Dibalik Daninda
02.53
Oke bro, ini salah satu cerpen yang berhasil lahir dari rasa penasaran tempo hari. Ya, setelah aku membaca syarat buat cerpen di annida online, aku tergerak buat mencoba. Ini adalah salah satu cerpen yang lagi proses ngirim di annida. Jadi, kalo mau ambil tolong sertakan nama ya, hehehe. Dan juga, biar tambah afdol di komen. Biar tau salah di mana dan gima baiknya buat kedepan, Makasih :)
Dibalik Daninda
“Maaf, kami tidak bisa menerbitkan karya
anda karena ....”
Mataku
memanas. Sial!
Ini penolakan
yang tidak cukup sekali kuterima. Berkali – kali! Apakah benar tulisanku
sepayah itu hingga tidak ada penerbit yang menerbitkan karyaku? Aku tak tau!
Hanya saja aku benci melihat permintaan maaf yang masuk email. Permintaan maaf
yang kulihat sebanyak ...
399 kali?!
Nafasku
mengepul lemas. Perlahan mataku menangkap tulisan kecil yang berada di sisi
kanan atas dekstop. Tulisan yang selalu memompa semangatku.
Daninda, aku takkan kalah tenar darimu!
***
Dia Tara. Lengkapnya
Tara Apriliana. Gadis tujuh belas tahun yang tengah duduk di depanku. Dia salah
satu sahabatku, selain Syakira May – Kira -. Tubuhnya ideal dan tingginya antara
158 cm hingga 163 cm. Wajahnya selalu ceria. Hingga lesung pipi selalu ku lihat
setiap kali bertemu dengannya. Diantara kami bertiga, memang Tara yang kuat.
Dia tidak pernah murung meskipun disodok masalah kanan – kiri. Ketegarannya
menginspirasi aku dan Kira untuk selalu tersenyum.
Namun hari ini,
sepertinya gelar tak pernah muram pecah juga.
“Kamu kenapa Ra? Wajah
kok suntuk banget?” Tanya Kira lebih dulu. Memang Kira selalu lebih cepat
bertindak dibanding aku.
“Nggak ada apa – apa.”
Sahut Tara lirih.
“Nggak ada apa – apa
kok diam aja gitu sih?” desakku berharap Tara cerita.
“Beneran ...”
“Masalah di tolak
penerbit lagi?” Tebak Kira cepat.
Aku menyodok lengan
Kira. Sahabatku yang satu ini kadang kalo bicara nggak di fikir. Asal nyeplos.
Sikapnya yang datar dan terkesan acuh membuatku sulit mencerna kenapa dia bisa
bersahabat dengan aku dan Tara. Meski begitu, apapun yang keluar dari bibir
Kira tak pernah salah.
Aku melirik Tara takut.
Gadis itu seperti membeku. Matanya terpejam menahan nafas. Aku gugup menerka
apa yang selanjutnya terjadi.
Tara memang suka
menulis. Alirannya fiksi remaja. Dia sanggup membuat puisi, cerpen, bahkan
novel. Tulisannya tidak terlalu jelek, menurutku. Hanya saja terkadang banyak
yang vulgar. Seperti adegan pegangan tangan, tatapan mesra, dan berakhir
ciuman. Uh! Kan di agama dilarang berbuat maksiat. Aku tau itu sekedar tulisan.
Just story! Tapi apa tidak bisa
adegan mesum begitu di ganti dengan belajar bersama? Atau ... Ah, pasti
membosankan juga. Kan anak – anak suka yang romantis. Semacam drama korea?
Tulisan Tara tak ada
bedanya dengan realita yang dilapangan. Bedanya di tambahi bumbu romantis yang
sering kutemukan di karya fiksi remaja lain. Ceritanya klise. Gampang sekali ditebak.
Aku bisa menilai begitu karena aku pembaca pertama. Pernah aku memberi usul
untuk mengangkat ide lain, tapi katanya ‘Novel
sekarang itu kalo nggak ada unsur cintanya, nggak laku! Nggak diterbitkan’.
Aku diam saja setelah di potong seperti itu. Tapi anehnya, meski dia mengangkat
tema cinta, kok penerbit belum menerbitkan karyanya ya?
“Iya.” Tara memandang
lemas.
Aku dan Kira saling
menatap. Tara yang selama ini over pede dengan tulisannya bisa semuram ini?
Saking pedenya, masukan isi dari aku dan kira tidak pernah dipakai. Sekalipun karyanya
di tolak, dia akan selalu berkata ‘Penerbitnya
pasti rugi nolak karyaku. Seandainya mereka mau nerbitin aku, bakal booming
ngalahin laskar pelangi deh!” ujarnya yakin. Dan detik ini, jangankan yakin, pede aja nggak ada.
“Ya udah coba lagi.”
Kira bereaksi lebih dulu.
“Sama aja, nggak ada
yang mau nerima.”
“Katanya mau ngalahin
Daninda? Kok udah keok kayak chicken?”
pancing Kira sambil melirikku. Aku pura – pura tak melihat.
Tara tak menyahut.
Bahunya terangkat lesu.
“Jadi miss confidence udah berubah jadi miss unconfidence?” ledek Kira lagi. Blak
– blakan! “Udah aku bilang kan, isinya di ganti. Cinta melulu sih.”
“Tau deh! Sekarang aku
mau berhenti jadi penulis. Penulis bener – bener pekerjaan yang nggak penting!”
cecar Tara kesal. Lebih tepatnya dia kesal di ledek Kira.
“Jadi putus asa nih?”
sudut Kira lagi. Dia terkekeh.
Aku berdeham. “Allah
benci sama hambanya yang putus asa lho. Di surat Al- Isra ayat 83 Orang yang
berputus asa dari rahmatnya bahkan tergolong orang kafir ...” ”
“Diem deh Nesh! Aku
nggak perlu ceramahan kamu!” Bentak Tara keras.
Ucapanku seketika
berhenti. Aku tersentak di tempatku.
“Udah dong Ra, kamu
jangan emosi terus bentak – bentak Nesha.” Sela Kira berusaha menenangkan.
“Nesha berusaha buat kamu semangat lagi.”
Emosi Tara meledak. “Kamu
enak ngomong doang! Asal nyablak nyudutin aku. Kamu nggak pernah ngerasain buat
novel kan ngetik siang malem sampai jari kaku! Kamu juga nggak pernah dapet
email sama yang isinya penolakan! Kamu bisanya sok tau!” sembur Tara menatap
aku dan Kira marah.
Aku tergagap. “Ma ...
maaf ...”
“Kamu aja yang bodoh!”
serobot Kira tajam. Suaranya mengeras. “Aku dan Nesha sering kasih masukan, kekurangan
karya kamu ini. Tapi kamu nggak pernah denger ...”
“Masukan kalian itu
nggak jelas! Kamu bahkan nggak ngerti apa itu fiksi! Kerjamu cuma di lapangan
basket, sedangkah Nesha di Takmir. Kalian tau apa ha?!”
“Nggak ngerti?” mata
kira melebar. Emosi Kira terpancing juga. “Aku bahkan lebih ngerti dari kamu!
Bahkan siapa pemilik nama Daninda! Penulis yang sering kamu puja itu...”
Aku menarik baju Kira. “UDAH
BERHENTI!!!” Teriakku keras tak perduli seantero kantin melototi kami. Aku
harus menghentikan Kira sebelum rahasia terdalamku terbongkar.
“... PENULIS ITU NESHA!”
Lanjut Kira membuat lututku lemas. Rasanya energi dalam tubuhku menghilang
entah kemana. Sedangkan Kira terus meracau seperti orang kesurupan. “Kamu mau
tau pendapatku tentang tulisan kamu? Tulisan kamu itu picisan! Nggak jelas
tujuannya apa! Nggak mendidik! Seandainya kamu berusaha sekeras apapun ngalahin
Daninda, aku jamin nggak akan bisa! Karena sebagai penulis kamu nggak pernah
denger pendapat pembaca kamu!”
“Oh, Oke! Jadi selama
ini itu pendapat kamu tentang karya aku? Terima kasih!” Tara menatap Kira sengit,
kemudian pandangannya beralih padaku. “Dan buat kamu Nesh, makasih udah bohong
sama aku kalo kamu itu Daninda!”
Tara bangkit lalu
melangkah pergi. Masih terdengar gaung langkahnya yang menjauh. Ditemani
gerakan bibirnya yang sempat kulihat ‘Aku
benci kalian! Pembohong!’
Tanpa sadar mataku
mengabur.
***
Daninda adalah nama
samaran Ganesha Mareta, sahabatku selain Tara. Nesha adalah penulis berbakat.
Penulis yang bersembunyi di balik hijab, tanpa berminat membuka identitas.
Bahkan kepada Tara yang tergila – gila dengan karyanya.
Pembawaan Nesha kalem,
cenderung seperti gadis lemah tak berdaya. Semua orang pasti tak menyangka
Nesha adalah Daninda, yang mana karyanya telah tersebar di berbagai media.
Awalnya aku juga tidak tau. Namun hari itu aku tak sengaja mengotak – atik
laptop Nesha. Sampai akhirnya aku menemukan file tersembunyi yang berisi semua
karya Nesha.
Aku terkejut! Nesha
juga tak kalah kaget identitasnya terbongkar. Nesha menangis, memohon padaku
untuk pura – pura lupa bahwa dia Daninda. Bahkan di depan Tara!
Bicara Tara, aku
kasihan dengan sahabatku itu. Dia juga gemar menulis. Semangatnya selalu
menggebu, bahkan di tolak penerbit sekalipun. Aku heran, mengapa dia terus
menulis sedangkan dia bodoh? Bodoh dalam arti, dia tidak mengerti tujuan hidupnya
dalam menulis. Bodoh karena dia tidak membaca alasan mengapa dia ditolak
penerbit. Bodoh karena dia tuli tidak memakai saran Nesha. Daninda yang dia
kagumi!
Mungkin saja, karena
dia gila dengan ambisinya mengalahkan Daninda.
“Kira!” senggol Nesha menyadarkan
lamunanku. Aku menoleh.
“Kamu denger nggak sih
aku ngomong apa?” Nesha menatapku kesal. Wajahnya keruh.
Melihat wajah Nesha
yang keruh, aku sedikit muak. Sudah tiga hari Nesha memasang wajah yang sama.
Tepatnya semenjak aku bertengkar dengan Tara. Tapi masa bodoh! Toh Tara juga
tidak menyapa dulu.
“Tuh kan, kamu nggak
denger.” Desah Nesha pasrah tak mendapat jawaban dari bibirku.
“Diulang lagi deh?” aku
pura – pura antusias.
Nesha menarik nafas
panjang. “Ayo kita minta maaf sama Tara?”
“Minta maaf?” aku
berjengat. Tawaku anehnya ingin meledak. “Sudah biarkan saja. Biar Tara bisa
berfikir dewasa. Merenungkan kesalahannya. Tidak pantas dia marah untuk
melampiaskan kekecewaannya. Memangnya dia menganggap kita apa? Batu?” tiba –
tiba aku merasa kesal. “Apalagi kalo ingat sikapnya sama kamu Nesh. Niat kamu
baik biar dia nggak putus asa, terus semangat kayak biasanya. Malah bentak
seenak jidat.”
“Namanya juga orang
emosi, banyak pikiran Ra.”
Aku mendengus.
“Harusnya dia terima kasih selama ini kamu mau jadi pembaca setia. Padahal
tulisannya nggak layak baca gitu.”
“Istigfar Kira, nggak
boleh ngomong gitu.” Hardik Nesha namun kubalas muka masa bodoh.
“Menulis adalah proses
Kira. Sama seperti kamu berkembang sebagai kapten basket dan aku dengan jilbab
ini.” Nesha menyentuh ujung hijabnya. “Dalam proses itu, sering kita salah
langkah, menderita, dan akhirnya jatuh. Tergantung tekad masing – masing untuk
terus memilih berusaha atau menyerah.” Nesha menghela nafas. “Setelah berfikir
lama. Memikirkan apa definisi yang tepat untuk persahabatan kita, aku menyesal
Kira. Bukan menyesal karena kita bertemu, tapi menyesal karena aku tak mampu
menolong kalian, apalagi Tara.” Mata Nesha berkaca – kaca.
“Udah jangan bahas Tara
lagi dong.” aku menepuk bahu Nesha lembut. Berharap dia tidak menangis.
“Aku seorang penulis,
tapi karena ego aku bersembunyi dan tidak membagi ilmuku. Terlebih pada Tara,
sahabatku sendiri. Sahabat yang sangat mengagumi Daninda lebih dari orang
lain.” Kristal bening Nesha akhirnya jatuh..
Tangis Nesha makin
deras. “Aku malu Kira. Aku malu sekali pada-Nya. Dia selalu membantu setiap
makhluknya yang membutuhkan. Nah aku? Membagi hal sederhana pada sahabat
sendiri saja aku tak bisa. Padahal aku mampu.” Nesha menutupi mukanya. “Aku
merasa bersalah Kira ... aku juga malu ... apalagi membuat kalian bertengkar.”
Aku membatu. Air mata
Nesha lebih dari cukup menjadikanku patung terkutuk. Hatiku terenyuh dengan
rasa bersalah Nesha. Ingatanku melayang pada sebuah hadist yang melarang
seorang muslim tidak menegur saudaranya lebih dari tiga hari.
By
the way, ini hari ketiga ya?
“Apa kamu sudah minta
maaf?” tanyaku tersadar. Suaraku tertahan.
Nesha mengangguk. “Tapi
lewat surat. Itupun aku titipkan Fiska karena Tara tidak mau menemuiku.”
Aku mengangguk kecil.
“Setidaknya surat itu dia baca.”
***
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Tara,
maafkan semua kesalahanku ya. Maaf untuk menceramahimu, maaf karena membuatmu
bertengkar dengan Kira, dan maaf untuk semua kebohonganku. Seharusnya dari awal
aku sadar, aku tak pantas bersahabat denganmu. Maafkan aku Tara ...
Jika
kamu tak mau menemuiku, aku memaklumi. Aku mengerti untuk pembohong sepertiku,
sebaiknya tak ada maaf. Namun aku ingin mengatakan alasan kenapa aku berbohong
Tara. Aku berharap kau mengerti dan masih mau bersahabat denganku.
Alasan
aku menjadi Daninda karena aku tidak mau semua orang orang tau identitasku. Aku
ingin tetap menjadi Nesha, gadis kuper yang beruntung memiliki Kira dan Tara.
Karena aku ingin berteman dengan orang yang tulus menerimaku apa adanya, bukan
karena ketenaran.
Selain
itu, aku ingin orang lain tau, hanya ada Daninda, nama tanpa penulis. Agar
orang lain tidak terlalu berpikir pada identitas, namun fokus pada setiap
cerita yang Daninda berikan. Cita – citaku adalah merubah orang lain lewat tulisan
Tara. Aku ingin menginspirasi orang lain untuk terus berusaha dan pantang
menyerah. Aku ingin orang lain mengerti, hidup itu penting agar mereka tidak
menyia – nyiakan kesempatan yang datang. Aku ingin beramal lewat tulisanku
Tara. Dan aku hanya ingin Allah saja yang tau. Aku takut dipuji Tara, aku takut
terkenal. Karena itu bisa membuatku sombong dan lupa pada-Nya.
Kuharap
kamu bisa mengerti, setidaknya memaafkan sahabatmu yang lancang ini.
Tes ... air mataku
jatuh. Subhanallah, suci sekali niat Nesha. Setelah selesai membaca surat
mukaku ditampar keras. Memintaku berkaca sebelum melakukan hal bodoh seperti
tempo hari.
Tidak seharusnya siang
itu aku membentak Nesha, padahal gadis itu hanya mau membuatku semangat lagi.
Selain itu, berkaca pada Nesha, aku sungguh malu. Selama ini aku ingin menjadi
penulis agar namaku dikenal. Agar semua orang terpesona dan memuji karyaku.
Tidak ada niat selain ingin membanggakan diri sendiri. Namun Nesha berbeda. Dia
malah memilih sembunyi dan bekerja di balik layar. Sama sekali tak ada
keinginan untuk membuka identitas meskipun Daninda sudah terkenal di semua
kalangan. Nesha hanya ingin membuat orang lain terinspirasi lewat tulisannya.
Dan yang lebih hebat, dia menulis untuk beramal kepada Allah SWT!
Aku memejamkan mata.
Menarik nafas dalam dan berharap semua kembali seperti semula. Tidak ada
pertengkaran antara aku dan Kira. Juga kita bertiga berkumpul lagi. Aku – Nesha
– Kira. Three Idiots versi SMAN 1
Glagah. Tiga hari berpisah dengan mereka, rasanya berbeda. Tidak ada yang
menggodaku seperti Kira dan tidak ada yang menceramahiku lebih dari Nesha.
Aku melirik jam
dinding. Jam empat sore. Biasanya jam segini mereka ada di rumah dan tidak ada
jadwal les.
Aku bangkit dan bersiap
cepat, bergegas pergi ke rumah Nesha dan Kira. Tak perduli mereka marah atau
mengusirku, aku tak keberatan. Mungkin itu bayaran setimpal karena aku seenak
jidat membentak mereka.
Kunci yang tergelak di
meja kuraih. Dengan cepat aku memasukkan ke lubang kunci dan membuka pintu. Namun
sedetik setelah pintu kubuka, aku melongo di tempat. Membatu seolah melihat
hantu.
Ya, hantu itu bernama
Nesha dan Kira! Mereka ada di depan hidungku!
“Halo ...” itu reaksi
pertama yang keluar dari bibir Kira. Setelah kami bertiga sama diamnya karena kaget.
“Halo ...” suara aneh
keluar dari bibirku. Dasar bodoh! Kenapa
aku malah bilang halo! Ayo Tara, kamu harus minta maaf sama mereka!
Sepertinya suara hatiku
mulai mendesakku bicara.
“Maafkan aku Tara, maaf
karena aku membohongimu.” Suara lirih Nesha terdengar lebih dulu. Aku menatap
Nesha. Gadis itu menunduk dalam.
“Aku juga ...” imbuh
Kira menatapku serius. Tidak ada tatapan tajam atau menggoda yang biasa
kuterima. “Aku menyesal bicara seperti itu Tara.”
Lidahku kelu. Aku tak
mampu menjawab permintaan maaf mereka. Sebagai gantinya aku menghambur cepat
memeluk keduanya. Aku berharap mereka mengerti tanpa aku bicara. Karena aku
sangat rindu dan butuh kehangatan mereka.
Nesha dan Kira balas
memelukku. Lama kami berpelukan hingga bunda yang pulang dari pasar sore
berhasil melepaskan pelukan kami. Beliau menatap curiga.
“Kalian bertiga kenapa
menangis?” tanya bunda penasaran.
“Nggak papa Tante,
biasa latihan drama.” Balas Kira mengundang tawaku dan Nesha meledak. Kira
memang jago kalo di suruh asal nyomot alasan. Meski itu tidak masuk akal!
“Jadi kita udah baikan
kan?” tanya Nesha takut.
Aku tersenyum. “Masih
perlu pelukan lagi nih?”
“Ogaaah.” Kira bergidik
ngeri. “Sudah cukup saya jadi melankolis! Pamorku jadi kapten basket bisa turun
pasaran.”
“Hahahaha...” aku
tergelak. Lalu aku menyodok Nesha. “Eh Nesha, berarti habis ini aku les privat
nulis sastra sama kamu ya? Nyaingin Daninda.” Ujarku terkekeh.
Nesha tersenyum lebar.
Senyum paling cerah yang belum pernah kulihat sebelumnya. “Tentu saja.”
Angguknya tegas.
Dan entah mengapa, aku
merasa hidupku takkan goyah untuk seterusnya. Meski ditolak penerbit sekalipun.
Hehehe.
***
0 komentar