3000 hours
22.46
Ini sebuah cerpen pemula aja. Mungkin bisa dipakai jika layak ...
3000 hours
Sungguh! Sering kubujuk
perasaanku sendiri, bahkan aku berusaha mengutuk diriku saat kata iri merasuk
dalam fikiranku. Ya, perasaan iri terhadap kehidupan orang lain yang begitu
sempurna. Begitu menggiurkan. Dan menarik hingga fantasiku tak terkontrol untuk
memohon masuk ke dalamnya.
Iri?
Ya, karena hidupku sama sekali berbeda dengan orang lain!
Aku
tau Iri atau dengki adalah dosa yang tak seharusnya kunikmati. Setiap mendengar
gelak dan canda kebahagiaan, sebesit rasa tak suka menguasai pikiranku. Aku berusaha
menghilangkannya. Sungguh! Hingga aku selalu menyingkir jika teman – temanku
saat berkumpul berebut bercerita.
Adakah
yang salah? Aku tak tau. Mungkin ini akibat hidupku yang jauh dari kata
bahagia. Dulu hidupku bisa dikatakan menyenangkan. Harta melimpah, teman
banyak, dan ada kedua orang tua yang melindungi saat aku kedinginan. Kasih
sayang orang tua yang memanjakanku hingga aku merasa hanya aku yang paling
beruntung di dunia ini. Beruntung lahir dengan wajah cantik, pintar, dan
sederet keberuntungan lainnya yang tak perlu kusebutkan.
Ya,
semua itu dulu. Sampai pada akhirnya alur hidupku berubah drastis. Usaha papa
bangkrut dan otomatis gaya hedonisku berangsur berkurang. Tak cukup disitu
saja, teman – temanku perlahan menarik diri dari lingkup pergaulanku. Aku
bingung! Sangat bingung! Kenapa mereka harus meninggalkanku saat aku butuh
bantuan? Saat aku butuh uluran tangan untuk ikhlas berdiri lagi? Apa mereka
bukan temanku? Tapi aku masih ingat ucapan mereka ditengah hujan. Ucapan yang
selalu kupegang namun runtuh ketika mereka amnesia dengan janji mereka sendiri.
Apapun yang terjadi Nesh ... kita teman dan
akan saling membantu sama lain ...
Kata
– kata manis yang sangat menggiurkan. Namun aku ingin lupa! Lupa bahwa sahabat
atau teman atau apalah namanya, itu tak penting. Aku baru sadar mereka hanya menghisap nektar,
seorang parasit yang tak tau malu. Sejak saat itu aku hidup sendiri. Hidup
tanpa percaya orang lain dan melangkah sendiri. Bayang – bayang rindu untuk
bergabung dengan mereka sering kutepis. Biarlah. Hidup sendiri tidaklah buruk.
Tidak
masalah kan asumsiku seperti itu? selain aku tak percaya dengan orang lain, aku
ingin menutupi kenyataan lain. Kenyataan yang sampai detik ini belum bisa
kuterima secara logis. Sejak tiga tahun lalu, setelah tujuh tahun usaha papa
bangkrut, kembali aku harus menelan pil pahit. Toko kecil yang dibuka kedua
orang tuaku gulung tikar dan anehnya keluargaku ikut – ikutan juga. Baru aku
tau mama nyaris tergoda pria lain dan papa tentu saja naik pitam. Degradasi
kepercayaan mulai semarak dalam keluargaku. Keluarga harmonis yang kusadari tak
lagi sama setelah hari itu.
Papa
dan mama akhirnya pergi. Bukan untuk berpisah namun menata kehidupan kembali.
Sementara mereka mencari penghidupan di rantau, di sini aku sendiri. Kembali
sendiri untuk waktu yang tak bisa kuperhitungkan. Sendiri untuk terus berdiri
dan memandang bahwa semua baik – baik saja. Tak perduli hatiku merintih setiap
malam panjang diantara sujud ke hadiratNya.
Semua
semakin sulit dan menghimpit ubun – ubunku. Tepat ketika telingaku kelu
mendengar ucapan jujur papa tak kuat lagi membiayai sekolahku. Hatiku hancur!
Belum cukupkah ini terjadi? Apa hak pendidikan terenggut dari tanganku juga?
Tak cukupkah harta, persahabatan, dan kasih sayang yang kusedekahkan? Terkadang
aku tak mengerti pola pikirNya. Apa aku terlalu istimewa hingga malang selalu
menghantuiku?
Nyaris
aku putus asa terhadap hidup yang kupijak saat ini. Bumi yang mengajarkan
padaku bahwa hidup ini berotasi. Hidup tidak selalu menderita, tentu. Dan
akhirnya senyumku kembali merekah saat aku mendengar ucapan Om, adik papa yang
sukses materi.
Kamu harus sekolah Nesha ... apapun yang
terjadi, kamu harus sukses!
Dan
masalah sekolah selesai. Tapi masalah pelik lain tak berhenti membuatku ingin
menembak kepalaku sendiri. Kusadari, jalan kedepan tak selamanya mulus seperti
jalan tol. Bebas tanpa hambatan. Tak ada jaminan bahwa kehidupan itu mudah
dijalani. Bagiku, hidup ini seperti maze
yang belum bisa kutebak isinya.
***
“Nesha!” suara seseorang
mengusik pendengaranku. Sepertinya ada yang memanggil. Ah, pasti hanya
perasaanku saja. Seandainya ada yang memanggilku pun, otomatis aku memilih
menghindar.
“Haloo...” tepuk
seseorang membuatku merinding. Bulu kudukku meremang seolah melihat hantu di siang
bolong. Keningku berkenyit. Siapa gadis sok akrab di depanku ini?
“Aku Tara.” Gadis itu
mengangsurkan tangan dengan pedenya. Aku bergeming. Tak sedikitpun aku berminat
membalas uluran tangan yang terasa hangat. Cepat aku menyingkir sebelum tergoda
memiliki teman.
Hari – hari berikutnya
bagai mimpi buruk yang terus menyiksa. Gadis itu, yang tak lain adalah Tara
terus menempel bagai lintah. Kemanapun aku pergi, dia selalu mengikutiku. Tak
perduli aku cuek dan acuh, dia tetap bertahan berada di sampingku. Berusaha
mengajakku bicara. Tidak taukah gadis ini aku malas berurusan dengannya? Tak
cukupkah wajah jutek yang kupasang setiap melihatnya?
“Nesha!” tepuk gadis
itu hangat. Sama sekali tak ada lelah dari nada suaranya. Panggilan sama yang
bertahan selama 3000 jam!
“Bisakah kau menjauh
dariku?” ucapku berbalik kesal. Tak tahan dengan nada suaranya yang selalu
ceria. “Mau kamu apa sih?” lanjutku.
“Temenan sama kamu.”
Jawab Tara pendek, jelas, dan tegas.
“Tapi aku nggak mau
temenan sama kamu!” sahutku kubuat seangkuh mungkin. Biar gadis ini tobat
menghadapiku.
“Ahhh bohong! Aku tadi
denger hati kamu bilang mau kok.” Tara menjulurkan lidahnya. Kemudian menarikku
sesuka hati tanpa permisi.
Aku limbung. Kurasakan
genggaman tangan menarikku erat. Aku menatap genggaman tangan Tara lama. Kapan
ya terakhir aku merasakan kehangatan seperti ini? Satu tahun? Dua tahun?
Sepuluh tahun? Aku tak ingat! Yang aku tau, aku nyaman sekali digenggam.
Rasanya ada yang menjagaku.
“Nih.” Tara
mengangsurkan es krim yang dia beli. Aku menerimanya dengan wajah datar.
“Jujur aku senang akhirnya kamu mau bicara
sama aku.” Ucap Tara dengan senyum merekah. Memaksa mataku untuk terpana
sesaat.
Aku diam. Tak minat
melayani ucapannya.
“Akhirnya aku memiliki kesempatan bersamamu.”
Tara mencubit pinggangku. “Juara kelas tiga tahun berturut – turut, juara OSN
kimia, dan sekarang siap melangkah ke olimpiade internasional.” Senyum lebarnya
kini tinggal segaris. “Tapi tau nggak, sebenarnya Nesha yang hebat itu bodoh
lho.” imbuh Tara tergelak lebar tanpa rasa bersalah.
Tatapanku segera
beralih ke tanah tempatku berpijak. Mendengar hujatan Tara, anehnya aku tak
marah. Aku biasa saja. Sebaliknya aku kasihan pada diriku sendiri.
“Selama 3000 jam
ngikutin kamu Nesh, banyak pengalaman yang aku dapat. Aku fikir kamu hebat,
bintang dari segala bintang. Tapi aku salah. Kamu nggak lebih dari gadis yang
perlu di kasihani.”
Aku memejamkan mata. Apa lagi yang akan kamu katakan Tara? Gigiku
mulai gemeretak.
“Kamu nggak perlu
menyiksa diri sendiri Nesh!”
Aku bangkit. Semakin
kesal dengan sikap sok tau Tara yang berniat membantuku. Segera aku melangkah
lagi sebelum dia cerewet lagi.
“Dasar pengecut! Apa
selamanya kamu menyiksa diri sendiri ha?” teriak Tara berhasil meledakkan
emosiku.
“Cewek ceria kayak
kamu, nggak pernah tau arti hidup! Sok kuat dan banyak omong!” desisku tajam.
“Aku tau kok ...”
“Kamu nggak tau rasanya
dikhianati sahabat! kamu nggak tau rasanya hidup sendiri tanpa orang tua! Dan
kamu nggak ngerti rasanya sekolah dibiayai orang lain! Semua itu kamu nggak
tau!” teriakku keras kemudian melanjutkan langkahku. Menjauh dari Tara yang
mematung terkutuk di tempatnya.
Aku benci sekali orang
yang sok tau padahal mereka tak mengerti apapun. Mereka bebas bicara seolah
mereka malaikat tanpa sayap. Sok membantu!
Orang seperti Tara dan
yang lain, tak pernah merasakan namanya hutang balas budi. Balas budi karena
kamu di sekolahkan orang lain. Mereka hanya menganggap sekolah seperti bermain.
Datang, duduk, dan diam. Datang ke sekolah cuma pamer gadget terbaru dan pamer
plat putih yang mentereng di sepeda motor. Mereka tidak memahami arti sekolah
lebih dari itu! Sekolah itu mahal bung! Seperti aku yang harus membayar mahal
dengan belajar setiap hari. Seharusnya aku menikmati proses ini selama aku
menjalaninya. Namun karena hutang budi tadi, langkahku tak bebas. Nilai harus
sempurna, prestasi harus nomer satu, dan apa yang kuinginkan seperti tergadai. Apapun
diatur. Terkotak!
Dan tara, aku
menghargai usaha kerasnya untuk mendekatiku. Aku bersimpati padanya. Terlebih
saat dia berani menghujatku dan sempat berhasil membuatku mengasihani diri
sendiri. Seandainya 3000 jam lagi dia berani mengekoriku, aku berjanji akan
memberinya kesempatan bicara lagi. Ya, butuh 6000 jam untuk meyakinkanku bahwa
dia tidak sedang mencoba bermain denganku.
***
6000 jam bukan waktu
yang singkat, aku tau. Dan siang ini tepat 6000 jam yang kujanjikan pada Tara
untuk memberinya kesempatan bicara. Selama 3000 jam yang lalu, Tara berusaha
keras menemuiku. Mulai dari perpustakaan, mushola, sampai kantin pun selalu ada
Tara. Dia tidak putus asa mengajakku bicara. Semua orang yang melihat usahanya
merasa kasihan dan sering memojokkanku. Tapi sedikitpun aku tak terpengaruh.
Janjiku adalah 3000 jam dan aku akan menepatinya.
“Ada surat untukmu Nesh.”
Suara seseorang merebut perhatianku dari buku kimia. Aku mendongak. Kudapati
Kira mengangsurkan surat dengan wajah enggan. Aku mengangguk lalu dia pergi.
Perlahan aku membuka
surat itu. Nama Tara tertera di pojok kanan surat.
Nesha,
hari ini tepat 6000 jam sejak aku menyapamu. Aku ingin menemuimu. Namun sayang
waktu tak mengijinkanku mengatakan ini semua sebelum aku pergi.
Aku
ingin kamu tau, persahabatan bukanlah sesuatu yang mengerikan. Aku tau kamu
pasti lebih memilih buku dibanding teman. Tapi aku tau Nesh, sudut lain dari
diri kamu ingin berkumpul dan bercanda bersama kan? Aku selalu menangkapnya
ketika kamu melirik geng kecil di sudut kantin.
Nesha,
asal kamu tau, iri dengan kebagiaan orang lain bukan sesuatu yang perlu
disalahkan. Tapi daripada iri, kenapa kamu tidak mencoba untuk bahagia?
Menjalani semua dengan tertawa dan bahagia. Tidak harus merasa terkekang dan
menyalahkan takdir karena hidup kamu yang nggak beruntung.
Nesh,
hidup itu dirasakan, disiasati, dan dijalani. Hidup hanya sekali. Maka
jalanilah dengan tanpa beban. Bebas berekspresi dan menikmati hidup.
Seandainya
aku boleh menambah umurku, aku ingin menjalani 60000 jam lagi bersamamu. Namun
aku tau, bersamamu 6000 jam saja lebih dari cukup.
Terima
kasih Nesha, telah memberiku 3000 jam yang lalu untuk memahamimu.
Aku terdiam. Apakah ini
surat perpisahan? Apa ini surat tanda Tara menyerah? Tidak! Dia tidak boleh
menyerah! Bukankah aku sudah berjanji memberinya kesempatan seandainya dia
terus berusaha mengubah pandanganku tentang dunia?
Aku pergi keluar dan
mencari Tara di kelasnya, XI IPA 2. Nihil! Dia seolah menghilang ditelan bumi.
Tiada kabar. Tiada penjelasan kemana dia pergi. Mendapati kenyataan baru bahwa
orang yang perduli padaku menghilang, aku limbung.
Satu – satunya yang
mampu ku kenang dari Tara adalah kertas putih polos yang kini kupegang. Aku
mengangkatnya. Membekapnya dalam – dalam tepat di dadaku. Rasa sesal perlahan
mengusikku. Ternyata ego tak selamanya harus dipertahankan. Karena dengan ego,
aku semakin terpisah dengan ruang nyata yang harusnya kujalani.
Tara, terima kasih
ingin menjalani 60000 jam berikutnya denganku. Karena melihat ada orang yang
perduli padaku, aku bahagia. Aku tau rasa bahagia ini tidak berlangsung lama.
Tapi tenang saja, aku berjanji untuk mencoba percaya pada orang lain. Tak
perduli meskipun aku menghabiskan 60000 jam untuk melakukan itu semua.
***
0 komentar