otakku berdesing memikirkan ekspresi apa yang sebentar lagi kulakukan. Senyum lebar? Lonjak -  lonjak? Bersujud? Ah aku tak sanggup memikirkannya lebih jauh. Pede masuk IPB.
Baiklah, mari kita masukkan NISN dan tanggal lahir. Enter.
LOADING...
Aku memejamkan mata.
Hasilnya keluar...
Jantungku berhenti berdetak. Kepalaku tiba – tiba pusing. Aku menelan ludah. Pahit.
Merah! Artinya? Ditolak!!!
Aku tersenyum getir. Ditolak SNMPTN? Aku membaca tulisan berulang kali. Tak ada yang salah. Benar itu namaku dan tanggal lahirku. Apa yang salah? Siapa yang perlu kusalahkan atas semua ini?
Aku menenangkan diri sendiri. Inilah jalan yang terbaik. Porsi yang diberikan padaku mungkin diploma IPB, bukan S1. Apa karena aku sudah masuk diploma jadi IPB menolak? Lagi – lagi pikiran tidak bersyukur mulai mempengaruhiku. Meski begitu, aku memberi selamat semua teman – teman masuk SNMPTN lewat media sosial. Aku masih ketawa – ketiwi dengan riangnya, bahkan aku bercanda seru di chat kelas.
Tapi tidak dengan hatiku. Anehnya, meski aku tertawa, hatiku semakin sesak.
“Bagaimana Far?” Tanya seseorang memaksaku mengangkat kepala.
Bapak berdiri di depanku.
Aku kaget, namun tawaku lebih dulu menyembur. “Hahaha nggak masuk.”
“Serius?” Bapak langsung ikut masuk bilik dan memastikan langsung.
Wajahku masih sama. Aku tidak menangis, sebaliknya tertawa cekikikan. Hanya saja hatiku sesak.
“Ya udah bapak pulang saja. Aku masih mau facebook’an dulu ya.”
“Udah ah ayok pulang aja, ngapain di sini?” wajah bapak terlihat tenang. Senyum pengertiannya mengembang.
“Nggak ah, masih pengen main dulu.” Aku terkekeh. Ngotot tak mau pulang. Padahal aku tau, semakin lama aku menatap facebook, pertahananku mungkin jebol.
“Ngapain di lama – lama, ayo makan aja.” Senyum bapak masih kekeuh memaksaku enyah dari warnet. Terpaksa, aku bangkit dan menurut.
Aku dan bapak keluar dari warnet. Bapak berjalan lebih dulu untuk mengambil sepeda. Melihat punggung bapak, entah mengapa dadaku berubah nyeri. Mataku mengabur. Sebelum aku mampu menahan diri, air mataku lebih dulu jatuh.
Aku kan sudah bersyukur masuk diploma, kenapa aku masih menangis?
Allah sudah memberi yang terbaik, mengapa aku masih egois meminta lebih?
Tiba – tiba suara jujur ibu kembali menyeruak.
Sejujurnya ibu tak sanggup menguliahkanmu, kecuali kamu dapat beasiswa.
Mengingatnya air mataku jatuh semakin deras. Apa yang harus kulakukan? Apa semua berakhir dengan tidak kuliah? Diploma baru semester tiga bisa mengajukan beasiswa. Sedangkan rencana semula aku harus mendapat bidik misi bila ingin lanjut kuliah.
“Kamu kenapa menangis?” Bapak memandangku lemah lembut. Siap mendengar ceritaku.
Aku tertawa. “Siapa yang nangis, aku lho cuma kelilipan.”
“Far ...”
“Aku nggak apa – apa pak ...” aku memandang bapak sedih. Aku ingin berteriak tentang apa yang kurasakan. Semua ketakutan dan beban yang menghimpit kurang lebih empat tahun. Namun aku mengerti, tanpa aku berteriak pun beban beliau lebih berat daripada aku. Lagipula, seandainya aku bercerita pun, apa akan menyelesaikan masalah? Tidak! Menambah pilu di hati bapak itu yang mungkin terjadi.
“... aku tak apa. Bapak jangan mengkhawatirkanku.” Tutupku sembari menunduk. Tidak ingin bicara lebih, suaraku enggan keluar.
***
Empat bulan lalu.
Sejak awal hidupku sama, penuh dengan taruhan. Setelah taruhan pada SNMPTN kalah, aku pesimis. Aku ragu mencoba. Aku model orang yang sangat perhitungan. Seandainya ada suatu tes yang kemungkinan besar aku gagal, aku tak mau mencoba. Buang – buang waktu. Pikiran realistis yang selalu aku terapkan pada semua aktivitasku. Kecuali satu hal, ikut tes SBMPTN. Tentunya kemungkinan masuk untukku nol persen.
Bayangkan saja, seorang aku yang tidak bimbingan belajar, bisa apa? Tes SBMPTN terkenal dengan soal – soal saktinya. Banyak pendaftar yang tumbang, ditambah kuota di perguruang tinggi sedikit sekali. Persiapanku nyaris tak ada. Pun, sejak awal aku memang tak berniat bimbingan karena aku taruhan pada SNMPTN.
SBMPTN? Memikirkannya saja aku sakit perut. Aku enggan ikut tes. Kalau saja bapak dan ibu tak memohonku mendaftar, tentu aku tak pernah berangkat.
Sebelum aku berangkat daftar ulang diploma, aku tes dulu di panlok Jember. Masih ingat perasaanku kala itu. Tes hari itu adalah taruhan terbesar, sekaligus taruhan paling pesimis yang pernah kulakukan.
Farah ... kemanapun itu, Diploma atau S1, aku nggak mau ada perasaan menyesal. Aku hanya ingin semangat, syukur dan sikap pantang menyerah. Aku mau kamu berusaha keras, sama seperti kamu rela jatuh ketika tanding basket. Sikap itu yang perlu kau lakukan, tidak menyerah sampai titik terendah sekalipun.
Diploma atau S1, apapun itu, adalah jalan Allah yang terbaik untuk hidupmu. Bersyukurlah, tersenyumlah.
Itu isi buku harianku hari itu. Tes SBMPTN adalah kesempatan terakhirku seandainya ingin masuk S1. Taruhan yang berat sebelah. Kalau pun aku ingin berhasil SBMPTN, harusnya aku punya jeda untuk belajar. Nyatanya bekalku sedikit, buku referensi minim. Mengerjakan soal saja aku seadanya. Intinya aku sudah mengerjakan sebisaku dan sesuai kemampuanku. Yah walaupun ada jawaban yang nembak, hahaha.
Taruhan selanjutnya dimulai. Aku berangkat ke Bogor untuk daftar ulang diploma. Masalah biaya awal keluargaku patungan dengan kerabat. Rencana jangka menengah yang harus kudapatkan adalah beasiswa, apapun caranya. Jadilah matrikulasi diploma aku berusaha keras. Target minimal B harus ada di tangan. Kata harus membuatku bekerja keras hingga berat tubuhku turun delapan kilogram selama matrikulasi. Hebat!
Selama matrikulasi diploma aku mulai menata tujuan. Start hidup dimulai di sini, pikirku. Berada di jurusan pangan yang selama ini tidak terlintas di otakku. Terlebih supervisor jaminan mutu pangan berkutat pada laboratorium. Aku benci laboratorium. Suasana sepi, diam, dan serius, itu bukan aku. Meski begitu aku berusaha menerima. Percaya bahwa ini jalan terbaik. Sukses tidak hanya S1, diploma juga tak kalah sukses kok.
Perlahan namun pasti, aku mulai mengubur mimpi masuk S1. Memikirkan sesuatu yang tak pernah bisa kita capai adalah sia – sia kan? Mengharap waktu kembali pun juga mustakhil.
Ucapan bapak ketika mengantarkan ku ke Bogor sering membuatku termenung.
Kamu hanya membohongi diri sendiri. Aku tau perasaanmu. Terlebih ketika kamu menangis dan berkata baik – baik saja berada di Diploma. Bapak pernah berada di tempatmu ketika muda, merasakan hal yang sama.
Membohongi diri sendiri atau apapun itu namanya, tak mengubah segala sesuatu yang kita inginkan menjadi kenyataan kan?
Aku sudah ikhlas melepas S1, tak pernah mengharap lagi. Sampai akhirnya hari itu datang, pengumuman SBMPTN.
Aku pulang kuliah selepas magrib. Hari itu banyak sekali pikiran. Praktium kimia dasar gagal, kuis untuk pertama kalinya mendapat seratus, tambah belum buka puasa. Orang tua sms penasaran dengan pengumuman. Sembari buka puasa pukul setengah tujuh, aku menghadap laptop.
Oke, masukkan NISN dan tanggal lahir. Enter.
LOADING...
Aku membuang muka. Toh hasilnya sama saja, aku takkan masuk. Orang tuaku saja yang berharap lebih. Aku tak mau berharap terlalu tinggi, sakit.
Piring yang ku pegang merosot. Dadaku berhenti berdetak. Aku seperti sesak nafas dan mengucek mata beberapa kali. Detik berikutnya tubuhku gemetar.
Selamat anda dinyatakan lulus seleksi SBMPTN 2014 ...
Masuk? Ini beneran????
Spontan aku sujud syukur. Aku lupa buka puasa. Aku lupa dengan suara histeris teman satu kost’an yang memberi selamat. Segera aku mengetikkan sms ke orang tua.
Aku masuk S1 IPB.
Singkat dan padat. Aku tak tau bagaimana cara berekspresi yang tepat, namun aku tau pasti, air mata bersyukur luruh. Keajaiban Allah selalu datang pada saat yang tepat. Aku percaya itu.
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami menambah (nikmat) kepadamu, namun jika (sebaliknya) kamu justru kufur (mengingkari nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
***
  Ibu masih ingat malam itu, tiba – tiba bapakmu lari sambil membuang plastik yang dia beli. Ibu sangat bingung ketika bapak memeluk ibu sangat erat, mencium pipi ibu berulang kali. Matanya berkaca – kaca.
“Farah masuk SBMPTN.”
Mendengar itu, tak hanya bapak, ibu langsung menangis bersyukur.
Alhamdulillah ada jalan nak yang sesuai dengan mimpimu, juga untuk perekonomian keluarga kita. Ibu tau kamu membohongi diri sendiri dengan berkata baik – baik saja. Ibu tau perasaanmu. Dan ibu sangat bersyukur, Allah mendengar semua doa yang setiap malam kami panjatkan.
Untuk kebahagiaanmu, hidupmu.
***
Rintik hujan berangsur reda. Aroma petrichor masih tersisa. Aku kembali duduk dan tersenyum kecil. Bogor memang menakjubkan.
Hujan membuat memori secara rileks memutar masa lalu. Entah kenangan sedih maupun bahagia. Kalau mau diam dan bersedih akan banyak hal itu gampang kok, tapi diam dan memikirkan hal – hal yang menyenangan juga sama gampangnya.
Kamu pilih yang mana?
Aku pilih keduanya.
Kenapa?
Karena perlu keduanya untuk bersyukur bahwa Allah selalu memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Hidup itu harus dirasakan, disiasati, dan dijalani.
***
Selesai

Story by Farah Maulida
AGH ’51 / FAPERTA  

You Might Also Like

3 komentar

  1. Kak, kk smpat diploma SJMP IPB kan, nah kk ngallanjut s1 nya lewat ekstention ya? Itu jurusan apa? Mohon jawabannya ya kak :(

    BalasHapus
  2. Kak, kk smpat diploma SJMP IPB kan, nah kk ngallanjut s1 nya lewat ekstention ya? Itu jurusan apa? Mohon jawabannya ya kak :(

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah menginspirasi sekali kakak, good job 👍

    BalasHapus

Like us on Facebook

Flickr Images

fmaulidaa @Instagram

Subscribe