Aku menarik nafas lebih lama. Aroma
tanah sangat menyengat. Saat – saat seperti ini sangat kugemari. Ya, aroma
petrichor yang tersimpan dalam tanah menyesak keluar, menekan paru – paruku
selaras dengan aura dingin hujan yang jatuh. Aku suka hujan. Salah satu alasan
yang mungkin kugunakan hingga aku sampai di tempat ini, Bogor.
Bogor, sebuah kota yang dikenal
dengan sebutan kota hujan. Juga, kota imipian yang sejak dulu ingin aku kunjungi.
Aku ingin tinggal di kota ini untuk waktu yang lama. Anggap waktu yang cukup
kurang lebih empat tahun. Waktu yag cukup untuk menikmati hujan, mencium aroma
petrichor, lalu bermain hujan – hujanan sesekali.
Bogor adalah kota impian, namun
tanpa menumpang tempat yang tepat bagaimana aku mampu menikmati itu semua?
Menumpang? Maaf, tempat ini lebih
dari itu. Setidaknya aku bermimpi menjadi bagian tempat ini sejak lima tahun.
Mimpi yang nyaris hilang karena sikap pesimistis. Kau tau apa nama tempat ini?
Sebuah tempat yang penuh dengan
hilir mudik mahasiswa, pencetak generasi unggul pertanian Indonesia, juga
kampus rakyat yang kadang menjadi pilihan kesekian para mahasiswanya.
Mungkin mereka kesekian, tidak
untukku. Tempat ini selalu menjadi pilihan pertama, seolah aku tak memiliki
pilihan lain selain tempat ini.
Ya, tempat ini, Institut Pertanian
Bogor.
***
Lima tahun lalu
Pandanganku menembus jendela. Hujan
bulan Januari jatuh dengan cantiknya. Aku ingin menembus rintik derasnya.
Bermain hujan – hujanan dan meneteskan air mata. Bersama hujan air mataku pasti
tidak kelihatan. Aku ingin amnesia. Melupakan sejenak permasalahan yang
terjadi. Melupakan semua beban yang sedang menghimpit. Dadaku sesak siap untuk meledak.
Masalah yang seharusnya tidak
dihadapi anak kelas sembilan SMP.
“Setelah ini kau ingin masuk SMA
mana Far?” senggol seseorang menyadarkanku. Aku menoleh. Monica tengah
tersenyum lebar.
“Pasti SMA Genteng dong.” Aku
tersenyum lebar. Sejujurnya hatiku tak yakin meski aku mencoba optimis.
SMA Genteng, mengingatnya aku
sempat kecewa. SMA Genteng terkenal dengan siswa hebatnya. Sering menang dalam
semua kompetisi, entah OSN, FL2SN, O2SN, atau pun lomba lokal tingkat SMA.
Semua siswa SMP di Banyuwangi mimpi
masuk SMA 1 Genteng, khususnya di Banyuwangi selatan. Aku tak jauh berbeda dari
mereka, setidaknya aku punya tiket masuk SMA Genteng dengan telak. Peringkat
try outku masuk dua puluh besar dan raportku juga tinggi. Tak ada alasan aku
tak masuk SMA faforit itu. Alasan lain selain SMA 1 Genteng gudangnya siswa
berprestasi adalah aku punya tujuan jangka panjang. Tujuan yang dianggap anak
SMP kebanyakan adalah pemikiran yang muluk – muluk.
Aku ingin masuk IPB. Dan aku yakin
SMA 1 Genteng mampu membawaku ke sana.
Namun permasalahan akhir – akhir
ini membuatku cemas. Keinginanku ditarik ulur, bahkan ditebas habis untuk
berhenti berharap. Ini karena kelargaku. Semua keluargaku berada di Bali,
sementara aku kost sendirian di Banyuwangi. Setiap akhir pekan aku pulang ke
rumah nenek. Selanjutnya aku menjalani rutinitas menjadi anak kost’an dengan
kasih sayang minim dari orang tua.
Sudah setahun keluargaku merantau
di Bali. Mencari nafkah untuk membiayai sekolahku. Keluarga yang dulunya bisa
dibilang kaya kini berputar 180 derajat. Awalnya serba berkecukupan kini
kekurangan, bahkan biaya sekolahku sering disumbang dari guru – guruku. Mungkin
faktor sebagai siswa yang berprestasi di akademis dan non akademis. Aku masuk
tim inti basket SMP 1 Cluring dan masalah akademis aku sering lomba keluar kota
mewakili sekolah. Setidaknya masalah biaya orang tuaku bisa bernafas lega.
Entah kali ini masalah biaya atau
lainnya, aku tak boleh masuk SMA 1 Genteng. Semua orang menyuruhku masuk SMA 1
Glagah. Sebuah tempat yang tak aku tau kehidupan di dalamnya. Sebuah tempat
yang intinya masih kalah dengan SMA 1 Genteng. Lagi, sebuah tempat yang
kuragukan mampu mewujudkan mimpiku, masuk IPB. Awalnya orang tua mendukungku,
berkata apapun kata orang biarlah mereka bicara, paling penting toh aku akan
sekolah SMA 1 Genteng. Namun ucapan Bapak hari itu mampu menghancurkan hatiku.
Aku sakit. Aku tak memiliki tenaga lagi untuk melanjutnya mimpiku.
Far,
bapak tau keinginanmu, tapi bapak juga tidak bisa menolak permohonan nenek,
menyuruhmu sekolah SMA 1 Glagah saja. Selama ini bapak merasa belum bisa
membahagiakan nenek. Apa permintaan beliau yang sederhana ini tidak bisa bapak
kabulkan ...
Menurut bapak sederhana, tidak
untukku! Teriak hatiku menangis.
Jadi
bapak mohon kamu ikut seleksi SMA 1 Glagah ya. Toh ada mama di sana, setidaknya
kamu ada yang jagain. Nggak sendirian terus.
Sendiri? Sejak lama aku sudah
sendiri dan aku tak masalah dengan kesendirian ini. Aku sudah sering sakit dan
aku tak masalah dengan semua penyakit ini. Namun jangan dengan mimpiku. Jangan
merampasnya untuk membuatku jatuh. Mungkin dengan jatuh, aku tak mampu berdiri
dan membenci diri sendiri.
Membenci diri sendiri? Hal itu
sudah kulakukan tepat saat aku menginjak gapura selamat datang SMA 1 Glagah.
Dengan otak yang dianggap encer semua orang, aku menjalani serangkaian tes
dengan mudah. Selancar jalan tol, meski dalam setiap prosesnya aku ingin lari.
Aku ingin membuatnya gagal namun hati kecilku tak tega. Semua ini demi orang
tuaku, masa bodoh dengan keinginan nenek atau orang lain. Aku tak perduli.
Di sinilah aku sekarang. SMA 1
Glagah. Neraka dimulai.
***
Tiga tahun lalu.
Aku menjalani hari tidak
semestinya. Seperti rutinitas, aku datang, duduk, mengamati pelajaran, sekedar
berbasa – basi dengan teman, lalu pulang ke kostan. Ya, aku kost lagi. Pada
akhirnya rayuan ada mama yang tinggal tak jauh dari sekolah tak ada gunanya.
Aku tak kerasan dan memilih tinggal sendiri.
Tempat baru, suasana baru.
Seharusnya yang kulakukan di tempat ini belajar dengan baik, berteman dengan
semua orang, menikmati hidup layaknya anak baru SMA. Sekali – kali tidak! Aku
membenci tempat ini setiap malam. Sebanyak air mata yang jatuh saat menulis
buku harian. Sebanyak rasa menyesal karena tidak masuk SMA impian. Bayangkan
aku sudah pasti masuk SMA 1 Genteng tapi gagal karena permintaan konyol orang
lain! Orang lain yang tidak tau hidupku namun ikut campur. Orang lain yang
merasa semua pendapatnya benar. Aku benci orang lain. Sikap apatisku berkembang
hingga aku menutup diri dari teman – teman sekelas. Merusak diri sendiri
mungkin memang mudah.
Rasa rendah diri semakin nyata.
Lagi, kehidupanku tak bebas karena sekolahku kali ini dibiayai om. Awalnya
bantuan biasa, sekedar menambah uang jajan. Namun orang tua yang buat makan
saja susah, membuat yang awalnya uang jajan itu berubah menjadi bulanan.
Berikutnya uang spp perbulan juga dilunasi.
Secara nyata tidak pernah ada
tuntutan akan nilai, apalagi kebebasan. Sesekali om bertanya tentang nilaiku,
mengevaluasi bagaimana prestasiku di sekolah. Dengan niat sekolah yang rendah,
bisa diduga nilaiku seperti apa. Yang awalnya SMP selalu masuk sepuluh besar,
SMA berubah menjadi dua puluh besar. Jika dulu lomba selalu ke luar daerah,
sekarang ikut lomba saja tak pernah.
Merusak diri sendiri sangat mudah
bukan?
Hingga pada satu titik aku sadar,
tak ada gunanya larut dalam masa lalu. Tak ada gunanya menyesali hal yang sudah
terjadi. Tak ada gunanya menyimpan iri akan SMA 1 Genteng. Tak ada gunanya
merusak diri sendiri telalu lama.
Apakah aku akan terus seperti ini?
Apakah aku akan tetap diam sementara semua orang sudah melaju? Apakah tidak
bisa sukses jika selain SMA1 Genteng? Pertanyaan yang membuatku berpikir dalam.
Mengapa aku melakukan hal bodoh ini terlalu lama? Dua semester bukan waktu yang
singkat. Cukup untuk membuatku bodoh. Cukup untuk tak dilihat siapapun.
Dan lagi, cukup untuk melupakan
mimpi lama, masuk IPB.
Sejak itulah aku bertekad tidak
akan kalah. Harus kubuktikan hidupku baik – baik saja. Aku harus berubah!
Perlahan aku mulai membuka diri. Ikut tim basket SMA 1 Glagah, masuk klub
kimia, juga masuk redaksi majalah SMA 1 Glagah.
Bergerak dan terus melakukan
perubahan. Seperti kata Einstein “Life is
like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving”.
Aku sudah moving. Setidaknya kegiatan merusak diri sendiri sudah aku
hentikan. Aku memang tak secemerlang SMP, namun di tempat baru aku berhasil
menorehkan prestasi. Bila di kelas 10 peringkat selalu 20 besar, sekarang 10
besar. Juga, Juara 1 mading 3D se-Jatim pada event bulan bahasa, 20 besar
pemenang blogger I Love Banyuwangi, dan harapan II OSN Kebumian. Selain itu
dipercaya menjadi pemimpin redaksi majalah Sketsa SMA 1 Glagah.
Menjadi pemred majalah membuka
mataku lebar. Ada hal tertentu yang mungkin tak bisa aku peroleh seandainya aku
masuk SMA 1 Genteng. Mungkin tak ada cerita aku menjadi pemred majalah. Mungkin
tak ada cerita tentang persahabatan dalam satu tim. Mungkin tak ada cerita
pusingnya mencari sponsor. Mungkin tak ada cerita rasanya berbagi buka puasa
bersama masyarakat di jalan dalam acara Sketsa On the Road. Mungkin tak ada
cerita gugup ketika menunggu majalah terbit. Terpenting, mungkin tidak ada
pembelajaran bagaimana bersyukur dan menerima keadaan yang terjadi dalam hidup.
Sebaliknya, mungkin aku menjadi kutu buku yang egois.
Tiba – tiba, aku sangat bersyukur masuk SMA 1 Glagah meskipun
terlambat menyadarinya.
***
Satu tahun lalu.
Tak terasa dua tahun berlalu cepat,
ini tahun ketiga di SMA. Sebentar lagi aku akan lulus. Sebentar lagi aku akan
menginjak jenjang selanjutnya. Pasti perguruan tinggi?
Tentu, dan itu IPB.
Tidak! Itu yang keluar dari bibir
ibuku.
Sejujurnya
ibu tak sanggup menguliahkanmu, kecuali kamu dapat beasiswa. Dengan begitu ibu
hanya perlu menambah uang bulanan.
Tidak! Kali ini aku tak boleh
hancur. Tak boleh kecil hati karena masalah biaya. Pasti ada jalan. Aku tak mau
berpikiran sempit seperti ketika masuk SMA.
Aku diam – diam melirik bapak.
Beliau yang sedang melayani pembeli kopi tak sadar sedang kupandangi. Aku tau
keluarga ini sudah kesulitan biaya, namun bapak tak pernah pesimis. Setidaknya
beliau tidak menampakkan wajah itu di depanku. Tidak untuk membuatku menyerah.
Saat – saat berada di Bali seperti
ini membuatku nyaman, sekaligus sedih. Nyaman karena aku bertemu orang tuaku.
Rasanya empat tahun jarang bertemu dan seandainya bertemu pun hanya ketika
libur semester, aku senang melihat mereka hari ini. Sekaligus sedih karena jika
dihitung dengan jari, sudah empat tahun kami menjalani hari dengan kehidupan
seperti ini. Tidur di kostan yang layaknya dihuni satu orang namun ditempati
satu keluarga. Tidur layaknya ikan pindang yang berjejer. Terkadang ibu dan
bapak mengalah tidur di lantai. Sedangkan
kasur untuk aku, Mas yus, dan Dani, itu pun jika aku sedang libur
semester.
“Kamu ingin masuk dimana?” Tanya
bapak menarikku kembali dari masa lalu.
“IPB pak.” sahutku mantap.
“Kenapa tidak yang dekat saja?
Malang kan strategis.” Bapak menyesap rokoknya. Memandangku.
“Sudah empat tahun aku jarang
bertemu bapak dan ibu. Di Malang atau pun Bogor juga sama, tak bisa bertemu
bapak dan ibu. Kenapa tidak sekalian jauh saja?”
“Begitu ...” Bapak mengangguk.
“Kamu sudah pikirkan strategi untuk kemungkinan terburuk?”
Bapak adalah seorang planning terbaik. Semua sudah
direncanakan seandainya kemungkinan terburuk terjadi. Contohnya? Aku tak masuk
PTN manapun. Dampaknya? Siap – siap saja jadi pegawai laundry.
Sumpah demi apapun, aku tak ada
pikiran kesana.
“Aku tak mau selain IPB pak, jadi
rencana A daftar diploma IPB. Rencana B nyoba daftar AMG, sekaligus nunggu
SNMPTN. Rencana C ikut SBMPTN.”
“Seandainya semua nggak lolos?”
Aku menelan ludah. “Jika itu
terjadi ...” nafasku terdengar berat. “Aku akan cari kerja.”
Memang bibirku berkata demikian,
namun otak remajaku tidak pernah berpikir sampai kesana. Apa yang mampu anak
SMA kerjakan? Mungkin aku akan membantu ibu jualan nasi setiap pagi atau jualan
kopi membantu bapak. Sisanya aku mungkin bisa kerja di hotel dimana kakakku
kerja. Itu pun kemungkinannya kecil karena aku anak SMA, bukan SMK elektronika
industri seperti kakakku.
Bapak tersenyum. “Berjuang ya,
bapak juga berjuang di sini.”
Aku tersenyum. Selanjutnya aku kembali
ke Banyuwangi membawa kotak taruhan. Selama beberapa bulan ke depan aku berjudi
dengan keberuntungan. Berharap semua keberuntungan sedang menghampiriku.
Jika anak lain sibuk bimbingan
belajar di lembaga, aku sedang sibuk belajar sendiri. Mengotak – atik rumus,
memahami pelajaran hapalan, dan terus berlatih latihan soal. Prinsip dari bapak
sangat sederhana. Prinsip itu lah yang aku terapkan sampai sekarang.
Orang
pintar itu nggak bimbel juga tetep pintar.
Taruhan, itu hanya alasan saja
karena orang tuaku tak punya biaya untuk daftar bimbel, hahaha.
Masa ujian nasional semakin dekat.
Tentu aku berkutat dengan semua yang berbau ujian nasional dan informasi
perguruan tinggi. Diantaranya tentang passing grade, data prestasi kakak kelas,
hingga memperkirakan nilai sekolahku di mata IPB.
Yah, ini kan salah satu sekolah
faforit di Banyuwangi. Aku yakin mampu menembus SNMPTN. Keyakinan itu bertambah
dengan beberapa piagam yang aku miliki.
Yakin dan pede itu beda tipis.
Sesuai strategi, aku menunggu
pengumuman diploma. Sumpah nunggu pengumuman diploma bener – bener menguras
emosi. Surat dari diploma IPB belum sampai rumah, tambah alamat yang kupakai
alamat rumah lama yang rumahnya saja dibeli orang. Aku khawatir kalau surat itu
hilang ketika pengiriman. Alhamdulillah IPB mengirim pengumuman ke SMA. Beruntung
surat itu tak menghilang di tengah jalan.
Supervisor Jaminan Mutu Pangan,
satu langkah punya tiket.
Tapi taruhan ini belum selesai.
Dengan biaya persemester diploma yang lumayan besar, bagaimana keluargaku sanggup
membayar?
Oke, kata bapak minimal aku punya
pegangan.
Hari yang ditunggu semua siswa se
Indonesia datang. Pengumuman SNMPTN. Aku masih ingat apa yang terjadi pada
malam hari sebelum pengumuman SNMPTN. Aku sakit perut dan bolak – balik kamar
mandi karena neveous. Mengingatnya
aku selalu ingin tertawa.
Sebelum pergi ke warnet, aku shalat
dhuhur dulu. Meminta yang diberi yang terbaik. Apapun yang terjadi inilah jalan
terbaik dan aku tak boleh menyesal. Berangkatlah aku ke warnet bersama bapak.
“Kalo lulus IPB besok kita jalan –
jalan.” janji bapak membuatku tersenyum lebar.
“Beneran?” aku makin gugup
sekaligus senang. Keluarga ini selalu bekerja dan besok akan jalan – jalan! Dan
itu karena aku masuk SNMPTN!
Semoga.
“Iya, tanya aja sama ibumu.” ucap
bapak sembari menurunkan aku di depan warnet.
“Yaudah aku mau lihat pengumuman
dulu. Bapak pulang aja. Entar kalo udah aku sms buat jemput.”
Bapak mengangguk dan aku segera
berbalik masuk warnet. Tak benar – benar memperhatikan bapak pulang atau tidak.
Aku menghadapi layar komputer.
Jantungku berdetak cepat. Otakku berdesing memikirkan ekspresi apa yang
sebentar lagi kulakukan. Senyum lebar? Lonjak -
lonjak? Bersujud? Ah aku tak sanggup memikirkannya lebih jauh. Pede
masuk IPB.
Baiklah, mari kita masukkan NISN
dan tanggal lahir. Enter.
LOADING...
Aku memejamkan mata.
Hasilnya
keluar...
Jantungku berhenti berdetak.
Kepalaku tiba – tiba pusing. Aku menelan ludah. Pahit.
Merah!
Artinya? Ditolak!!!
Aku tersenyum getir. Ditolak
SNMPTN? Aku membaca tulisan berulang kali. Tak ada yang salah. Benar itu namaku
dan tanggal lahirku. Apa yang salah? Siapa yang perlu kusalahkan atas semua
ini?
Aku menenangkan diri sendiri.
Inilah jalan yang terbaik. Porsi yang diberikan padaku mungkin diploma IPB,
bukan S1. Apa karena aku sudah masuk diploma jadi IPB menolak? Lagi – lagi
pikiran tidak bersyukur mulai mempengaruhiku. Meski begitu, aku memberi selamat
semua teman – teman masuk SNMPTN lewat media sosial. Aku masih ketawa – ketiwi dengan
riangnya, bahkan aku bercanda seru di chat kelas.
Tapi tidak dengan hatiku. Anehnya,
meski aku tertawa, hatiku semakin sesak.
“Bagaimana Far?” Tanya seseorang
memaksaku mengangkat kepala.
Bapak berdiri di depanku.
Aku kaget, namun tawaku lebih dulu
menyembur. “Hahaha nggak masuk.”
“Serius?” Bapak langsung ikut masuk
bilik dan memastikan langsung.
Wajahku masih sama. Aku tidak
menangis, sebaliknya tertawa cekikikan. Hanya saja hatiku sesak.
“Ya udah bapak pulang saja. Aku
masih mau facebook’an dulu ya.”
“Udah ah ayok pulang aja, ngapain
di sini?” wajah bapak terlihat tenang. Senyum pengertiannya mengembang.
“Nggak ah, masih pengen main dulu.”
Aku terkekeh. Ngotot tak mau pulang. Padahal aku tau, semakin lama aku menatap
facebook, pertahananku mungkin jebol.
“Ngapain di lama – lama, ayo makan
aja.” Senyum bapak masih kekeuh memaksaku enyah dari warnet. Terpaksa, aku
bangkit dan menurut.
Aku dan bapak keluar dari warnet.
Bapak berjalan lebih dulu untuk mengambil sepeda. Melihat punggung bapak, entah
mengapa dadaku berubah nyeri. Mataku mengabur. Sebelum aku mampu menahan diri,
air mataku lebih dulu jatuh.
Aku kan sudah bersyukur masuk
diploma, kenapa aku masih menangis?
Allah sudah memberi yang terbaik,
mengapa aku masih egois meminta lebih?
Tiba – tiba suara jujur ibu kembali
menyeruak.
Sejujurnya
ibu tak sanggup menguliahkanmu, kecuali kamu dapat beasiswa.
Mengingatnya air mataku jatuh
semakin deras. Apa yang harus kulakukan? Apa semua berakhir dengan tidak
kuliah? Diploma baru semester tiga bisa mengajukan beasiswa. Sedangkan rencana
semula aku harus mendapat bidik misi bila ingin lanjut kuliah.
“Kamu kenapa menangis?” Bapak
memandangku lemah lembut. Siap mendengar ceritaku.
Aku tertawa. “Siapa yang nangis,
aku lho cuma kelilipan.”
“Far ...”
“Aku nggak apa – apa pak ...” aku
memandang bapak sedih. Aku ingin berteriak tentang apa yang kurasakan. Semua
ketakutan dan beban yang menghimpit kurang lebih empat tahun. Namun aku
mengerti, tanpa aku berteriak pun beban beliau lebih berat daripada aku.
Lagipula, seandainya aku bercerita pun, apa akan menyelesaikan masalah? Tidak!
Menambah pilu di hati bapak itu yang mungkin terjadi.
“... aku tak apa. Bapak jangan
mengkhawatirkanku.” Tutupku sembari menunduk. Tidak ingin bicara lebih, suaraku
enggan keluar.
***
Empat bulan lalu.
Sejak awal hidupku sama, penuh
dengan taruhan. Setelah taruhan pada SNMPTN kalah, aku pesimis. Aku ragu
mencoba. Aku model orang yang sangat perhitungan. Seandainya ada suatu tes yang
kemungkinan besar aku gagal, aku tak mau mencoba. Buang – buang waktu. Pikiran
realistis yang selalu aku terapkan pada semua aktivitasku. Kecuali satu hal,
ikut tes SBMPTN. Tentunya kemungkinan masuk untukku nol persen.
Bayangkan saja, seorang aku yang
tidak bimbingan belajar, bisa apa? Tes SBMPTN terkenal dengan soal – soal
saktinya. Banyak pendaftar yang tumbang, ditambah kuota di perguruang tinggi
sedikit sekali. Persiapanku nyaris tak ada. Pun, sejak awal aku memang tak
berniat bimbingan karena aku taruhan pada SNMPTN.
SBMPTN? Memikirkannya saja aku
sakit perut. Aku enggan ikut tes. Kalau saja bapak dan ibu tak memohonku
mendaftar, tentu aku tak pernah berangkat.
Sebelum aku berangkat daftar ulang
diploma, aku tes dulu di panlok Jember. Masih ingat perasaanku kala itu. Tes hari
itu adalah taruhan terbesar, sekaligus taruhan paling pesimis yang pernah
kulakukan.
Farah
... kemanapun itu, Diploma atau S1, aku nggak mau ada perasaan menyesal. Aku
hanya ingin semangat, syukur dan sikap pantang menyerah. Aku mau kamu berusaha
keras, sama seperti kamu rela jatuh ketika tanding basket. Sikap itu yang perlu
kau lakukan, tidak menyerah sampai titik terendah sekalipun.
Diploma
atau S1, apapun itu, adalah jalan Allah yang terbaik untuk hidupmu.
Bersyukurlah, tersenyumlah.
Itu isi buku harianku hari itu. Tes
SBMPTN adalah kesempatan terakhirku seandainya ingin masuk S1. Taruhan yang
berat sebelah. Kalau pun aku ingin berhasil SBMPTN, harusnya aku punya jeda
untuk belajar. Nyatanya bekalku sedikit, buku referensi minim. Mengerjakan soal
saja aku seadanya. Intinya aku sudah mengerjakan sebisaku dan sesuai
kemampuanku. Yah walaupun ada jawaban yang nembak, hahaha.
Taruhan selanjutnya dimulai. Aku
berangkat ke Bogor untuk daftar ulang diploma. Masalah biaya awal keluargaku
patungan dengan kerabat. Rencana jangka menengah yang harus kudapatkan adalah
beasiswa, apapun caranya. Jadilah matrikulasi diploma aku berusaha keras.
Target minimal B harus ada di tangan. Kata harus
membuatku bekerja keras hingga berat tubuhku turun delapan kilogram selama
matrikulasi. Hebat!
Selama matrikulasi diploma aku
mulai menata tujuan. Start hidup
dimulai di sini, pikirku. Berada di jurusan pangan yang selama ini tidak
terlintas di otakku. Terlebih supervisor jaminan mutu pangan berkutat pada
laboratorium. Aku benci laboratorium. Suasana sepi, diam, dan serius, itu bukan
aku. Meski begitu aku berusaha menerima. Percaya bahwa ini jalan terbaik.
Sukses tidak hanya S1, diploma juga tak kalah sukses kok.
Perlahan namun pasti, aku mulai
mengubur mimpi masuk S1. Memikirkan sesuatu yang tak pernah bisa kita capai
adalah sia – sia kan? Mengharap waktu kembali pun juga mustakhil.
Ucapan bapak ketika mengantarkan ku
ke Bogor sering membuatku termenung.
Kamu
hanya membohongi diri sendiri. Aku tau perasaanmu. Terlebih ketika kamu
menangis dan berkata baik – baik saja berada di Diploma. Bapak pernah berada di
tempatmu ketika muda, merasakan hal yang sama.
Membohongi diri sendiri atau apapun
itu namanya, tak mengubah segala sesuatu yang kita inginkan menjadi kenyataan
kan?
Aku sudah ikhlas melepas S1, tak
pernah mengharap lagi. Sampai akhirnya hari itu datang, pengumuman SBMPTN.
Aku pulang kuliah selepas magrib.
Hari itu banyak sekali pikiran. Praktium kimia dasar gagal, kuis untuk pertama
kalinya mendapat seratus, tambah belum buka puasa. Orang tua sms penasaran
dengan pengumuman. Sembari buka puasa pukul setengah tujuh, aku menghadap
laptop.
Oke, masukkan NISN dan tanggal
lahir. Enter.
LOADING...
Aku membuang muka. Toh hasilnya
sama saja, aku takkan masuk. Orang tuaku saja yang berharap lebih. Aku tak mau
berharap terlalu tinggi, sakit.
Piring yang ku pegang merosot.
Dadaku berhenti berdetak. Aku seperti sesak nafas dan mengucek mata beberapa
kali. Detik berikutnya tubuhku gemetar.
Selamat
anda dinyatakan lulus seleksi SBMPTN 2014 ...
Masuk? Ini beneran????
Spontan aku sujud syukur. Aku lupa
buka puasa. Aku lupa dengan suara histeris teman satu kost’an yang memberi
selamat. Segera aku mengetikkan sms ke orang tua.
Aku
masuk S1 IPB.
Singkat dan padat. Aku tak tau
bagaimana cara berekspresi yang tepat, namun aku tau pasti, air mata bersyukur
luruh. Keajaiban Allah selalu datang pada saat yang tepat. Aku percaya itu.
“Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami menambah (nikmat) kepadamu, namun jika (sebaliknya) kamu
justru kufur (mengingkari nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.”
(QS. Ibrahim: 7)
***
Ibu
masih ingat malam itu, tiba – tiba bapakmu lari sambil membuang plastik yang
dia beli. Ibu sangat bingung ketika bapak memeluk ibu sangat erat, mencium pipi
ibu berulang kali. Matanya berkaca – kaca.
“Farah
masuk SBMPTN.”
Mendengar
itu, tak hanya bapak, ibu langsung menangis bersyukur.
Alhamdulillah
ada jalan nak yang sesuai dengan mimpimu, juga untuk perekonomian keluarga
kita. Ibu tau kamu membohongi diri sendiri dengan berkata baik – baik saja. Ibu
tau perasaanmu. Dan ibu sangat bersyukur, Allah mendengar semua doa yang setiap
malam kami panjatkan.
Untuk
kebahagiaanmu, hidupmu.
***
Rintik hujan berangsur reda. Aroma
petrichor masih tersisa. Aku kembali duduk dan tersenyum kecil. Bogor memang
menakjubkan.
Hujan
membuat memori secara rileks memutar masa lalu. Entah kenangan sedih maupun
bahagia. Kalau mau diam dan bersedih akan banyak hal itu gampang kok, tapi diam
dan memikirkan hal – hal yang menyenangan juga sama gampangnya.
Kamu
pilih yang mana?
Aku pilih keduanya.
Kenapa?
Karena perlu keduanya untuk
bersyukur bahwa Allah selalu memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang
kita inginkan. Hidup itu harus dirasakan, disiasati, dan dijalani.
***
Selesai
Story
by Farah
Maulida
AGH ’51 / FAPERTA