Amnesia
02.21
Pandanganku
jatuh pada es krim walts shakey shake. Tanpa sadar aku tersenyum tipis,
bersamaan dengan hatiku yang ikut mengingat masa lalu. Es krim berbentuk cup
dengan taburan coklat pekat diatasnya. Lengkap dengan rasa manis dan sedikit
pahit. Rasa yang seimbang. Rasa yang menyadarkanku untuk kembali menarik memori
masa lalu dan segera beranjak dari depan storage frezze.
Aku aneh
bukan? perasaanku tiba – tiba tidak membaik hanya karena melihat es krim
berbentuk cup itu. Es krim pertama yang dibelikan seseorang untukku. Es krim
yang menahanku duduk berdua menikmati sore hari. Es krim yang membuatku tidak
berhenti berkedip dari memandangnya. Es krim yang berhasil membuatku merasa ...
Jatuh
cinta.
Sudah
jatuh, dan itu cinta pula.
Aku masih
tak mengerti mengapa sebuah es krim mampu menahanku sendiri hingga tiga tahun.
Aku tak mampu berbalik. Aku tak bisa mengganti bayangannya dengan orang lain.
Tak bisa jika selain dia. Aku membenci diriku sendiri karena terlalu lemah dan
bodoh. Sampai kapan pun kisah itu takkan terulang padaku. Takkan pernah.
“Semua
totalnya Rp. 52.000 mbak.” ucap kasir itu kusambut dengan dua lembar pecahan
lima puluh dan sepuluh ribu.
Sepasang
kekasih memasuki agrimart dekat tempatku berdiri. Bisa kusimpulkan demikian
dari genggaman erat tangan keduanya. Tawa cekikikan mampir ke gendang
telingaku. Aku cuek, hingga beberapa kata membuatku menggigil.
“... Terima
kasih ngajak aku ke bukit pelangi, juga ke puncak. Aku seneng banget...”
Ucapannya
segera menjadi angin lalu. Aku lebih dulu pergi. Aku tak ingin perasaanku
ditarik paksa.
Bukit
pelangi.
Puncak.
Aku ingin
amnesia secepatnya.
***
Tiga tahun lalu.
Pau aku bosen di asrama. Minggu mau
UTS sebenarnya. Ajak keluar dong?
Send. Aku
menopang dagu menatap jendela asrama. Bosan akut. Seminggu ini adalah waktu
darurat sebelum ujian tengah semster. Kebanyakan teman jabodetabek kembali ke
rumah, hari tenang sebelum perang. Aku? berhubung tempat ini dimana dan rumahku
dimana, gila bila aku memilih pulang. Banyuwangi – Bogor tidak sedekat Jakarta
– Bogor, kecuali aku bisa disperate seperti Harry Potter.
Ipau,nama
bukan sebenarnya. Itu nama panggilan sayang dari seseorang kepada seseorang.
Nama unik yang tentu bukan dariku, dari pacarnya. Pacarnya yang juga temanku.
Teman kental yang menangis ketika aku pindah kuliah dari kampus Cilibende
menuju Dramaga. SBMPTN ku masuk dan tentu saja aku meninggalkan D3 menuju S1.
Meninggalkan?
Tidak! Tepatnya pindah. Aku tak mampu meninggalkan semua kenangan indah bersama
teman – teman diploma. Mereka teman terbaik yang menganggapku keluarga meski
baru bersama selama dua minggu. Selama matrikulasi yang harusnya ku jalani
selama empat minggu.
Salah
satunya dia, Ipau, nama lain dari Banu Bagaskara.
Emang lu nggak ada acara Far? Udah
siang juga, nanggung.Tapi ayok aja sih, gue juga lagi bosen. Sekalian bayar
janji gue deh, Hehehe.
Janji? Dia
memang pernah berjanji mengajakku keliling Bogor begitu aku pindah ke Dramaga.
Dia menganggapku sahabat, sepertinya. Dia sering cerita padaku tentang Bogor, jaman
SMA, sampai yang terakhir masalah pacarnya.
Pacarnya
yang tak lain teman baruku juga. Teman satu kelompok praktikum biologi.
Pacarnya yang selalu menyunggingkan tawa bersamaku. Pacarnya yang ku anggap
teman dekat. Pacarnya yang mempercayakan sebagian cerita padaku. Pacarnya yang
menangis saat aku pergi ke Dramaga.
Pacarnya,
ya dia sudah punya pacar. Dan aku bahagia mendengar dia masih awet dengan
pacarnya. Sebagai sahabat, sewajarnya itu yang kulakukan kan?
Namun
keputusan bodoh hari itu merubah segalanya!
Merubahku
seperti sekarang yang tak mampu lupa darinya. Juga cerita bagaimana kenangan
walts shakey shake itu ada.
Seandainya
aku boleh memilih, aku ingin kembali memutar waktu dan berharap semua itu tak
pernah terjadi. Bahkan bila boleh memilih, aku ingin tak pernah menginjak
Diploma sehingga semua ini terjadi.
Mengenalnya,
mengenal pacarnya, semuanya ....
Yeee makasih ipau . Gue tunggu yak
*hug*
Hug? Aku
sejenis orang aneh yang tak terganggu menulis apapun, termasuk hug ke pacar orang. Pacarnya,
temanku, percaya sepenuhnya padaku.
Seorang aku yang selalu bermanja dengan ipau dianggap biasa oleh semua teman
satu jurusan. Ipau dan pacarnya tak terganggu, tak ada alasan untuk menuduhku
centil kan?
Aku
bermanja padanya bukan berarti aku suka. Bermanja padanya bukan berarti aku
mengharap lebih. Bermanja padanya bukan berarti aku berniat merusak hubungan
asmaranya.
Tidak ada
yang aku rusak, setidaknya beberapa waktu semua berjalan lancar. Hingga suatu
sore sembari memegang walts shakey shake, aku mendengar dia bicara, aku tak mau
dia membohongi diri sendiri. Namun
taruhan, semua itu kata egoku yang terlalu nyaman bersamanya.
Far gue udah di agrimart deket
gymnasium. Lu keluar deh.
Segera aku
keluar asrama dengan senyum lebar. Yes keliling Bogor! Itu yang ada di otakku
ketika pergi. Hanya saja otakku tak berpikir bagaimana perasaanku ketika
kembali setelah keliling Bogor.
Jatuh cinta
Dan itu
sakit.
***
“Mau kemana
nih far?” tanya ipau di tengah macet Dramaga. Dasar ipau! Aku sudah menyuruhnya
membawa helm dan hasilnya nol besar. Panas Kota Bogor membuat kepalaku pening,
juga rambutku berkibar sepanjang jalan. Persis spanduk trotoar yang ditiup
angin.
“Terserah
supir deh, gue ngikut aja. Tapi gue lapar pau, dari pagi belum makan.”
“Oke cari
makan dulu yuk.” balas ipau mempercepat laju sepeda motor.
Aku
mengeratkan pegangan pada ujung bajunya. Segera sepeda motor ipau menuju arah
kota. Melewati jalan sekitar kebun raya, taman kencana, dan menuju daerah
warung jambu. Eh tidak, dia membelok ke arah jalan Bantarjati. Berhenti di
suatu kafe susu. Katanya susu di sini enak, makanan lumayan berat juga ada.
Kurang
lebih kami berdua makan selama satu jam. Tidak ada pembicaraan yang penting,
kecuali dia hanya terseyum kecil saat aku menggoda tentang Io, pacarnya.
Sisanya dia bercerita baru saja dari jungle land bersama teman – teman diploma,
atau menghadiri pameran mobil yang mana SPGnya memakai baju minim. Aku hanya
menonjok bahunya sembari menyebut mesum.
Di kafe
susu ini, tidak ada yang terjadi. Tidak pula dengan perasaanku. Aku biasa saja.
Aku masih mengangapnya sama. Temanku, sahabatku, sekaligus pacar temanku.
Perpaduan yang lengkap bukan? Seandainya aku memiliki perasaan pun, itu artinya
bunuh diri, juga bodoh.
“Setelah
ini kemana?” Dia memandangku dengan senyum ramahnya.
“Gue kan
udah percaya sama lo, terserah.”
“Seandainya
gue bawa ke tempat maksiat gimana?” celetuknya ngasal.
Alisku
naik. “Oke nggak masalah, kecuali lu pengen mati muda!”
Dia
tergelak.
Aku
tertawa.
Semua
kenangan ini terlalu indah, tak mungkin aku melupakannya kan?
***
“Kemana
nih?” tanyaku penasaran. Pemandangan sepanjang jalan tak menarik minatku,
kecuali aku ingin menghafal jalan dan gang di Kota Bogor.
“Udah lu
ngikut aja, lu bakalan tauk kok.” suaranya di tengah bising kendaraan. “Tempat
faforit gue kalo kabur.”
“Kabur?
Kabur kenapa?” tanyaku keceplosan lebih dulu. Aku merutuki diri sendiri. Kenapa
aku penasaran kehidupan pribadi orang lain yang harusnya privasi!
“Gue punya
kakak far, umurnya nggak jauh beda sama gue kok. Cowok juga. Gue sering
berantem sama dia. Tapi orang rumah sering belain kakak gue. Gue kesel! Pernah
gue kabur ke bukit pelangi malem – malem dan pulangnnya nih jalan udah sepi
far. Gue takut nyasar. Gue sampai tanya orang.”
“Dasar
gila!” Aku memukul punggungnya kecil. “Kalo ada apa – apa gimana? Bahaya tauk!”
“Hahaha gue
nggak kepikiran. Gue muak sama orang rumah.”
Detik
berikutnya dia cerita kehidupan dalam keluarganya. Ayah dan ibunya jarang di
rumah sibuk kerja. Dia tak terlalu dekat dengan kakaknya yang menutup diri.
Yang tersisa hanyalah adiknya yang sialnya jarang pula ipau temani.
Mendengarnya berkata demikian, aku mengingat keluargaku. Tanpa ipau minta dan
tak berpikir panjang, aku bercerita tentang kehidupanku. Kehidupan yang selama
ini aku tutup rapat pada siapapun. Karena aku terlanjur tak mempercayai
siapapun.
Aku tengah
dari tiga bersaudara. Cewek sendiri. Sama seperti ipau, aku tak mengenal
kakakku, bahkan aku merasa seperti tak memiliki kakak. Orang tuaku juga tak
beda jauh dengan ipau, bedanya mereka sering bertengkar. Itulah kebersamaan
kedua orang tuaku yang sangat aku benci. Aku hanya mampu menutup telinga atau
mengeraskan volume ipad di telingaku. Aku lelah. Aku lelah berpura – pura kuat
dan berkata pada dunia bahwa hidupku baik – baik saja.
“Makanya
gue pengen kerja yang nyantai far, biar setiap hari gue bisa bersama keluarga.
Nggak kayak keluarga gue yang sekarang.”
“Kita cacat
pau, yang perlu dilakukan sekarang adalah kita belajar dari pengalaman untuk
menjadi orang tua yang lebih baik.”
“Kita pasti
bisa.” Ucapnya penuh keyakinan.
Meski ipau
tak melihatku, aku mengangguk. “Kita bisa pau ...”
Aku
bersandar pada punggungnya. Aku memejamkan mata, menghirup udara sebanyak
mungkin. Sejak tadi dadaku terasa sesak. Air mata sudah mengumpul di pelupuk
mata. Namun apapun yang terjadi aku takkan membiarkan diriku menangis. Cengeng!
Dan aku bukan wanita lemah.
Saat aku
bersandar di punggung ipau, aku memutar memori. Pertama kalinya aku keluar
bersama cowok, bersandar di punggungnya, dan perasaanku berubah nyaman. Aman.
Merasa sepenanggungan.
Dan itu
adalah ipau...
Selalu
ipau!
***
“Ini
tempatnyaaaa....”
“Wow Ipau
... “ aku hanya mampu berdecak. Sungguh indah. Bunga – bunga berbaris indah
sepanjang jalan, juga pemandangan Bogor dari atas sangat menakjubkan. Aku
memandang ipau.
Dia
tersenyum.
Mataku
memanas. Aku ingin sekali memeluknya dan mengucapkan terima kasih.
“Yuk gue
fotoin.” Ipau merogoh sesuatu dari balik saku. Kamera handphonenya siap
membidikku.
Aku pose.
Sekali jepret, cukup. Aku tak suka narsis di depan kamera. Menurutku alay.
Ipau tak
melakukanya. Dengan rakus dia memencet entah berapa kali. Tentu saja aku tak
pose, sebaliknya sibuk protes supaya dia berhenti melakukan tindakan bodoh. Dia
tertawa girang melihat aku uring – uringan.
“Sebenarnya
nggak boleh berhenti di sini loh ...”
“Eh iya?”
Ipau
mengangguk. Dia siap berbalik sebelum aku lebih dulu menarik lengan jaketnya.
“Apakah io
pernah lo ajak ke tempat ini?”
Ipau
menggeleng. “Io tau tempat ini. Dia ke sini bersama teman – temannya.” ucapnya
singkat kembali memandangku. “Selanjutnya kemana?”
“Eh...” aku
tiba – tiba tak fokus. “Terserah.”
Bagaimana
aku bisa fokus bahkan ipau tak pernah mengajak dio ke tempat ini, ke tempat
dimana dia biasa sendiri dan kabur dari rumah. Tempat khusus yang selalu
menjadi pelampiasan kesalnya. Dan itu aku, aku yang diajak ipau ke sini.
Mendengar
cara dia bercerita, percaya padaku seutuhnya masalah keluarganya, aku terharu.
Aku merasa beruntung. Aku merasa bahagia saling berbagi cerita. Di dunia ini
kita tak sendiri. Ada banyak cerita yang sama, mungkin salah satunya adalah
ipau.
“Kita ke
puncak far..”
“Eh?” aku
tersentak. Benarkah? Tempat yang sangat ingin aku kunjungi itu?
Apakah kau
akan mewujudkan salah satu mimpiku juga pau? Apakah itu kau?
Tiba – tiba
aku ragu. Aku ragu pada diriku. Aku tak boleh berharap banyak. Bertindak sejauh
itu sama artinya dengan membuatku sakit sendiri. Pada akhirnya aku benar –
benar sakit bahkan setelah tiga tahun.
Diam – diam
melihat ipau dari pantulan kaca spion, pipiku memerah. Aku tak bisa memalingkan
muka darinya. Aku tau, hatiku sudah berbeda.
***
“Mana
puncaknya pau?”
“Ya ini
puncak.”
“Ya Allah
macetnya. Entar kalo sampek asrama kemaleman gimana? gue ogah kena jam malam.”
Mengingat
para ukhti SR berbaris di samping gerbang siap mencatat pelanggar jamal, aku
bergidik. Ogah banget dapat masalah di asrama. Alamat menjadi tukang bersih –
bersih asrama A4 yang lobinya penuh sampah dari pedatang. Asrama lain sering ke
lobby A4 karena tempatnya yang luas dan terbuka.
Ipau
terkikik. “Ya lu tidur di luar gerbang aja.”
“Anjiiiirrr
tega amat lu.” aku memberengut. Ipau masih tertawa. Dia sangat tak perduli
penderitaan anak asrama.
Berhubung
aku ingin melihat kebun teh, ipau memacu sepeda motor menuju puncak atas. Namun
melihat macet dan sekarang jam berapa, aku ciut. Aku memilih lebih baik jangan
terlalu atas namun ketemu kebun teh.
Ipau belok
kanan ke salah satu pertigaan. Katanya dulu dia pernah bareng temennya ke kebun
teh daerah situ. Setelah keliling desa beberapa kali, aku yakin ipau amnesia.
“Daerah
sini nggak ada kebun teh pau.” ucapku pelan. Meyakinkan bahwa dia memang pikun.
“Hahaha
kayaknya sih gitu far.” dia terkekeh tanpa merasa berdosa.
“Yuk
istirahat dulu. Panas pantat gue.” pintaku dan ipau menepikan sepeda motor. Aku
kasihan melihatnya bawa sepeda motor. Pasti capek.
Setelahnya
kami bicara ngalor - ngidul – nggak
jelas. Tiba saatnya aku bertanya sesuatu yang sangat aku ingin tau sekarang.
“Io tau
nggak hari ini kita keluar?”
“Nggak. Gue
nggak bilang far.”
Aku
mengangguk. Bingung harus merespon apa. Haruskah aku jujur pada io? Tidak! Aku
tak ingin orang lain tau perjalanan hari ini. Hari ini terlalu istimewa untuk
dibagi. Apakah aku curang? Apakah aku terlihat sebagai orang yang akan merebut
ipau dari io? Tidak! Aku masih waras untuk tidak melakukannya.
Siapa aku?
Jelas dio lebih baik daripada aku. Dari sudut manapun hasilnya begitu.
“Tapi gue
bakal jelasin ke dia kok, nggak usah khawatir.” Ipau tersenyum. “Kalo itu yang
bisa buat lo lega.” imbuhnya.
Aku
terpana. Untuk sesaat aku terpaku pada senyumnya.
“Nggak usah
pau. Hari ini buat kita berdua aja.”
“Serius?”
Ipau menatapku dalam.
Aku
mengangguk mantap.
“Gue juga
berpikir begitu.” Ipau tersenyum lagi.
Dan hatiku
meledak tak bersisa. Bunga api terus menyala tak ingin padam. Padahal yang
namanya kembang api benar meledak indah, namun cepat juga menghilang tak
tersisa di udara. Dimakan gelap.
Menghilang?
Aku berharap demikian.
***
Aku tiba di
agrimart dekat shelter astri. Pantatku sekarang benar – benar terbakar, terlalu
lama duduk di sepeda motor. Jalanan macet parah dan aku hanya mampu menggerutu
sepanjang jalan. Ipau terkekeh melihat kekesalanku. Katanya aku harus bersyukur
karena macet tidak terlalu parah. Kalo total aku bahkan sampai Dramaga bisa
malam.
Sekarang
pukul empat. Enam jam kami berkeliling Bogor dengan sepeda motor. Bogor Barat,
Bogor utara, Bogor timur, Bogor selatan¸ dan Bogor kota ludes kami terjang.
Aku keluar
agrimart hanya membeli roti. Uang di kantong mepet untuk biaya seminggu ini,
terlebih aku makan di kafe susu sudah menghabiskan setengah dana. Semoga aku
masih bisa makan dengan sisa uang. Aku segan meminta uang kepada orang tua.
Rasanya malu.
Ipau keluar
agrimart membawa sekaleng sprite dan air mineral, juga dua buah es krim walts
shakey shake. Aku meliriknya. Kenapa dia beli sebanyak itu?
“Buat lo.
Masa gue makan sendiri sih.” jawabnya setelah aku bertanya heran megapa dia
beli sebanyak itu.
“Eh lo
nggak usah segitunya pau. Lo ngajak gue keliling Bogor aja udah seneng.” Aku
tersenyum sembari menerima es krim walts shakey shake yang dia sodorkan.
Aku
tersenyum. Hari ini untuk kali pertama aku bersyukur sempat berada di Diploma,
bertemu ipau. Dia cowok pertama yang rela jemput – ajak jalan – balikin aku ke
asrama. Dia juga yang pertama mentraktir aku es krim. Dia pertama. Dan perasaan
menjadikan dia yang pertama adalah kesalahan fatal yang pernah kulakukan.
Itu
kesimpulanku hari ini.
“Nggak papa
far. Sekali – sekali juga.” dia tersenyum.
Senyum
ramah dengan cekung pipi yang manis. Oke, aku harus menata perasaanku, kembali
seperti sebelum kami keliling Bogor. Kembali menganggapnya teman. Tidak lebih.
Aku bersyukur mampu mengendalikan kewarasanku untuk tidak menyukai pacar orang.
Menyukai?
Hahaha entahlah. Semua pertahananku untuk tidak merasa terlalu jauh hancur
begitu ucapan itu melucur ...
“Sebenarnya
gue udah putus sama io far ...” aku ipau setelah aku menggodanya bagaimana
hubungannya dengan dio. Ipau yang tadinya tertawa sekarang terdiam.
Aku
membeku. Aku tak tau harus berkata apa. Otakku tidak memberi pilihan kata yang
cocok untuk menutupi kekagetanku. Putus? Dengan dio?
“Sebenarnya
gue udah tiga kali mutusin dia, terakhir tanggal 25 kemarin. Gue inget karena
tanggal 26 itu sebenarnya genap sebulan gue jadian sama dia. Tapi dia nggak mau
gue putusin, dia nangis. Gue paling nggak bisa ngelihat cewek nangis.”
Suapan es
krimku berhenti. Aku tak memiliki nafsu lagi. Ada apa denganku? Kenapa perasaan
ini melangkah terlalu jauh? Hatiku lebih dulu berdetak lebih cepat, seolah
dipacu untuk terus bergetar hebat. Aku tak boleh seperti ini. Kejam jika aku
bahagia mereka putus!
“Sebenarnya
Singgih tanya ke gue, gimana bisa gue jadian sama dio setelah dua minggu kita
ngelewatin matrikulasi bareng. Gue juga ngerti sama diri gue sendiri. Gue cuma
takut far sama dio. Gue berharap dia berubah.”
“Emang io
kenapa?”
“Dia sering
keluar sama mantan – mantannya far. Gue kan cowoknya, masa dia pergi sama cowok
lain sih?”
Aku masih
mendengar. Namun aku tak tau ragaku dimana. Aku merasa kasihan pada ipau.
Seorang cewek keluar sama cowok lain sementara dia sendiri punya pacar? Apa
yang dipikirkan dio? Please Ipau bukan mainan!
Apa barusan
kata hatiku yang ikut bicara? Kenapa terdengar gusar tahu ipau dibuat mainan?
“Dio bbm nih ...” ipau sibuk memencet hapenya.
“Kenapa?” Aku
melongok penasaran. Pura – pura tepatnya.
“Dia tanya
kenapa gue nggak cepet bales bbmya.”
“Oh ...
terus lu niat gimana? Mau ngomong udah keluar sama gue?” Timpalku acuh – tak
acuh.
Ipau
mengedikkan bahu. “Entah, gue capek, entar aja balesnya di rumah. Biar bisa berpikir
jernih.”
“Baguslah.”
Aku kembali diam. Tiba – tiba mulutku lancang bertanya lagi. “Apa lo terus
bertahan bersama io meski lo nggak suka lagi sama dia?”
Entah
mengapa hatiku ciut mendengar jawabannya. Tiba – tiba aku resah. Aku takut jawabannya
tak sesuai kata hatiku. Bila itu terjadi, kupastikan hatiku selangkah merasakan
sakit.
“Mungkin
... seperti gue bilang sebelumnya, gue nggak tega lihat dio nangis. Gue akan
nunggu sampek dia mutusin gue.”
Oke, cukup!
Jangan bertanya lagi!
“Kalo hari
itu nggak akan datang untuk waktu dekat?” aku menatapnya lekat. Bola mataku
seolah membesar. Aku menyesal kenapa bibirku selalu cepat merespon tanpa
seijinku.
“Mungkin
gue akan terus sama dia.”
Farah
please, jangan!
“Elo
yakin?” entah mengapa aku berharap ipau menjawab sebaliknya.
Ipau
mengangguk. “Yakin.”
Aku merasa
bahuku lemas. Mataku menatap es krim walts shakey shake yang sedikit ku makan.
“Pau ...”
“Ya?”
“Gue balik
ke asrama ya. Forumnya udah mulai sepertinya.” ucapku bohong. Memang sebelum
pergi aku berkata pada ipau bahwa hari ini ada pertemuan forum katakita.
Padahal sejujurnya tidak, kali ini aku tak ingin bertemu mata dengannya.
Keputusannya sudah bulat. Terlihat dari tatapan matanya yang pasrah
mengisyaratkan kesungguhan.
Dan
keputusan itu membuat dadaku nyeri.
Dia sudah
mengecewakanmu, mengapa masih terus bertahan? Mengapa kau terlalu baik untuk
tertawa bersamanya meski kau tak suka? Sebenarnya apa yang kau pikirkan Ipau?
“Makasih ya
pau. Untuk hari ini dan semuanya ...” kami berjabat tangan. Genggaman hangatnya
memenuhi jemariku. Untuk sesaat aku tak ingin jabat tangan ini lepas. Aku tak ingin.
Aku tak mau. Aku sadar semua akan selesai begitu aku berbalik kembali ke
asrama.
Selesai
untuknya ...
... Tidak
untukku!
***
Aku cepat –
cepat bergegas menjauhi agrimart. Kembali ke tiga tahun lalu karena walts
shakey shake sangat menyedihkan.
Bruuk ...
Aku menabrak seseorang. Dasar bodoh! Apa yang telah kulakukan hingga
mengacaukan hari milik orang lain? Aku buru – buru mengambil sebuket bunga yang
jatuh. Bersiap meminta maaf dan mataku bertumbukan dengan mata seseorang.
Aku
tercekat. Kurasa aku tengah bermimpi di siang buta! Ini benar – benar ilusi!
“Lo tega ya
nggak dateng di wisuda gue.” ucap suara itu hangat. Masih tetap sama. Tidak ada
yang berubah. Hanya saja dia sekarang memakai topi toga dan baju wisuda.
Ipau!
Aku masih
terperangah. Aku tak mampu menguasai diri. Bagaimana ipau di sini? Apa katanya
tadi? Wisuda? Jadi dia wisuda? Eh bego ini tahun ketiga ya?! Eh iya sekarang
dia sudah lulus. Aku saja yang setahun lagi baru di wisuda di Grha Widya Wisuda
IPB.
“Sori bbm
gue mati, gue juga nggak punya nomor handphoe lo ...”
“Itu bukan
alasan far! Elo bisa maen ke Diploma. Dulu lo bilang mau hadir di wisuda gue
kan? Lo lupa?” nada suara ipau terdengar gusar.
“Maaf...”
hanya itu yang meluncur dari bibirku. Hari ini terasa sempurna, hancurnya!
Sudah sakit hati melihat walts shakey shake, sekarang malah bertemu orangnya
langsung. Aku tak ingin ipau tau perasaanku jika dia tetap bersama dio.
“Elo nggak
pengen bareng – bareng temen Diploma? SJMP selalu kangen sama elo tau!”
“Eh ...”
aku mendongak. Tak percaya. Namun sebisa mungkin aku menutupinya. “Eh iya ada
dio juga dong ya? Elo masih sama dia?”
Aku
tersenyum lebar. Membodohi hati memang menyakitkan.
Ipau
menghembuskan nafas panjang. Dagunya mengangguk. “Masih.”
“Perasaan
elo sama seperti dulu?”
“Iya.”
“Elo
bertahan?” mataku memanas. Sial!
“Seperti
gue bilang, gue akan putus kalo dia mutusin gue.”
Jika ipau
memutuskan demikian, apa yang sanggup aku katakan? Meneriaki bahwa dia bodoh?
Memohon padanya untuk membuka mata? Lalu apa yang harus dia lihat?
Aku!
Iya pau,
hanya aku!
Seharusnya
sejak awal aku memang tak boleh memiliki perasaan ini. Sejak awal harusnya aku
tak berharap. Entah pada satu cup es krim walts shakey shake atau sekaleng
sprite yang anehnya masih kusimpan, harusnya aku tak percaya. Harusnya aku tak
nyaman dengan punggungnya. Harusnya aku tak merasa beruntung mendengar
ceritanya. Harusnya aku cuek. Harusnya aku tak bermain api yang disebut cinta.
Kata
harusnya sudah terlambat. Sekarang yang aku pikirkan bagaimana mengobati
hatiku. Membuka celah supaya dapat dimasuki orang lain. Supaya aku tidak
ditahan terlalu lama dengan sikap menyedihkan hanya dengan mengingat.
Jatuh cinta
itu sakit, kataku.
Dan aku
ingin amnesia.
Selalu
amnesia.
***
#Sekedar Cerpen. Cerita pendek ini terinspirasi dari proyek omnibook katakita IPB. Hanya berusaha membuat. Berlatih hehehe.
Please komen ya? Sarannya di tuggu hehhehhe
0 komentar